"Kamu ini apa-apaan sih kok pakek malu di rumahnya Ibu, hem? Kamu dulu itu sering lompat-lompatan di kursi ini sampe jatoh, iya kan, kamu inget nggak?" celoteh Meri.
Wanita itu tampak sangat bahagia, mendengar Haisha menerima lamaran yang ia bawa kemarin untuk Fahri, menguapkan rasa kantuk yang sedari tadi mendera, bahkan ia sempat terlelap.
"Icaa ... Ibu nggak suka loh kalau kamu jadi pendiam gini, Ibu hafal kamu itu suka ngomel dulu, ceria anaknya, hayo, jangan jadi orang lain di depan Ibu!" Meri ingatkan Haisha sekali lagi.
Apa yang Meri katakan itu benar adanya, sejak kecil Haisha bukan termasuk anak yang pendiam, dia banyak sekali ide dan tingkah, bahkan rumah megah dan besar ini bisa Haisha penuhi dengan ocehannya.
Dan itu satu hal yang juga termasuk dalam ketidak sukaan Fahri, lagi-lagi Haisha yang seperti itu sangat berbeda dengan Klareta.
Tapi, mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur dan dirinya harus meneruskan perjodohan ini, dia harus berfikir keras bagaimana membuat Haisha bisa bermanfaat untuknya, terutama urusan Klareta.
Sampai detik ini, foto profil ponsel Fahri pun masih gadis berparas cantik itu, dia belum bisa melepaskan Klareta dan ada secerca harapan untuk bisa kembali bersama, ia yakin Klareta nanti akan datang kembali.
Lalu, bagaimana nasib pernikahannya dengan Haisha?
"Mas Fahri manggil aku?" mengatur nafasnya, ia berlari kecil menuju ruang kerja pribadi di rumah ini, dulu Haisha juga suka bermain di ruangan ini
Fahri mengangguk, ia jentikkan jemarinya agar Haisha duduk di depannya.
Haisha terus mengulas senyum, seperti yang Kiano katakan, tidak melihat pada Fahri, semua ini dia lakukan demi Meri, wanita berhati malaikat yang sudah membantu keluarganya.
"Ini, baca!" titah Fahri sembari menggeser satu lembar kertas.
"Ini apa?" mengangkat kertas itu lalu membaca singkat. "Surat-"
"Perjanjian pra nikah," potong Fahri, ia menyeringai tipis.
Perjanjian pra nikah?
Haisha menelan susah payah ludahnya, hal sulit yang harus ia pahami dalam waktu singkat tanpa ada Kiano atau Kayang untuk bertanya, ini sudah larut dan tadi ia berbohong sudah sampai rumah, mereka pasti sudah tidur.
"Lo harus setuju sama isinya-"
"Tidak tidur dalam satu kamar."
"Di sana semua peraturan-"
"Tidak ada cinta di antara kita dan hidup seperti saudara atau teman."
"Gue minta lo-"
"Urusan masing-masing adalah urusan pribadi, tidak boleh ikut campur."
"Ica-"
"Harus menurut pada semua perintah suami apapun itu, terutama tampil baik-baik saja di depan orang tua dan banyak orang."
"Ica, gue-"
"Boleh mencintai orang lain selain pasangan."
"ICA!" Fahri tinggikan suaranya.
Haisha tersentak kaget, dia letakkan kertas berisi surat perjanjian pra nikah itu kembali, duduk tegap membalas tatapan Fahri yang menyalang.
"Lo bisa nggak dengerin gue ngomong dulu," ucap Fahri kesal.
"Maaf, Ica tadi cuman baca isinya aja," jawab Haisha, ia remat jemarinya di bawah sana, takut.
Fahri rebut kembali surat perjanjian itu, "Gue bakal kasih copy-an surat ini ke lo, tapi lo harus janji nggak bakal kasih tahu orang tua gue masalah ini, ini cuman antara kita aja, paham?"
Haisha mengangguk, ia belum tuntas membaca surat perjanjian itu, tapi peraturan terakhir yang ia baca cukup mengejutkan dan memunculkan tanda tanya besar di kepalanya.
Kenapa Fahri tidak melarang dirinya untuk me cintai orang lain, itu juga termasuk atau berlaku untuk Fahri sendiri kan?
Apa artinya itu?
"Mas Fahri, boleh Ica tanya?"
"Hem," menyahut singkat, bergumam.
"Yang sempet Ica baca, kenapa di sana itu ... Masalah cinta, itu-"
"Boleh mencintai orang lain?"
Haisha mengangguk, ia ingin tahu kenapa ada peraturan seperti itu, beberapa aturan di atasnya masih bisa Haisha anggap wajar mengingat tadi Kiano menjelaskan hal-hal yang mungkin terjadi pada pasangan halal tanpa diawali cinta, apalagi lewat perjodohan seperti ini.
Tapi, hal terakhir itu tidak ada dalam ucapan Kiano yang Haisha ingat jelas.
