Chereads / Be a Little Wife / Chapter 17 - Kenyataan di Malam Pertama

Chapter 17 - Kenyataan di Malam Pertama

Malam pertama Haisha sebagai istri sah Fahri, dia menjadi Nyonya Fahri Yudistira saat ini, di rumah besar yang nanti akan menjadi saksi bisu perjalanan rumah tangganya yang entah akan berjalan seperti apa.

"Mas, itu siapa?" tanya Haisha, ia baru turun dari mobil.

Fahri berdecak kesal, setiap kali Haisha mengeluarkan suara selalu saja membuat dia emosi, Haisha bukan bocah manis yang dulu sering bermain di dekat kamarnya.

Bocah itu sudah menjadi seorang istri, terlebih lagi Haisha sudah tahu kelemahan Fahri yang melibatkan Klareta, hal yang susah payah Fahri tutupi dari keluarganya, kini Haisha ketahui.

"Bik Mira, dia maid di rumahku."

Rumahku, penuh penekanan, bukan rumah kita seperti pasangan yang dimabuk cinta setelah menikah, tidak ada hak Haisha di sana.

Haisha turunkan beberapa tas berisi baju dan perlengkapan yang ia bawa dari rumah lama, tersenyum ramah pada Bik Mira yang menyambut dan membantunya dengan wajah yang sumringah.

Walau semua itu bukan kesalahan Haisha, tetap saja Fahri kesal, dia sendiri tidak mengerti bisa sampai sekesal ini, padahal jelas Gio mengakui kalau dia yang meminta Haisha datang ke rumah sakit waktu kecelakaan itu terjadi.

Pada intinya, Fahri tidak mau terlihat lemah di depan Haisha.

"Lo tidur di kamar itu, gue tidur di kamar tamu bawah, nggak usah banyak tanya, ngerti!"

"Iya," sahut Haisha.

Ia bantu mendorong koper Fahri, pria itu berjalan lebih dulu meninggalkannya, tampak acuh dan kesal.

Mungkin Fahri masih memikirkan kedatangan Klareta bersama pria lain di acara tadi hingga rasa sakit di hatinya kian meledak.

Tujuan membuat Klareta sakit hati tidak tercapai, sedang Fahri saat ini terjebak dalam pernikahan bersama Haisha, hancur sudah rencana yang ia buat dan bayangkan.

Tidak bisa menyakiti Klareta ataupun mendapatkannya, Fahri sendiri yang hancur saat ini.

"Ngapain ikut ke sini?" bertanya dengan suara keras.

"Tadi, Ibu pesen kalau aku harus bantuin Mas nata baju."

"Nggak perlu, pergi sana!" usir Fahri, ia dorong bahu Haisha, lalu menutup pintunya rapat.

Haisha usap dadanya, mungkin kedatangannya dalam hidup Fahri adalah sebuah penderitaan.

Tapi, bukankah Haisha tidak meminta? Fahri dan keluarganya sendiri yang datang melamar, seharusnya Haisha bertanya waktu itu alasan Fahri sehingga dia tidak menjadi orang ketiga seperti ini.

"Huuh," Haisha mengesah pelan, ia berjalan menuju kamar utama miliknya di lantai dua.

Senyum Bik Mira menyambut hangat, maid itu menyiapkan dan membantu Haisha menata kamar juga baju, wanita itu tampak sangat senang dengan kedatangan Haisha ke rumah ini.

"Bibik mau tanya apa?"

"Maaf kalau Non merasa terganggu, tapi apa Non kenal sama Non Klareta?"

Deg,

"Aku nggak kenal, Bik. Cuman Ica pernah ketemu sebelum menikah, kenapa?"

Bik Mira menghela nafas, "Mas Fahri itu cinta mati sama dia, Non. Bibik bukan niat ajak Non gosip ya, cuman ini rasanya harus saya omongin ke Non, supaya lebih sabar."

Haisha mengangguk, mempersilakan Bik Mira melanjutkan ceritanya.

"Saya tahu Mas Fahri itu sakit karena Non Klareta, Mas Fahri sering datang ke rumah ini cuman buat marah-marah, melampiaskan cemburu dan semuanya, berulang kali Non Klareta itu selingkuh dan Mas Fahri masih saja suka, bahkan maafin."

"Kalau boleh Ica tahu, kenapa Mas Fahri sampai jatuh hati begitu, Bik?" Haisha sangat penasaran dalam hal ini, jarang ada lelaki seperti Fahri yang sampai gila dan bodoh seperti itu, Kiano saja sering berganti kekasih.

Tapi, Fahri justru menutupi perselingkuhan Klareta dan melupakannya.

