Chereads / Be a Little Wife / Chapter 11 - Ingin Batal Menikah

Chapter 11 - Ingin Batal Menikah

Haisha jauhkan wajahnya, bibir itu sudah basah dan terasa sedikit perih karena Fahri melumatnya rakus.

Ini kali pertama untuk Haisha, jelas ia tidak mengerti caranya, tapi bukan kelembutan yang Fahri tawarkan, dengan emosi itu dia menyentuh bibir Haisha kasar.

"Maaf, gue nggak maksud-"

"Ica mau pulang," potong Haisha lirih.

Haisha menahan suara isakan tangisnya, air mata itu sudah menganak sungai, tidak masalah bila lewat balas budi itu dia harus menikah dengan Fahri, tapi tidak seperti ini perlakuannya.

Katakan saja dia terlalu ketinggalan jaman, Haisha terima itu, banyak gadis seusianya di luar sana sudah merasakan manisnya cinta dan sentuhan pria yang menjadi tambatan hati mereka, sedang Haisha tidak pernah sama sekali, ia sangat terkejut diperlakukan Fahri seperti itu, terlebih lagi setelah Haisha mendapat ucapan buruk dari gadis bernama Klareta.

Dia tidak kenal siapa Klareta, dia baru melihat wajahnya hari ini, masa bodoh dengan wajahnya yang sudah bertebaran di media sosial karena nyatanya Haisha tidak pernah mengikuti itu semua.

"Ca, gue bisa jelasin semua ini ke lo!" Fahri tahan tangan itu, mencegah Haisha masuk ke rumah sejenak.

Haisha menoleh ke kanan dan kiri, dia tidak mau ada cemohan lagi dari para tetangga, ia tepis tangan Fahri dan mengajak pria itu duduk di bangku terasnya.

"Mas Fahri mau ngomong apa?" untuk pertama kali dia berani menatap lurus Fahri dan menaikkan nada bicaranya.

Fahri raup wajahnya kasar, "Dia, mantan pacar gue, Klareta."

Haisha terdiam, ada raut kesal di wajah Fahri, tapi pria itu terlihat sulit untuk menjelaskan.

"Mas Fahri suka sama dia?" pertanyaan polos itu lolos juga dari bibir Haisha.

Fahri mengangguk, "Gue putus sama dia sebelum dateng ngelamar lo, tapi-"

"Kenapa Mas mau waktu itu? Mas kan bisa bilang sama Bu Meri biar nikah sama Mbak tadi aja, kenapa nggak bilang gitu?"

Apa!

Kalau bisa dan Klareta tidak berselingkuh, jelas Fahri akan mengajukan semua pertimbangan iti dan menolak perjodohan ini.

Tapi, yang terjadi tidak seindah bayangannya, sama seperti malam ini di mana dia ingin membalas Klareta.

Benar tadi Fahri bisa berkata kasar pada Klareta dan memperkenalkan Haisha sebagai calon istrinya, mungkin juga hati Klareta sakit, sekali lagi bukan cara seperti tadi yang ia mau.

"Mama suka sama lo," ucapnya asal, tapi memang benar.

"Ya ampun, Mas ... Gimana kalau Ica bilang sama Ibu besok, biar Mas Fahri sama dia bisa bersama lagi, Mas Fahri nggak perlu mikir surat nikah itu, besok masih bisa Ica batalin ke pengurusnya ...," tawar Haisha.

Jujur, Haisha merasa berat karena Fahri telah mencuri ciuman pertamanya, entah kenapa mendengar pengakuan Fahri, Haisha menangkap ketulusan di sana, dia juga tidak mau menghancurkan hidup orang, apalagi hati mereka.

"Nggak, gue tetep bakal nikahin lo!" putus Fahri.

"Tapi, Mas tadi bilang ka-"

"Pokoknya pernikahan ini nggak boleh batal, lo harus nikah sama gue, dan kita jadi suami-istri!"

Titik.

Sudah itu keputusan Fahri, dia tidak mau Haisha mengajukan pertimbangan apapun.

***

"Ini nggak bener, Ica bilang aja sama Bu Meri kalau Mas Fahri suka sama Mbak Klareta itu ... Ica nggak mau ngerusak hubungan orang, Kayang aja sedih waktu pacarnya direbut cewek lain, Ica nggak boleh gitu dong!"

Haisha menunggu hari libur rutin kerjanya, dikesempatan itu dia datang ke rumah Fahri untuk menemui Meri tanpa sepengetahuan Fahri sendiri.

