Chereads / Be a Little Wife / Chapter 19 - Kurang Sehat

Chapter 19 - Kurang Sehat

Haisha tolak sepiring nasi yang Bik Mira simpan diam-diam, menunggu Fahri terlelap lalu menyusul dan memberikan makanan itu pada Haisha.

"Jangan, nanti Mas Fahri marah sama Bibik, Ica tadi udah makan di kampus kok sama Kiano."

"Bibik tahu, tapi Non harus makan ... Belum tentu besok pagi, Mas Fahri ijinin Non sarapan sebelum ke kampus, nanti kalau sakit gimana?"

Wajah khawatir Bik Mira membuat Haisha tidak tega, tapi ia jauh lebih tidak tega lagi kalau sampai Fahri tahu dan membuat Bik Mira kehilangan pekerjaannya.

Haisha minta dengan sangat sopan dan penuh maaf pada wanita itu, cukup meneguk segelas susu hangat sebelum terlelap, bisa membuat Bik Mira sedikit lega, Fahri melarangnya memberi makan Haisha, bukan berarti Haisha tidak boleh minum.

"Besok Bibik buatin susu lagi sebelum Mas Fahri bangun ya," ucap Bik Mira sebelum istirahat.

Haisha mengangguk, demi membuat hati maid itu tenang, Bik Mira sama seperti ibunya yang tidak pernah tega anaknya tidak makan, mengingat wajah sang ibu membuat Haisha meneguk segelas susu itu, membuang sorot khawatir di mata Bik Mira.

Malam yang dingin dan tanpa selimut tebal, Haisha hanya diizinkan memakai selimut tipis dan satu bantal saja, tidur di lantai ruang tamu beralaskan karpet bulu tipis.

Jangan harap Fahri memberinya izin tidur di atas sofa empuk, seperti ini saja sudah harus bersyukur, beruntung Fahri tidak meminta Haisha tidur di teras rumah.

"Ibu kirim pesen," ucap Haisha lirih, ia terbangun karena ponselnya bergetar.

[Besok Ibu mau temuin kamu di kampus ya, sayang, see you.]

Haisha tersenyum, setidaknya dia bisa pulang bersama Meri besok, adanya wanita itu juga akan membuat Fahri bersikap baik di dekatnya, menghilangkan semua sikap kasar yang seperti ini, Meri jelas tidak tahu kalau putranya mempunyai satu sisi kelam.

[Sampai ketemu besok, Bu, selamat istirahat.]

Haisha nyalakan alarm paginya, dia harus bersiap cepat dan tidak boleh terlambat dengan alasan apapun, lagipula dia bisa terkena omelan kalau sampai Fahri bangun, sedang dia masih tidur.

Hitungan domba ke seratus, nyawa itu sudah terbang bebas ke alam mimpi, dengkuran halus bercampur getaran dingin kecil di kaki Haisha menjadi hal yang sulit untuk siapa saja yang melihat, Bik Mira kembali untuk memeriksa Haisha, gadis itu terlelap dengan tenang dalam kondisi apapun.

"Bibik doain supaya Mas Fahri bisa sadar dan sayang sama Non suatu saat nanti, jarang ada cewek yang tulus kayak Non. Non Klareta aja nggak bakal mau kalau tahu sifat Mas Fahri yang kayak gini," ucap Bik Mira lirih, ia kembali ke rumah belakang.

Selama ini Fahri hanya lembut pada Klareta, memperlakukan gadis itu seperti ratu di hidupnya, Klareta tidak boleh bersedih atas apapun.

Walau Fahri tidak bisa sering menemani karena sibuk bekerja, setidaknya saldo atm Fahri ada di tangan gadis itu, ikut ke mana-mana dan bebas membeli apa saja.

***

Hoaaam ....

"Bangun!"

Haisha sontak melompat, alarmnya belum berbunyi dan dia sudah membuka mata, ia fikir Fahri belum bangun pagi ini, ternyata di pagi buta pria itu sudah berdiri di depannya, melihat segelas susu yang mungkin Bik Mira siapkan untuk Haisha.

"Iya, Mas." Haisha rapikan selimut dan bantalnya, ia tidak melirik sama sekali ke gelas susu itu.

"Duduk!" Fahri dorong tubuh kecil Haisha, terhempas ke sofa.

Fahri tunjuk gelas susu di meja besar itu, "Kalau sampai lo berani minum susu itu, gue bakal suruh Bik Mira lari keliling komplek!"

"Iya, Mas, aku janji nggak akan minum." Haisha angkat dua jarinya tinggi.

"Sana, rapiin lagi dan jangan buat ruang tamu rumah gue berantakan!"

Haisha mengangguk, dia tidak melawan sama sekali, emosi Fahri sangat labil sejak pernikahan ini berlangsung dan kegagalannya memberi Klareta pelajaran.