Bik Mira menutup pintu kamar Haisha rapat, ada sebuah kenyataan yang terkubur dalam di keluarga ini, sengaja Fahri sembunyikan.

Wanita itu sudah mengabdi di rumah keluarga ini lama, sejak Hendra menikah dan meminta Bik Mira merawatnya, rumah peninggalan keluarga ayah Fahri yang kini berubah menjadi bangunan rumah yang modern.

"Mas Fahri itu punya kekurangan yang bakal ditolak perempuan, makanya dia sampai rela gila nahan Non Klareta pergi," ujar Bik Mira, takut-takut mengaku pada Haisha.

"Kekurangan apa?"

"Saya pernah nemuin berkas pemeriksaan yang menyatakan kalau Mas Fahri itu lemah, mungkin Mas Fahri bisa kasih nafkah lahir ke Non, tapi nggak bisa nafkah batin," ungkap Bik Mira.

Duar,

Sambaran petir tepat mendarat di kepala Haisha, pecah dan membuat semua isinya meluber ke mana-mana, dia tidak bisa berfikir jernih seketika.

Tubuhnya lemas dan mendadak banjir keringat dingin, disamping itu Haisha terisak.

Fahri mempunyai kelemahan dalam hal hasrat, dia sulit terpancing sehingga akan sulit memuaskan pasangannya, itu juga yang membuat Fahri tidak pernah menyentuh Klareta selama ini, selain berciuman, itu pun pernah Haisha rasakan sangat kasar, seperti dia berusaha keras untuk memancing sesuatu.

Bukan hanya karena ingin dan sangat menghargai wanita, kekurangan itu juga menjadi faktor utama.

"Saya permisi, Non."

Haisha mengangguk, ia berbaring sembari menatap langit-langit kamar yang hampa.

Dia tidak benci atau merasa rugi menikah dengan Fahri, sebaliknya Haisha menangis karena merasakan kesedihan yang Fahri simpan dan rasakan selama ini.

Tanpa hal itu, bagaimana sebuah hubungan suami-istri akan terjalin? Tentu akan sulit dan selama ini hanya Klareta yang tahu, pasti rasanya sangat sakit.

Selama ini Haisha mempunyai Kayang dan Kiano untuk berbagi, tapi Fahri, dia jelas menutupinya dari Gio dan Gilang.

Astaga, malam pertamanya penuh dengan air mata, Haisha tidak bisa membayangkan rasa sakit yang Fahri rasakan selama ini, hidup dalam bayang-bayang kekurangan.

***

"Pagi," sapa Haisha, rambutnya terburai setengah basah.

Fahri hanya melirik, fokus menghabiskan roti panggang coklatnya lalu bergegas meneguk susu.

"Nanti aku mau ke pasar sama Bik Mira, Mas mau aku buatin lauk apa?" tawar Haisha.

"Nggak perlu."

"Mas makan di kantor? Atau mau aku anterin aja nanti nitip supir, hem?"

"Gue bilang nggak perlu, jangan banyak omong bisa nggak sih!"

Satu dapur diam, termasuk Bik Mira. Haisha letakkan celemek yang sempat terpasang, berjalan mendekat ke depan Fahri.

Tanpa aba-aba, Haisha mengulurkan tangannya, merapikan ikatan dasi Fahri dan kerah kemeja berwarna coklat muda itu.

"Gue nggak nyuruh lo kayak gini!" menepis tangan Haisha menjauh, dia sempat tertegun tadi.

Jujur, Klareta saja tidak pernah perhatian sampai ke ikatan dasinya meskipun mereka bertemu pagi hari di kantor.

Haisha mundur, ia ulas senyum dan sedikit melambaikan tangannya, gaya polos natural itu sangat berbeda dengan Klareta, Haisha masih tampak seperti anak-anak SMA.

"Lo inget perjanjian nikah kita kan?" Haisha mengangguk. "Nggak ada yang namanya saling sentuh!" Haisha mengangguk lagi.

"Lo nyentuh gue kayak cewek murahan tahu nggak! Atau lo udah kebiasaan waktu sekolah sama kerja, hah?"

Bik Mira ingin membantu Haisha, tapi kode jari Haisha di belakang punggung itu menahannya.

Haisha hanya terus tersenyum merespon kemarahan Fahri pagi ini, tidak masalah karena ini baru permulaan.

Tidak masalah juga kalau dia harus disebut sebagai gadis murahan, yang Haisha sentuh adalah suaminya sendiri, dalam pesan pernikahan yang telah ia baca itu adalah bagian dari kebaikan.

"Hati-hati ya, Mas." gumaman itu lirih terdengar, Haisha putar kakinya, sebentar lagi dia harus menyiapkan dokumen untuk mendaftar kuliah.