"Makasi banyak ya, Ki. Nggak kebayang kalau aku dateng terus daftar nggak ada kamu, bisa bingung di sini, mana kampusnya besar lagi," celoteh Haisha.
Ini kali pertama kakinya menginjak tanah perkuliahan, senangnya luar biasa dan tidak pernah ia bayangkan akan mendapatkan kesempatan emas seperti ini.
Walau ada bayaran mahal di sana, tidak masalah, Haisha mengambil sisi positifnya.
"Sama-sama, tadi kamu naik apa ke sini?" Kiano tidak melihat ada mobil yang mengantar Haisha.
"Naik ojek online, tapi nanti aku naik bus aja."
"Nggak aku anter aja, Ca. Lumayan jauh dan kamu baru ke tempat ini, nggak takut nyasar, entar marah lagi Mas Fahri, kan kita juga pulangnya masih nanti."
"Nggak deh, Ki. Aku nggak mau Mas Fahri curiga aja, kamu tahu kan dia gimana ...."
Kiano mengangguk, "Kalau gitu biar aku ikutin kamu dari belakang ya, nggak tenang juga aku, Ca, lihat kamu kayak gitu, kecuali kalau udah sering, oke!"
Terpaksa, Haisha mengangguk saja karena sekali pun Haisha menolak, pasti Kiano akan tetap membuntutinya.
Itu sudah biasa mereka lakukan sejak sekolah. Mengurus pendaftaran tidak semudah yang Haisha bayangkan meskipun dia membawa nama keluarga Fahri yang ternyata sangat dikenal oleh kampus ini, entah ada hubungan apa, Haisha tidak mau ikut campur lebih, lagipula Fahri juga tidak menjelaskan apapun.
"Coba kalau tadi Mas Fahri ikut, pasti kamu nggak diraguin gini!" kesal Kiano melihat perlakuan acuh yang Haisha terima.
"Aku kali ya yang salah kostum, Ki. Gaya layak mau ngelamar kerja, bukan kuliah."
"Nggak lah, kalaupun gitu, nggak bener juga mandang dari style, nggak penting deh!"
Haisha tepuk bahu Kiano, lewat itu dia menenangkan teman baik yang sudah membantunya hari ini, tidak banyak yang bisa Haisha berikan sebagai ucapan terima kasih meskipun Kiano tidak meminta, hanya beberapa camilan yang bisa dinikmati bersama sembari menunggu proses berikutnya.
"Aku jadi adik kelas kamu ya?"
"Eheheheh, tapi tenang karena aku bakal bantuin kamu kalau ada yang nggak paham."
"Uwaaah, berasa jadi adik kelas terfavorit dong, Ki. Oiya, pacar kamu mana?" baru sadar tidak bertemu kekasih Kiano.
"Putus, ahahahah. Habis nyebelin juga, banyak omong!"
"Astaga, kamu nggak jauh beda dari Mas Fahri, kesel kalau aku banyak omong. Dasar!"
Mereka tergelak bersama, banyak orang yang mengira mereka mempunyai perasaan lebih, tapi secepat kilat mereka bantah, selama ini semua itu murni karena pertemanan yang mereka bangun, tidak ada yang berminat untuk merusak hubungan pertemanan yang telah lama terjalin hanya karena cinta sepihak.
***
"Ri'," sapa Gilang, setengah berlari sembari membawa beberapa berkas.
Fahri berhenti, wajahnya kaku seperti biasa ketika tidak ada atau kehilangan kabar Klareta.
"Apaan?"
"Ada yang perlu lo cek kali, makanya gue kejar." jawab Gilang. "Ica gimana? Betah nikah sama lo sehari?"
"Ngapain bahas dia?"
"Lo cemburu?"
Fahri rebut berkas-berkas itu kemudian berjalan lebih dulu, tidak ada kata cemburu dalam kamus hubungannya bersama Haisha, yang ada dia kesal bila ada orang yang membahas masalah pernikahan ini.
Pernikahan yang hanya formalitas di fikiran Fahri, tidak ada yang spesial di sana, justru ia jengah dan malas pulang ke rumah.
Belum lagi, ibunya yang terus bertanya bagaimana kabar Haisha, semakin dibuat kesal saja sampai Fahri hanya menjawab dengan gambar senyum, tidak berminat menuliskan sesuatu.
"Gimana malam pertama lo?" tanya Gilang, pria itu tidak suka basa-basi, bertanya to the point saja.
"Gila apa lo tanya gituan, nggak ada yang namanya malam pertama!"
"Elah, Ri'... Daging halal lo sia-siain, kalau gue pasti udah bergoyang dan milih di rumah!"
Fahri tidak bergeming, ia tutup telinganya rapat-rapat tentang apapun yang berhubungan dengan Haisha.
Kamar mereka saja terpisah dan hanya Bik Mira yang tahu, bagaimana bisa ada malam pertama, jelas tidak mungkin.