Sabar, nanti bila sudah ada kesempatan dan Haisha sudah menguasai semuanya, Haisha yakin bisa membuat Fahri mendengarkan apa yang ia katakan dan kembali pulih, mental yang labil seperti itu harus disembuhkan dengan sentuhan lembut dan perhatian penuh.

Sedang selama ini pelarian Fahri hanya pada minum-minuman keras saja, bukan membuatnya semakin tenang, justru uring-uringan dan memperparah kondisi jiwa dan mentalnya.

"Mas Fahri harus sembuh, entah ada aku atau nggak nanti, yang penting Mas Fahri harus bisa bertanggung jawab sama pekerjaannya, jadi pimpinan nggak boleh punya sakit mental seperti itu," tegas Haisha pada dirinya sendiri, ia berjanji akan membantu Fahri sampai pulih.

Satu tahun waktu yang ia punya dan itu harus berhasil, ia tidak peduli bila nanti Fahri berakhir bersama wanita lain, Haisha tidak berharap lebih dari apa yang dia lakukan.

***

Haisha pegangi perutnya, di kampus ini beruntung ada dua teman yang bisa bergantian membantunya, kemarin Kiano dan sekarang Kayang.

"Makan yang banyak, Ca. Wajah kamu pucet banget loh," ucap Kayang, mulutnya penuh dengan banyak suapan.

"Ini udah banyak, banyak banget malahan, ahahahah ...."

Dia harus makan, sebentar lagi Meri datang dan tidak mungkin Haisha menampilkan wajah pucatnya. Bisa curiga dan membuat perang dunia di rumah kalau sampai Meri tahu perlakuan Fahri.

"Kamu mual?" Kayang hentikan suapannya, mengambil kantong kosong untuk Haisha.

"Kebanyakan makan kali ya, huek ...." terlalu banyak angin sejak semalam yang benar, bertemu makanan banyak sekaligus membuat perutnya tidak siap. Haisha muntah-muntah dan wajahnya semakin pucat.

Kayang sandarkan kepala Haisha di bahunya, hari sudah sore dan Meri belum datang juga, sedang sangat bahaya kalau Haisha pulang dengan angkutan umum, tidak mungkin juga naik motor bersama Kayang, dia pasti terjatuh karena lemas.

Semua urusan kampusnya sudah selesai, besok Haisha sudah boleh mengikuti dan mengejar mata kuliah seperti mahasiswa yang terdaftar tahun ini, semua berkat keterlibatan penting Hendra di kampus ini, Haisha bisa masuk di pertengahan tahun.

"Kenapa ini?" Meri tampak panik melihat Haisha bersandar tidak berdaya di bahu Kayang.

"Itu, tadi-tadi ... Emm, Ica grogi keterima jadi mahasiswa, Tante. Jadi, dia syok terlalu seneng begini, biasa emang dia suka drop habis syok, Te." Kayang ingat pesan Haisha untuk tidak berkata jujur pada Meri.

Meri angkat kepala Haisha, memindahkan ke bahunya, memeluk tubuh kecil yang tampak lemah itu. Hanya senyum tipis yang Haisha berikan, bisa dalam bahaya bila Haisha pulang sendiri hari ini, beruntung Meri segera datang.

"Kamu tunggu bentar ya, Kayang. Tante hubungi supir dulu, biar ke sini jemput kita."

"Iya, Tante." Kayang mengangguk samar pada Haisha, ia berjanji mengunci mulutnya sampai Meri pergi.

Dari kejauhan tampak mobil Meri masuk dan mendekat, mendapat izin masuk untuk membawa Haisha yang lemah, semua pasang mata tertuju pada Haisha, ada yang terperangah dan ada juga yang tertawa, mereka seperti melihat drama saja.

"Kayang pamit ya, Te." Kayang bungkukkan tubuhnya sedikit.

"Iya, makasi ya, Kayang. Hati-hati," balas Meri, ia dekap Haisha, tubuh kecil itu mulai basah dengan keringat dingin setelah Meri memberinya air hangat.

Rencana menikmati kopi di tengah kemacetan, berganti dengan memberi dekapan hangat pada Haisha, tubuh itu menggigil dan kembali merasakan mual, sedikit demi sedikit Meri bantu Haisha meneguk air hangat itu agar merasa sedikit lega dan ringan.

"Di mana anak ini, istrinya lagi sakit kok dibiarin ke kampus sendiri! Fahri ... Ica ini lagi nggak sehat, dia bisa bahaya, dasar!" gumam Meri, beberapa panggilannya diabaikan oleh Fahri.

Fahri tidak tahu kalau Meri akan mengunjungi Haisha hari ini, pesan itu belum sempat Haisha ceritakan tadi.