"Sial!"
Fahri pukul gagang kemudinya, memutar arah kembali menuju rumah sakit yang baru saja Meri kirimkan.
Bukan berlebihan, memang begitulah jiwa seorang ibu, selalu berusaha memberi apapun yang terbaik untuk anaknya.
Haisha dilarikan ke rumah sakit yang kebetulan tidak jauh dari rumah barunya bersama Fahri, bukan tanpa tujuan, di sana Fahri akan lebih mudah mengunjungi dan ada teman Meri yang akan membantu.
"Pakek acara sakit lagi, lemah banget!" Fahri terus menggerutu selama perjalanan.
Kakinya mulai berlari melewati lorong rumah sakit, bertanya dan mencari ruang rawat inap Haisha.
Nafasnya tersengal tepat di depan kamar inap VIP yang Haisha tempati, Meri sudah berdiri di depan pintu sembari berkacak pinggang.
"Mama nggak tahu ajaran siapa yang kamu anut, kok tega kamu nggak ngasih Ica makan mulai malem, hah? Mau kamu ini apa, Fah? Jawab Mama!"
Keterangan singkat dari hasil pemeriksaan itu sudah membuat Meri terbakar, ia menghubungi Bik Mira dan menanyakan semuanya, mengancam kalau tidak jujur dengan ancaman yang lebih besar.
Fahri tidak akan berani melawan dan membalas kalau ibunya sudah turun tangan.
"Itu salah Ica sendiri, Ma."
"Salah apa?"
"Biasa, rumah tangga kan ada masalah kecilnya, tapi udah baikan kok sama Ica."
"Inget ya, Fah. Mama ini udah nikah tahunan sama Papa kamu dan nggak ada baru sehari nikah udah ngasih hukuman kayak gitu ke istrinya, kamu jangan asal atau Mama paksa kalian kembali tinggal di rumah, hah!"
"Iya, iya. Nggak lagi," sahut Fahri, ia garuk kepalanya yang tidak gatal.
Meri baru mengizinkan putranya itu masuk menemui Haisha yang masih tertidur, obat itu sudah bereaksi dan membuat badan Haisha lemas juga mengantuk.
Fahri berdiri mematung di depan ranjang Haisha, tidak menyentuh atau berkata apapun, hanya memandang sekilas lalu sibuk dengan ponselnya.
Sret,
Meri rebut ponsel itu, "Mama tahu kamu nggak cinta sama Ica, tapi bukan berarti kamu jahatin dia. Malam itu kamu yang setuju nikah sama dia, yang bener kamu!"
"Iya, maaf. Aku cuman ngasih tahu dia biar nggak ngulangin pulang telat, dia pulang sama temen cowoknya itu, wajarkan aku marah."
"Temen cowok, maksud kamu Kiano?" Fahri mengangguk. "Emang Ica ke kampus nggak sama supir?"
Mati,
Fahri terbelit sendiri dengan ucapannya, Meri justru mencekiknya dengan pertanyaan yang jelas kembali membuatnya salah.
"Kamu nggak ngasih dia supir, nggak anterin dia, terus waktu dia diperhatiin sama Kiano, kamu marah sampai nggak kasih dia makan ... Mama nggak pernah ajarin kamu mikir kayak gitu loh, Fah. Mama nggak mau tahu, kamu harus minta maaf sama Ica, sekarang waktu dia sadar!"
Duar,
Tidak ada pilihan lain, selain mengangguk setuju. Fahri tarik kursi di samping ranjang Haisha, satu tangan menggenggam tangan pucat Haisha dan mata tertuju pada wajah polos manis itu.
Semua Meri yang meminta dan Fahri tidak berhak menolak, wanita itu terus mengawasinya, membuat Fahri tidak berdaya.
"Ketiduran juga kan akhirnya, anak kok bandel gitu, jahatnya nurun siapa coba kamu ini, Fah." Meri bergumam, ia baru saja membeli beberapa kue di kantin dan kembali sudah melihat Fahri tertidur sembari menggenggam tangan Haisha.
Kerjapan kecil mulai terlihat, Haisha membuka mata perlahan, ia angkat tangannya yang terasa berat, ia intip sedikit.
Satu tangan tertancap infus, satu lagi menjadi pegangan Fahri, ingin ia tarik karena perjanjian pra nikah itu, tapi suara Meri membuatnya mengurungkan niat.
