Chereads / Be a Little Wife / Chapter 9 - Dia, Pria yang Penurut

Chapter 9 - Dia, Pria yang Penurut

"Fah, masuk sini buruan!" Meri sambut anaknya yang baru saja pulang kerja.

Fahri sama sekali tidak tahu kalau hari ini Haisha akan ke rumahnya, gadis itu tersenyum tipis dan sedikit mengangguk ketika bersitatap dengan matanya.

"Berkasnya udah kan yang buat nikah, biar dibawa sama Ica terus lanjut urus?" Meri tanya Fahri yang kembali berjalan masuk acuh, tidak menyapa Haisha layaknya pasangan yang akan menikah.

Tanpa menjawab pertanyaan ibunya, Fahri berikan berkas pengurusan pernikahan itu pada Haisha, wajahnya masih saja acuh sampai satu tepukan mendarat di pipinya.

"Kamu jangan cuek-cuek gitu, Ica ini calon istri kamu!" ucap Meri mengingatkan.

Baru Fahri mengulas senyum dan mau duduk di sebrang Haisha, mereka melempar pandangan sebentar lalu sibuk dengan camilan masing-masing.

"Udah lengkap belum punya Fahri, Ca?" Meri ambil duduk di samping Haisha, ia harus pastikan Fahri tidak beranjak ke mana-mana.

Haisha mengangguk, "Udah semua, Bu ... Besok bisa Ica kasih ke orangnya buat diurus."

"Syukurlah, Ibu nggak sabar kalian menikah dan Ibu bisa ketemu kamu tiap hari, ya kan, Fah?" memancing anaknya.

Fahri mengangguk, ia pandang Haisha sebentar yang sontak merona, ia rasa wajar karena setiap gadis yang dekat dengannya selalu memerah seperti itu.

Ketampanan dan kemapanan yang ia punyai sudah menjadi ajang berebut di luar sana.

"Lo nggak bisa naik motor beneran?" Fahri memastikan ulang, aneh saja melihat anak jaman sekarang tidak bisa naik sepeda motor, anak sekolah dasar sudah banyak yang bisa.

"Dulu pernah belajar sama Kayang, tapi nggak pernah coba lagi, mungkin bisa sedikit ... Ica coba ya?" Haisha mulai menyalakan motor itu.

"Jangan-jangan, lo jatuh, bisa ngomel nanti yang di dalem!" cegah Fahri. "Lo duduk di belakang dulu, perhatiin dan dengerin arahan dari gue, entar baru lo coba, ngerti?"

"Iya," jawab Haisha cepat.

Dia tidak meminta ini, tapi Meri yang menawarkan dan meminta Fahri untuk membimbingnya tadi.

Satu hal yang membuat Haisha kagum pada Fahri adalah dia, pria yang penurut.

Sejak dulu, Haisha selalu melihat Fahri menurut pada semua perintah Meri, apapun yang wanita itu inginkan selalu ia penuhi walau dirinya tidak suka.

"Pegangan kalau takut!" ucap Fahri setengah berteriak, angin di sini cukup kencang.

"Iya!" sama menyahutnya dengan keras juga, Haisha pegang erat ujung jaket Fahri.

"Lo kok megang jaket?" melirik sekilas tangan Haisha.

"Nggak apa, Ica pegangan di sini aja." sontak Fahri ingin tertawa, Haisha benar-benar kuno.

Haisha teringat ibunya pernah berkata tentang seorang pria yang baik itu dilihat dari seberapa dia peduli dan mau mendengar orang tuanya, terutama seorang ibu yang melahirkan dan merawatnya.

Dengan begitu, dia pasti juga akan menjaga pasangannya dengan sangat baik, dia tidak akan berani menyakiti karena selalu teringat akan ibunya.

"Lo dengerin gue nggak?" sedari tadi bicara, tapi Haisha tidak merespon apapun.

Haisha tersentak kaget, "Iy-iya, Ica denger kok," menjawab sekenanya.

Fahri matikan motornya, ia berhenti di taman tengah komplek yang tidak terlalu ramai itu.

"Lo coba jalan sekarang," ucapnya sembari memberi Haisha kunci.

Gugup Haisha menerimanya, dia tidak terlalu mendengar Fahri tadi, tapi tidak mungkin mengaku kalau tadi dia hanya melamun dan mengingat ucapan ibunya dulu, Fahri pasti marah.

Brum,

Haisha mulai memutar gasnya, kaki kiri bersiap untuk menginjak pedal nomor satu.

Gemetaran Haisha gerakkan kaki kirinya, komat-kamit tidak karuan karena setelah sekian lama, baru ini dirinya mencoba mengendarai motor lagi.

"Sekarang masukin, Ca!" titah Fahri mengulang arahannya.

Haisha mengangguk, ia injak pedal itu lalu memutar gasnya bersamaan.

Brum, brum ... Ngeeeng!

Bruak!

"ICA!" Fahri berlari kepayahan.