"Lo tahu kan ini perjodohan yang orang tua gue atur, mereka suka sama lo lama, tapi bukan artinya gue juga suka sama lo, gue punya kehidupan pribadi sendiri di luar sana, gue suka sama cewek lain dan jelas bukan lo, biar imbang aja gue buat aturan begini, lo berhak dan boleh suka sama siapa aja di luar sana, bebas!" jelas Fahri.
"Tapi, orang menikah itu kan yang Ica tahu nggak boleh cinta atau suka sama orang lain, namanya itu berkhianat," balas Haisha, ia ingat sedihnya Kayang ketika kekasihnya dulu memilih gadis lain di sekolah.
Dalam berpacaran saja, mencintai selain pasangan mereka itu salah, itu artinya dalam pernikahan juga jauh lebih salah, Haisha juga sering mendengar dari para senior di mini market.
"Sah-sah aja, kan kita nikah nggak ada cinta, dijodohin. Kalau lo nyaman sama orang lain dan gue juga, tinggal pisah aja entar, yang penting sekarang nikah dulu, nyenengin orang tua, lo juga nggak bisa nolak karena balas budi kan?"
Tebakan yang sangat benar, memang itu alasan Haisha menerima lamaran ini, tapi ia tidak sampai hati seperti Fahri dalam hal buruk seperti ini.
Haisha memang masih belum paham betul, tapi bukan berarti dia tidak mau pernikahannya berjalan lama.
Perpisahan seperti yang Fahri katakan pasti akan membuat Meri kecewa, bukan hanya itu, bila ibunya tersadar nanti dan tahu hal buruk menimpa pernikahannya, pasti malu dan tidak akan mau berbicara dengannya.
"Kenapa Mas Fahri mau nikah sama Ica kalau Mas suka sama cewek lain?" susah payah Haisha rangkai kalimat tanya ini, dia ingin mencatat dalam otaknya.
Fahri terkekeh, "Sama kayak lo yang bakal lakuin apa aja demi orang tua, gue juga gitu, ini bikin orang tua gue seneng, lagian gue juga butuh lo buat bales mantan gue," ungkapnya.
Apa!
Haisha memahami ucapan Fahri susah payah, berulang kali memutar agar paham apa yang Fahri maksud.
"Perjanjian ini gue anggep lo setuju, lo udah setuju juga nerima lamaran ini, jadi selamat datang dan mari kita bekerja sama, oke!"
Dia, bukan gadis yang calon suaminya mau.
Dia, hanya gadis yang dinikahi atas nama orang tua.
Dia, hanya gadis tidak berdaya yang nantinya menjadi alat untuk membalas sakit hati pada gadis lain.
Dia, tidak akan mendapatkan cinta dari pria yang akan menikahinya dan mengarungi hidup bersama.
"Ibu, Ica-"
"Fahri pasti bikin kamu takut ya?" potong Meri, wanita itu tersenyum lebar.
Haisha bergeleng, ia ingin berbicara dengan Meri masalah perjodohan ini.
Tapi, melihat senyum Meri tadi membuat niatnya pergi entah ke mana, dia tidak sanggup melukai hati dari wanita tulus itu, wanita yang suka rela menolong keluarganya tanpa curiga dengan latar belakang dan semuanya.
"Mau ngomong apa tadi, Fahri bentak kamu?" Meri antar Haisha ke kamar tamu, malam ini gadis itu harus menginap, ia tidak tega Haisha mengayuh sepeda larut malam seperti ini dan itu sangat jauh.
"Eng-enggak, Mas Fahri tadi cuman kasih aku note, iya ... Note buat nyatet pesanan di toko, eheheheh...." Haisha ikuti langkah kaki Meri sampai ke kamar tamu luas nan mewah itu.
Ranjang king size di sana berbanding jauh dengan ranjang di rumah Haisha, bahkan di sini sangat empuk, tapi itu tidak membuat Haisha nyaman.
"Kamu pasti lihat foto cewek di ruang kerjanya Fahri kan, mau tanya itu?"
Terpaksa Haisha mengangguk.
"Dia itu cinta pertamanya Fahri, namanya Klareta, tapi dia bukan gadis baik, Fahri aja yang buta ... Ibu yakin kamu bisa bikin dia berpaling jadi suka sama kamu kok, kalau dia marah-marah tanggepin santai aja, Fahri itu sebenernya nggak sekeras ucapannya," jelas Meri.
Haisha masih mencatat dalam otaknya, dia akan memikirkan lagi nanti, dia juga bisa bertanya pada temannya bila tidak paham.
"Buat Mas Fahri berpaling? Gimana itu?" jujur, pengalamannya tidak ada.
***
Hay kak, lega bisa sampai bab 5, semoga kalian suka dan jangan lupa tinggalkan jejak kalian di kolom review ya... Jangan lupa juga tambahin ke rak baca, terima kasih...