"Ada apa ini, kenapa Ibu menghakimi calon menantu saya?" Meri berdiri di depan rumah Haisha.
Rencananya pagi ini dia akan menjenguk ibu Haisha, tapi senyum manisnya buyar ketika melihat banyak orang dan sampah yang berserakan di teras rumah itu.
Ketua RT setempat berusaha menjadi penengah, sekali lagi memberi pengertian pada warganya di depan Meri dan mengizinkan wanita itu untuk memberi penjelasan dan membela Haisha yang terus disudutkan.
"Kenapa memangnya kalau anak saya menikah dengan Ica? Kenapa kalau Ica masih umur 18 tahun? Apa salahnya menikah, daripada pacaran nggak jelas, lebih baik saya nikahkan anak saya sama dia, lagian saya kenal dia dengan sangat baik!" bela Meri, ia pun juga memperkenalkan diri sebagai pemilik asli rumah yang Haisha tempati sekaligus mantan majikan orang tuanya.
Ikatan mereka jelas dan tidak ada yang perlu dicurigai di sana, Meri tidak akan segan-segan melaporkan mereka pada pihak berwajib kalau sampai berani bertindak bodoh lagi.
"Kalian tuduh Ica hamil hanya gara-gara dia mau nikah umur 18 tahun, emang dari kalian nggak ada yang mendadak nikah karena hamil, jangan sok suci jadi orang!" ucap Meri, ia sungguh tidak terima anaknya juga dicap sebagai pria tidak benar yang menghamili anak orang.
"Terus kenapa kok lamarannya mendadak dan nggak undang-undang?" celetuk salah satu warga.
Meri tergelak mendengarnya, "Undang-undang? Memangnya lamaran seperti apa yang kalian bayangkan, hah? Ica itu tinggal sendiri dan kemarin hanya simbolis, bisa nggak kalian mikir panjang dulu gitu, tanya baik-baik, nggak seenaknya nuduh orang, apa orang tua Ica pernah nyinggung hidup kalian?"
Mereka semua menggelengkan kepala.
"Cuman karena Ica itu anak orang nggak mampu, kalian bisa seenaknya gini, ke mana aja kalian sekolah selama ini, hah? Kesel saya Pak RT sama warganya," ucap Meri sembari mengusap keringatnya.
Pagi-pagi dia datang dengan niat yang baik dan mood yang baik juga, mendadak rusak karena ulah orang sok tahu seperti tetangga Haisha.
Memang tidak semua yang seperti itu, tapi itu sudah masuk hitungan banyak bila dibandingkan Haisha yang seorang diri.
"Nanti saya pasti minta ijin dan kabar-kabar ke Bapak RT masalah Ica, terima kasih sudah berusaha melindungi dia, Pak."
Meri kembali masuk ke dalam rumah, ia lihat Haisha tengah membersihkan rambutnya dari pecahan telur, ada Kayang yang membantu.
Gadis itu bisa saja melawan, tapi dia seorang diri dan dia terlalu lemah di mana selama ini memang keluarganya tidak terlalu dianggap karena mereka hanya orang biasa, sedang tempat di mana mereka tinggal atau rumah pemberian Meri ini masuk pada lingkup kampung yang terhitung cukup.
"Ibu, maaf jadi bikin Ibu repot ini," ujar Haisha, ia tidak berani mendekat pada Meri karena baunya telur semua.
Meri hapus air matanya cepat, gadis itu bukan hanya berwajah polos, tapi seisinya juga masih sangat polos, satu hal yang membuat Meri suka dari Haisha adalah pola fikirnya, dia bisa menekan ego dengan sangat baik.
"Kamu buruan mandi, kita cuman punya waktu sebentar kan ke rumah sakitnya," ucap Meri sembari mengulas senyum.
Haisha mengangguk, ia minta Kayang menunggunya sebentar, beruntung Kayang tidak ke luar tadi sehingga dia tidak terkena lemparan telur.
"Makasi ya kamu udah nemenin Ica," ucap Meri pada Kayang.
Gadis itu mengulas senyum, "Saya sayang sama Ica, Bu, saya titip Ica sama Ibu ya nanti ... Karena kan nggak mungkin saya asal nginep di rumah Ibu, eheheheh."