"Sayang, Ibu panggil suster ya."
Fahri buka matanya, bersitatap dengan mata Haisha yang juga terkejut, tangan mereka sontak terlepas dan mereka berpaling memandang arah lain.
Dengusan kesal dan jantung berdegub cepat milik Haisha beradu di sana, Fahri berdiri dan mencari tempat duduk lain, satu lirikan tajam sempat ia layangkan pada Haisha, gadis itu hanya bisa menggigit bibir bawahnya saja.
"Semuanya sudah membaik, Ibu mau membawa anaknya pulang malam ini atau besok saja?"
"Malam ini aja, biar dia di rumah, di rumah sakit bikin makin sakit nanti."
Sebenarnya tidak mendapat izin bila sesuai prosedur rumah sakit, tapi karena Meri kenal dengan dokter di sana dan kebetulan bisa meng-handle Haisha bila ada apa-apa di rumah, Meri diberi izin untuk membawa Haisha pulang malam ini juga.
Bukan IGD, masuk dan Meri minta Haisha dirawat langsung di kamar berkelas VIP ini, hal yang membuat para perawat geleng kepala, tapi mau bagaimana lagi.
***
"Mama mau nginep di sini?" setengah berteriak Fahri bertanya.
Gawat, jelas gawat!
"Iyalah, masa Mama pulang malem kayak gini, mau Mamamu dibegal orang?"
"Ya, enggak gitu." Fahri raup wajahnya kasar dan frustasi.
Dia tidur di kamar yang berbeda dengan Haisha, bila Meri tidur di rumah ini, maka mau tidak mau Fahri harus tidur di kamar yang sama dengan Haisha.
Sementara Haisha tidak tahu harus berkomentar apa, ia masih duduk lemah di samping Meri.
Dulu tubuhnya tidak selemah ini, entah kenapa kali ini karena tidak makan saja membuatnya sakit.
Apa mungkin hatinya mulai bermain? Atau dia stress?
"Bu, Ibu mau nggak tidur sama Ica?" tawar Haisha, sontak mata Fahri berbinar terang.
"Nggak ah, masa Ibu mau gangguin kamu sama Fahri. Kalau misal kalian mau pelukan gimana, hem? Ibu tidur di kamar tamu aja, kalian tidur berdua sana, kan udah baikan tadi di depan Ibu."
Astaga, mati aku.
Haisha melirik Fahri yang ikut menegang, dadanya naik-turun bingung harus berbuat apa, apalagi kamar tamu di sana jelas berantakan karena semalam Fahri tidur di sana, masih ada barang-barang yang belum Fahri tata.
"Bik, kamar tamu cek ya, Mama mau tidur di sana."
Bik Mira mengangguk paham, ia bergegas menuju kamar tamu di mana Fahri semalam tidur, beberapa barang harus ia sembunyikan dan bawa ke luar diam-diam.
Sementara Haisha meminta Meri mengantarkan ke kamar lantai dua, mengalihkan perhatian Meri agar Fahri dan Bik Mira bisa berberes cepat.
"Ini gimana, Mas Fahri?" Bik Mira menunjuk tas baju Fahri.
"Bibik bawa ke luar aja, taruh di kamar kosong samping kamarnya Ica. Hati-hati ada Mama ya, Bik!"
"Iya, Mas. Saya pindahin sebentar," sahut Bik Mira.
Waktu mereka tidak banyak, satu barang saja milik Fahri ada di kamar tamu itu, bisa memancing kesimpulan Meri yang tidak-tidak.
Fahri bergerak cepat, merapikan semua sampai mengganti sprei dengan yang baru, bekerja sama dengan Bik Mira, kamar itu harus tampak baru dan jarang dijamah.
"Kok Ibu nggak lihat kaosnya Fahri di sini, Ca?"
Kaos, kaos Mas Fahri di mana ya?
Haisha memutar otaknya, beruntung Fahri muncul di depan kamarnya, memberi kode lewat jemari.
"Mas Fahri suka naruh bajunya di kamar sebelah yang kosong itu, Bu. Katanya biar nggak numpuk sama punya Ica, eheheheh ... Belum biasa."
"Eeemm, so sweet banget sih kalian, nanti juga bakal kebiasaan kok, keringat nempel jadi satu, ehehehehe."
Haisha tercekat, ia sudah kehabisan kata-kata.