Bukannya berjalan normal seperti yang Fahri ajarkan, Haisha justru terbalik dan terjatuh di rerumputan taman itu, ia terpental tidak jauh dari motor yang ia kendarai tadi.

Fahri pandangi motornya, itu motor lama dan pertama kali di masa hidupnya.

Dan kini beberapa bagiannya pecah karena menabrak kotak sampah permanen di taman itu.

"Aduuh," pekik Haisha berusaha bangun, ia pegangi kepalanya yang membentur tanah ringan.

Fahri kembali menoleh pada Haisha, ia angkat tubuh gadis itu dan memindahkannya ke bangku panjang yang tidak jauh dari lokasi Haisha jatuh.

"Lo nggak apa-apa kan? Tadi dengerin gue ngomong nggak sih lo, ah! Jadi lecet semua gini," cerca Fahri, pria itu mengomel sembari memeriksa luka yang ada di kaki Haisha.

"Ica grogi tadi, maaf." mengusap kepalanya.

Fahri periksa kepala Haisha juga, bila perhatian seperti ini yang Fahri berikan, maka jelas saja di luar sana banyak gadis yang mengambil antrian.

"Nggak perlu coba lagi kalau gitu, entar marah lagi yang di rumah!"

Haisha mengangguk pasrah, ia berpegangan pada Fahri karena kakinya terasa sakit, ia tidak bisa berjalan seorang diri.

Fahri ratapi sepeda motor pertamanya itu, ia hela nafas panjang, dia ingin memaki Haisha, tapi ia tidak mau ibunya semakin khawatir nanti, apalagi mereka belum menikah dan Fahri belum menunjukkan Haisha pada Klareta.

Tujuan utama itu belum Fahri dapatkan.

***

"Gue yakin tuh bocah bisa bikin Fahri bertekuk lutut lama-lama," simpul Gilang.

"Lihat dari mana lo?" Gio merasa tidak mungkin. "Dia belain tuh cewek cuman karena takut sama emaknya, lo tahu kan dari dulu Fahri itu nggak bisa kalau bikin emaknya sedih," tambah Gio.

"Awalnya gitu, lama-lama bakal ilang terus ganti suka beneran, gue yakin itu ... Makanya, waktu diajak Tante Meri ngobrol, gue setuju aja, lagian tuh bocah masih polos banget, gue jamin dah itu!" oceh Gilang.

Benci jadi cinta, hal yang sudah biasa terjadi dalam setiap hubungan, dan mungkin bisa saja terjadi pada Fahri dan Haisha meskipun mereka berlandaskan terpaksa dan balas budi, bukan benci.

Fahri obati Haisha dengan hati-hati, semua pemandangan itu tidak luput dari mata Meri, dia tahu putranya adalah orang yang bertanggung jawab sekalipun Haisha belum resmi menjadi istrinya dan semua itu Fahri lakukan hanya demi dirinya.

Tidak masalah, karena semua itu pasti akan berlanjut pada rasa yang tulus.

"Besok lo gimana kerjanya? Pulang entar gimana?"

"Nggak apa, Ica bisa kok bawa sepeda, ini cuman luka biasa, Mas," jawab Haisha mengulas senyum, ia yakin dan sudah pernah terjatuh seperti ini.

"Beneran?"

Haisha mengangguk, "Makasi tadi uda ditolongin, maaf juga karena udah bikin motornya rusak."

Fahri berdecak kesal, ia jadi teringat dengan nasib motornya, ia lirik Haisha sebal.

"Fah, anterin Ica pulang aja ... Besok pagi biar Mama yang anter jemput ke toko," ucap Meri mengisyaratkan perintah.

"Ica bisa kok bawa seped-"

"Gue anter aja!" potong Fahri cepat, ia tahu lirikan dan maksud ibunya, ia tarik Haisha berjalan ke luar.

Fahri antar Haisha pulang, hal seperti ini sudah lama tidak ia lakukan sejak Klareta mulai mandiri dan dirinya sibuk.

Fahri mendadak rindu akan masa-masa bersama Klareta, tawa dan ocehan gadis itu selama di motornya dulu tidak bisa tergantikan, sedang Haisha lebih banyak diam.

"Mas Fahri hati-hati pulangnya, makasi." Haisga sedikit membungkuk, ia terbiasa di toko seperti itu.

Fahri hanya manggut-manggut, ia sudah memutar gasnya, tapi kembali terhenti dan memandang Haisha.

"Gue minta nomor hape lo," ucapnya.

"Owh, iya." Haisha terima ponsel Fahri dan mengetik nomornya di sana.

"Besok pulang kerja, gue jemput lo," ucap Fahri sembari menyimpan ponselnya.

"Ica pulangnya malem, Mas."

"Acara temen gue emang malem dan gue butuh lo di sana, lo harus mau!" jelas Fahri memaksa.

Mau tidak mau, Haisha mengangguk, entah acara apa yang diadakan malam-malam.

"Apa mau nonton film horor, Ica kan takut, hih!" berlari masuk ke rumah.