Semua ini harus Haisha luruskan, otaknya berfikir kalau tidak akan menjadi baik bila hubungannya bersama Fahri berlanjut, sedang pria itu menyimpan rasa pada gadis lain.

"Apa Ibu nggak salah denger," ucap Meri, ia terkejut mendengar pernyataan Haisha.

"Ica minta maaf banget sama Ibu, tapi Ica rasa lebih baik Mas Fahri sama Mbak Klareta itu, temen Ica kalau pacarnya direbut cewek lain, bisa nangis seharian di toko. Nah, Ica nggak mau kalau Mas Fahri atau pacarnya sedih kayak gitu, Bu ...."

Haisha pelan-pelan mengatakan pendapatnya pada Meri, ingin ia batalkan saja pernikahan yang masih dalam pengurusan itu.

Tapi, sedikit pun Haisha tidak membahas masalah pertemuannya dengan Klareta di pesta malam itu, sampai ciuman itu pun tidak Haisha buka.

Dia hanya berkata kalau Fahri malam itu menemuinya dan mencurahkan semua isi hati yang tidak bisa Fahri ungkapkan kepada Meri.

"Icaaaa .... Fahri sama Klareta itu udah nggak ada apa-apa, dia udah khianatin Fahri berkali-kali, Fahri aja yang terlalu cinta sampai dia suka mabuk kalau lagi emosi," ungkap Meri, ia rasa Haisha harus tahu semua itu.

"Mabuk?"

Meri mengangguk, "Ini semua nyata, Klareta di luar sana udah punya cowok baru ... Tapi, masih tetep jalan sama Fahri, dari sanalah Ibu berniat menjodohkan kamu sama Fahri aja, Ibu yakin kamu nggak akan bikin Fahri sakit hati, apalagi sampai jatuh ke dunia malam, pertama kali dan hanya karena Klareta yang selingkuh, Fahri pulang ke rumah udah mabuk berat," tutur Meri sembari menghela nafas panjang nan berat.

Haisha termenung mendengar semua itu, ia mendadak teringat ucapan Fahri disela ciuman kasar yang pria itu berikan kepadanya.

Fahri memperingatkannya agar tidak berani berselingkuh, bahkan mata Fahri waktu berkata seperti itu seperti diliputi dengan kabut emosi, seolah banyak luka yang tercetak di sana.

"Apa karena itu Mas Fahri ngomong gitu ke Ica?" gumam Haisha.

Ia pijat keningnya pelan-pelan, rasa pusing itu menyerang tanpa aba-aba.

Entah apa yang harus Haisha lakukan sekarang, ia duduk di tepi taman komplek rumah Meri, meluruskan kakinya ulang sebelum mengayuh jauh lagi.

"Ca'," sapa seseorang yang menepuk bahu Haisha.

Haisha sontak menoleh, ia jauhkan tubuhnya.

"Kiano, kamu!" hampir saja Haisha ingin berlari kalau Kiano tidak membuka masker dan helm-nya.

Kiano tergelak, kebetulan saja rumah kekasihnya di komplek ini dan melihat Haisha seorang diri di taman itu.

"Apa ini?"

"Tadi pacar aku beliin ice cream, bagi aja sama kamu, Ca, biar segeran dikit kan kita!"

Haisha tergelak, dia selalu bisa tertawa lepas bersama temannya itu, belum lagi kalau Kayang ikut di tengah-tengah mereka, Haisha pastikan waktu tidak akan pernah terasa, tiba-tiba saja berubah menjadi gelap.

Dari kejauhan ada sepasang mata yang mengawasi mereka, bahkan mengambil foto Haisha dan Kiano yang terlihat sangat akrab dan berulang kali saling melempar tatapan hangat, ditambah lagi saat tangan mereka saling menepuk satu sama lain.

"Mau aku anterin pulangnya?" tawar Kiano.

"Gimana coba anterinnya, sepeda aku mau kamu boncengin juga apa?" balas Haisha bercanda.

Mereka kembali tergelak bersama, sebelum Haisha kayuh sepeda itu, satu tangan Kiano terulur, kebiasaannya pada Haisha selama ini adalah mengusak rambut yang selalu diikat tinggi itu, anak rambut yang ke luar pasti membuat Haisha marah dan Kiano suka itu.

"Satu bonus video ada di tangan, dasar bocah!"