Chereads / Be a Little Wife / Chapter 16 - Be a Little Wife

Chapter 16 - Be a Little Wife

Usai sudah semua urutan acara yang dibuat untuk pernikahan Haisha dan Fahri hari ini, Haisha tampak terus berada di samping Fahri dengan senyum yang tidak pernah pudar.

Bukan karena Haisha ingin, tapi pria itu melarangnya duduk berjauhan karena banyak pasang mata yang mengawasi.

Selama satu tahun ini, Haisha harus menjaga diri dan menjauh dari rana media sosial, Fahri tidak mau kehidupan rumah tangganya menjadi konsumsi publik karena pasti banyak drama yang tidak wajar di mata pasangan lainnya.

"Mas mau makan kue?" tawar Haisha, ia merasa lapar.

"Hem," jawab Fahri, itu artinya mengizinkan Haisha untuk mengambil beberapa potong kue.

Be a little wife, julukan yang tersemat untuk Haisha, di jaman yang sudah serba modern ini, di mana banyak wanita yang memilih untuk mengejar karir demi menentukan standart pasangan, Haisha sudah menikah, terlebih lagi tanpa cinta di dalamnya.

Istri kecil Fahri Yudistira yang malang, itu julukan yang benar, tapi Haisha usahakan tidak sampai ke luar ke mana-mana, ia harus tampak bahagia dengan gaya khas riangnya.

Membuang semua rasa sedih yang membelenggu dan menggantinya dengan fikiran santai yang sederhana. Hidup ini tidak bisa memilih, kita hanya menjalani dan takdir membuat Haisha mau tidak mau harus berjalan seperti ini di samping Fahri.

Ketakutan menjadi janda dan menyakiti banyak orang, untuk sementara Haisha hilangkan, dia fokus menjadi istri Fahri, dia tidak peduli akhirnya nanti karena apapun itu Haisha yakin adalah yang terbaik dari Tuhan.

"Ica ganti baju dulu gih!" Meri ulurkan tangannya.

Haisha sambut tangan itu, menoleh pada Fahri sebentar, "Ica pergi bentar ya," ucapnya.

Fahri hanya mengangguk, hal itu sudah cukup untuk Haisha, pria yang kini telah menjadi suaminya itu bisa dikatakan pandai sekali menjalankan peran.

Walau menikahi Haisha tanpa cinta dan beralaskan tujuan lain, Fahri tetap menemani keluarga paman Haisha dan teman lainnya yang hadir, menjawab semua pertanyaan mereka dan tidak lupa berbagi kisah, Fahri di mata mereka terlihat sangat ramah.

"Nanti kamu berangkat ke rumah baru sama Fahri ya," ujar Meri.

"Malam ini juga, Bu?" Haisha sontak melepaskan baju yang baru saja akan ia pakai, mengambil cepat, malu.

Meri tergelak, "Kenapa, kamu takut ya? Sakitnya cuma sebentar kok."

Eh, bukan itu, bukan itu yang Haisha maksud!

"Kamu udah tahu kan kalau orang menikah itu bakal apa malamnya, hem? Udah tahu belum?" pancing Meri.

Haisha mengangguk, "Kemarin waktu di KUA, udah dijelasin kok, Bu ... Tapi, bukan itu maksud Ica, jadi-"

"Kamu malu aja mau ngakuin, tenang ... Ibu nanti bakal bilang sama Fahri nunggu kamu siap, laki-laki itu kalau di depan gini acuh, eh kalau di kamar bisa kayak harimau kelaparan!"

Astaga, Haisha telan susah payah ludahnya yang tercekat, cengar-cengir bingung di depan Meri.

Maksud Haisha adalah dia masih ingin tinggal bersama keramaian di sini, berbincang dengan Meri dan yang lain, bila dia sudah masuk rumah Fahri yang tidak lain rumahnya juga selama menikah dengan Fahri itu maka dia tidak akan bisa ke luar seenaknya.

Fahri melarang Haisha bekerja di toko, gadis itu harus bersekolah ke jenjang berikutnya sebagai hadiah atas pernikahan ini, setidaknya ketika mereka berpisah, Haisha bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gelar sarjananya.

Rumahnya pasti sepi dan teman Haisha hanya beberapa kucing lucu yang sempat Meri tunjukkan kemarin, kebosanan sudah membayangi benak Haisha.

"Mas." terkejut melihat pandangan Fahri yang menukik tajam ke arahnya, pria itu menyusul ke kamar ganti, sialnya Meri menghilang begitu saja.

"Ada temen lo, buruan!"

"Iy-iya."

"Jangan lupa minta dia urus pengunduran diri, ngerti?"

"Iy-iya, Mas."

Gugup, Haisha mengutuk dirinya sendiri, baru saja tadi semangat untuk tampil riang dan ringan di depan Fahri, nyalinya sudah menciut lebih dulu, bahkan drama rumah tangganya belum dimulai, masih banyak orang di tempat ini.

"Icaaaaa," panggil Fahri geram.

Haisha berhenti, membalikkan badan, menarik nafas dalam-dalam demi mengatur wajahnya yang harus tampil cerah.

"Iya, Mas?" bagus, berhasil tampil ringan di depan Fahri, membuang beban yang ada.

"Pakek sepatu!"

"Eheheheh, grogi jadi lupa, maaf ya."