Meri mengangguk, ia jamin kebahagian Haisha di sana, ia tahu Fahri belum mencintai Haisha dan mungkin rumah tangga mereka akan datar pada awalnya.
Tapi, Meri yakin kalau nanti Haisha bisa membuat Fahri berpaling dari Klareta dan sangat mencintainya, Meri sangat yakin itu.
"Fah, Mama udah perjalanan ke sana ... Kamu sama Papa jadi ketemu di rumah sakit langsung ya, oke?"
"Oke, Ma."
Fahri lirik ayahnya yang tersenyum sembari mengangkat kedua bahunya.
"Papa setuju aku nikah sama dia?" tanya Fahri dengan mata fokus pada kemudi.
"Setuju aja, lagian Ica itu anak baik ... Kamu jangan keras-keras sama anak orang, kalau mau nyakitin Ica, inget sama Mama kamu!" pesan Hendra pada putranya.
Huft, Fahri menghela nafas, dia merasa salah memilih jalan lewat pernikahan ini.
Bagaimana dia tidak akan menyakiti Haisha, sedang tujuannya adalah untuk membuat panas Klareta, pasti ada moment di mana Haisha menjadi korban di sana.
"Kamu masih suka sama Klareta?"
Fahri tidak bisa menjawab, dia jelas bingung mau menjawab apa.
"Papa juga gitu waktu ketemu Mamamu, masih ada cinta buat mantan pacar ... Tapi, lambat laun hilang sendiri, yang terbaik ya Mamamu itu," ungkap Hendra mengingat masa lalu.
Fahri hanya tertawa sumbang, perbandingan Haisha dan Klareta itu sangat jauh, bagai langit dan bumi, bahkan dengan mata telanjang saja bisa memilih cepat mau berpihak pada siapa.
Klareta terpancar dengan sangat jelas auranya, berbeda dengan Haisha yang lebih cocok menjadi saudara atau adiknya, gadis jauh dari kata menarik.
***
"Pak," sapa Haisha sopan pada Hendra, pria itu pun membalas dengan lembut.
Hendra juga suka dengan gadis itu, menurutnya gadis seperti Haisha bisa menjadi istri yang patuh dan mudah diarahkan.
Perdebatan kecil pasti ada, tapi kemampuannya menekan ego bisa menjadi penghalang terjadinya pertengkaran besar.
"Kita masuk sebentar ya, Ica harus kerja dan pihak rumah sakit tidak memberi ijin lama," ujar Meri, ia tarik Fahri ke sampingnya.
Sudah lama mereka tidak bertemu, Meri titihkan air mata mengingat bagaimana perjuangan Wati dulu bekerja dan mendampingi suaminya yang telah tiada, si kecil Haisha pun selalu membuat hari-harinya berwarna.
"Ti, aku dateng jengukin kamu sama bawa kabar bahagia ... Anakku Fahri yang dulu sering kamu sisirin rambutnya sama siapin baju, dia mau meminang Ica, aku mohon restu dari kamu agar jalan mereka ke arah serius ini dipermudah dan semoga kamu cepet sadar, kamu bisa dampingin Ica," tutur Meri.
Walau tidak merespon apa-apa, Meri yakin Wati setuju dengan permohonannya, Meri tahu wanita itu juga sayang pada anaknya dan Fahri sangat menurut pada Wati dulu.
"Fah, ayo ngomong sama Bu Wati!" titah Meri pada putranya.
Fahri berganti duduk di samping ranjang itu, dia memandang Haisha sebentar, kebetulan gadis itu duduk di sebrangnya bersama Kayang.
Haisha masih mengingat surat perjanjian pra nikah itu, jujur dia merasa bingung dan berat entah kenapa, tapi memilih diam dirasa lebih baik, ia tidak mau merusak apa yang sudah Meri rencanakan dengan baik.
"Bu Wati, ini aku Fahri ... Aku datang ke sini selain jengukin Ibu, aku juga mau minta restu dari Ibu buat meminang Ica, aku tahu kalau aku sering bikin Ibu kesel dulu, tapi aku serius ... Aku minta restu dan semoga Ibu merestuinya," ujar Fahri, ia genggam tangan Wati yang pucat itu, mengecupnya seperti biasa ketika dia dulu masih kecil.
Haisha menunduk sebentar, ia sangat bingung dengan calon suaminya itu.