Lagipula, ah sudahlah, Fahri semakin malas bila membahas kekurangannya itu.
"Bawa pergi sana!" Fahri geser berkas yang Gilang bawa, sudah ia cek semua.
Gilang ambil, ia urungkan langkahnya, berbalik ingin menggoda Fahri lagi.
"Hari pertama jadi suami-istri jangan pulang kerja malem-malem, ada yang nunggu di rumah," ujarnya.
"Kuliah dia!"
"Owh, jadi dia udah mulai ngurus kuliah, nggak kerja di toko lagi. Waaahh, bagus tuh Ica bisa cuci mata, daripada lihat wajah suaminya yang kayak baju kusut!"
Fahri lempar map-map kosong ke arah Gilang, sontak pria itu berlari ke luar.
Cara cepat membuat orang jatuh cinta adalah dengan membuatnya cemburu lebih dulu, lama-lama hati itu juga akan menghangat.
Fahri ke luarkan semua foto Klareta yang ada di laci meja dan lemari kerjanya, bayangan Klareta bersama pria lain mengganggu fikirannya.
Ia kumpulkan dalam satu kotak besar lalu Fahri letakkan di sudut ruangannya, sengaja ia tumpuk dengan barang lainnya agar tidak ia buka-buka lagi.
Kenapa tidak dibuang saja? Tidak, perasaannya pada Klareta selalu hilang timbul karena itulah Fahri sampai detik ini masih menyimpan apa yang menjadi kenangannya bersama Klareta, ia belum bisa melepas dan tidak yakin ada yang menerimanya selain Klareta.
***
"Makasi ya, Ki. Kamu repot-repot ikutin Ica kan jadinya, pasti diomelin nanti nyampek rumah nih," ujar Haisha setelah turun dari ojek onlinenya.
Kiano tersenyum, "Biasa aja kali, kayak kita ini nggak pernah kenal aja! Buruan masuk, nanti dicariin sama suami kamu," balasnya.
Haisha mengangguk, ia lambaikan tangan sembari berucap hati-hati sampai pagar rumah itu tertutup dan Kiano beranjak pergi.
Bruk,
"Aduh," pekik Haisha, semua lembaran yang ia bawa terjatuh.
Haisha angkat wajahnya, sorot mata tajam dengan kedua tangan terkepal menyambut kedatangannya.
Fahri!
"Mas, udah pulang?" tanya Haisha, ia punguti lembaran dari kampus itu lalu berdiri. "Maaf, Ica nggak sengaja nabrak tadi," imbuhnya, satu tangan hendak terulur untuk mengajak Fahri bersalaman.
Fahri tepis dan berganti dengan cengkraman kuat di sisi wajah Haisha, membuat pandangan mereka bertemu dan Haisha bisa merasakan deruh nafas Fahri tepat di wajahnya.
"Murahan!" ucap Fahri.
Haisha mengerjap tidak mengerti, "Maksud Mas apa?"
"Sok polos lo!" Fahri tempelkan keningnya, membuat mata tajam itu mengunci mata Haisha yang tampak ketakutan.
"Kalau lo mau selingkuh, entar satu tahun lagi, lupa sama janji nikah itu, hah!"
Haisha memejamkan mata, ia benar-benar takut melihat Fahri seperti ini, ringisan perihnya tidak Fahri hiraukan.
"Wajah lo aja yang polos, tapi tingkah nggak lebih dari tukang jajan, ngerti nggak lo?" suara keras itu kembali menampar Haisha.
"Ica nggak selingkuh, tad-tadi Kiano cuman ikutin Ica buat mastiin kalau Ica-"
"Mastiin apa? Mastiin kalau nggak ada suami lo di rumah, iya?"
"Enggak, Mas. Beneran Kiano tadi itu-"
"Bibit murahan berwajah polos emang cocok buat lo, gue minta sabar sampai kita pisah, setelah itu lo bebas main tidur sama siapa aja!"
Tidur? Apa yang Fahri maksud?
Bruk,
Fahri hempaskan tubuh Haisha lagi, kembali tersungkur di teras rumah, lalu ia tinggalkan begitu saja.
Haisha tertatih berdiri, membawa lembaran kusut dari kampus itu dengan hati-hati, satu saja rusak, besok langkahnya akan semakin dipersulit.
"Nggak usah kasih dia makan, itu hukuman karena dia udah pulang telat dan selingkuh hari ini!" titah Fahri pada Bik Mira.
Bik Mira hanya mengangguk samar, ia pedih memandang Haisha yang tersenyum di belakamg Fahri, tapi hatinya juga sedih melihat kondisi jiwa Fahri yang semakin goyang.
"Lo tidur di ruang tamu!" ucap Fahri, hawa dingin juga akan menjadi hukuman bagi Haisha malam ini.