Haisha berlari mengambil sepatunya, memakai cepat lalu berjalan setengah berlari ke luar kamar.

"Icaaaaa," memanggil lagi, kali ini lebih geram.

"Iya?"

"Lo amnesia apa? Udah gue bilang kalau kita mesti barengan, bodoh banget sih!" hardik Fahri.

Haisha terkekeh sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Iya, iya. Maaf, ini yang terakhir lupanya, oke." Ica gandeng lengan Fahri, menjadikan pria itu rajanya hari ini.

Buang dan buang semua beban yang semakin membuat takut itu, Haisha mengubah dirinya dan memaksa untuk seperti ini, bila dia ingin menangis mendengar ocehan Fahri, harus ia tahan sampai di mana dia sendiri dan bisa menangis sampai puas,tidak di depan Fahri atau orang lainnya.

Dia harus menjadi istri yang tegar dan kuat, usianya memang masih muda, tapi dia tidak boleh diragukan, dia harus bisa Fahri andalkan.

Riang dan berhati besar, itu diri Haisha, bahkan masalah ibunya tidak menjadi beban lagi.

"Duh, pengantin baru pengennya ke kamar aja, ke mana-mana diikutin ya, sabar ...." Meri menggoda kedua anaknya itu.

"Maa ...." Fahri lirik ibunya itu, sontak Meri berkedip genit membalasnya.

Fahri turunkan tangan Haisha, menunjuk tempat di mana Kayang dan Kiano duduk menunggu sedari tadi, di sana juga ada beberapa tamu yang sebenarnya tidak Haisha undang, mereka memaksa ikut Kayang karena ingin melihat Fahri dalam jarak dekat saja.

"Hai, Ica, selamat ya ...."

Ini, mereka pekerja senior di toko yang sebentar lagi akan menjadi mantan tempat kerja Haisha, mereka yang awalnya acuh, kini berubah menjadi sok kenal sampai memeluk dan membawakan Haisha hadiah.

"Silakan dinikmati, terima kasih banyak sudah menyempatkan waktu untuk datang," ujar Haisha.

"Mana suami kamu, Ca? Bawa ke sini ngapa," celetuk salah satu senior itu.

"Kita mau ketemu dan salaman langsung dong, Ca!" rengek satunya lagi.

"Jangan-jangan, jangan diturutin, Ca!" cegah Kayang yang mendapat anggukan dari Fahri.

"Kenapa sih? Kita itu mau tanya sama foto juga, dia lagi jadi trending topik loh, apalagi ada fotonya waktu Klareta dateng. Iuuhhhh, bener-bener nggak selevel sama kamu, Ca!"

Kayang sudah mengepalkan tangannya, bersiap untuk mendarat kasar di bibir senior cerewet itu, beruntung Kiano menahan demi nasib Haisha, Kiano tidak mau Haisha mendapat akibat dari perlakuan buruk spontan Kayang di moment ini.

Kiano yakin, senyum dan ketegaran yang Haisha ciptakan hari ini untuk menutupi kesedihan dan kekhawatiran yang ada. Sebagai sahabat lama, Kiano ingin Haisha mendapat perlakuan baik seperti kebaikan yang nanti juga Haisha berikan.

"Ki," senggol Haisha, ia berikan minuman dingin rasa buah itu.

"Makasi, Ca." Kiano terima lalu meneguknya setengah. "Seger banget, Ca. Udah lama nggak lihat kamu ceria kayak gini, jaman sekolah kamu suka ketawa ringan nggak ada beban gini, semoga seterusnya kamu kembali ceria lagi ya, tenang aja urusan Ibu kamu," tutur Kiano.

Haisha mengangguk, "Ica juga kangen ketawa kayak gini, tapi emang harus gini biar awet muda kan?" Kiano mengangguk. "Sekarang Ica bakal kuliah, bantuin Ica ya, Ki," imbuhnya memohon.

"Tenang aja, apa juga yang nggak buat kamu, Ca. Kita ini temen lama tahu!" balas Kiano, sontak mereka tergelak bersama.

Ya, Haisha memang harus seperti ini, lagipula dia tidak perlu berfikir berat dalam urusan ekonomi, terlebih biaya rumah sakit karena Fahri akan menjamin itu semua.

Dia hanya perlu menjalankan tugas sebagai istri sesuai aturan Fahri dan belajar tekun agar benar-benar menjadi sarjana yang bermanfaat nantinya, bisa berdiri sendiri ketika Fahri sudah memutuskan hubungan ini.

Semua demi sang ibu, hanya itu yang ada di fikiran Haisha. Menjadi istri kecil tidaklah mudah, banyak hal yang harus ia pelajari agar bisa menyeimbangkan diri dengan Fahri, sang suami.

"Bu, Pak ... Ica pergi dulu ya, Ica tunggu kedatangan Ibu ke rumah," ujar Haisha pamit pada Meri dan Hendra setelah berpamitan dengan keluarga pamannya.

Meri peluk Haisha, sebenarnya dia ingin Haisha tinggal satu rumah dengannya, tapi keinginan Fahri tidak bisa ia bantah.

"Baik-baik ya, Ibu bakal ke sana nanti ...."

Haisha gandeng tangan Fahri yang terulur, drama rumah tangga itu dimulai detik ini.