"Ibu gimana kabarnya, hem? Ica punya kerjaan baru loh, maksud Ica tambahan jam kerja, Ica yakin Ibu bakal marah kalau tahu Ica kerja kayak gini, tapi ini halal dan Ica seneng, semua itu karena Ica mau Ibu cepet sembuh, Ibu cepet sadar ya, nanti Ica janji bakal penuhin apa yang Ibu mau." Haisha berkunjung ke rumah sakit sebelum masuk kerja hari ini.
Dia kayuh sepeda pasar kesayangan ibunya itu pagi buta agar nanti tidak terlambat menuju mini market tempat ia mencari nafkah.
Jaraknya lumayan jauh dan bisa tiga kali lipat, tidak jadi masalah karena perawat di sini ramah dan mengenalnya baik, bahkan tadi ada yang memberi Haisha sarapan, mereka sudah hafal kalau Haisha kemari dalam kondisi perut kosong.
Memalukan memang, tapi bila dia harus memasak lebih dulu, dia bisa terlambat, lagipula nanti ada Kiano yang akan membawakan camilan dan makanan untuknya, teman baiknya itu akan datang berkunjung.
Haisha genggam tangan pucat itu, hanya suara alat medis yang Haisha dengar sebagai tanda ibunya masih ada, dokter sudah menawarkan untuk melepas alat bantu itu, tapi Haisha yakin ibunya pasti sadar, ia tidak peduli harus mencari uang sebanyak apa asalkan itu halal dan berkah untuk kesehatan ibunya.
"Kiano titip salam sama Ibu, Kayang juga, mereka nanti nemenin aku kerja, mereka bakal bawa makanan banyak biar perut Ica nggak bunyi, hehehehe ... Ibu tahu kan kalau aku paling nggak bisa nahan laper, mereka hafal juga sama Ica," oceh Haisha, ia selalu menceritakan apapun pada ibunya itu.
Walau tidak sadar, Haisha yakin ibunya itu bisa mendengar kisahnya dan suatu saat nanti akan mereka bahas bersama.
"Maafin Ica nggak bisa nolong Ayah ya, Bu ... Waktu itu uang yang kita punya cuman cukup buat tindakan Ibu, Ica nggak berani minta tolong sama Bu Meri, beliau juga sempet marah sama Ica waktu tahu Ayah nggak ketolong cepet, maafin Ica ya...," ujar Haisha berlinang air mata.
Itu bukan salahnya, mobil ambulance yang pertama datang adalah yang membawa ibunya, Haisha susah payah memahami semua yang dijelaskan oleh pihak rumah sakit, ia pun setuju untuk tindakan ibunya dengan uang yang ia rasa cukup.
Tapi, ketika mobil lain datang membawa ayahnya yang sudah kritis, Haisha ketakutan dan bingung, dia tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana, perawat dan dokter di sana mengatakan kalau kondisi ayahnya sudah sangat kritis, kecil kemungkinan untuk bisa selamat.
Haisha ingin menjual gelang dan anting pemberian ayahnya, tapi ketika kakinya berlari ke luar ruangan, di saat yang bersamaan alat pendeteksi jantung itu berbunyi keras dan datar.
Belum sempat ia berjuang, Tuhan memanggil ayahnya lebih dulu, sampai detik ini Haisha masih terus menyalahkan dirinya sendiri.
Seharusnya dia ikut bekerja sejak dulu sehingga ia punya tabungan seperti sang ibu, atau mungkin dia meminjam telephone rumah sakit untuk meminta tolong pada mantan majikan kedua orang tuanya yang kebetulan saat itu tengah berada di luar kota.
"Ica kerja dulu ya, Ibu baik-baik sama perawat di sini," ucap Haisha, ia kecup kening ibunya sebelum berlalu.
Haisha hapus air matanya, ia berjalan ringan dan tegap seperti tidak terjadi apa-apa, menyapa juga memberi senyum pada perawat dan petugas keamanan yang ia kenal.
Bruk,
Haisha terpental sedikit, "Maaf," kata Haisha.
Raut takutnya sontak berubah menjadi senyum kala melihat siapa yang baru saja menabraknya itu.
"Pak Dokter, Ica kira siapa," setengah menjerit Haisha menyapa dokter muda yang menangani ibunya.
"Kamu sih main senyum-senyum aja sama Pak Sarto, jadi jatuh kan? Gimana kabarnya, Adek kecil?" mengusak rambut Haisha gemas.
"Ica ini udah lulus SMA, bukan anak kecil!" memprotes sembari berkacak pinggang.
"Tetep aja anak kecil, masih belum 20 tahun, masih ingusan!" ledek dokter muda itu.
Namanya Tama, dia selalu menggoda dan memberi candaan pada Haisha, ia tahu gadis itu sangat tertekan dan terbebani dengan semua ini, tidak jarang Tama menitipkan camilan atau makanan pada perawat hanya untuk Haisha ketika gadis itu berkunjung.
Baginya Haisha adalah anak kecil, bukan hanya karena tubuhnya yang kecil, tapi juga wajah polos Haisha yang meragukan bila diakui gadis itu sudah berusia 18 tahun, belum lagi pengetahuannya tentang dunia luar yang sangat minim, Tama suka sekali bercanda dengan Haisha.
"Ati-ati, toleh kanan sama kiri kalau mau nyebrang, oke!"
"Baik, Dokter ... Sampe ketemu lagi," balas Haisha, ia kayuh sepedanya setelah mendapat balasan lambaian tangan dari Tama.
Hubungan mereka sebatas itu saja, mungkin menurut orang bisa saja Tama memendam rasa bila dilihat dari perhatiannya, tapi bila melihat Haisha itu rasanya akan sangat tidak mungkin.
Di mini market tempatnya mengadu nasib, Haisha kembali memulai hari yang panjang ini, membuka toko sampai menutupnya, dia akan selalu menghiasi toko ini dengan wajahnya.
"Kiano jadi ke sini?" Haisha tidak sabar ingin berbincang dengan temannya itu.
"Tunggu aja, aku juga lagi nungguin dia bawain aku es cendol, dia udah janji bawa dua khusus buat aku!" Kayang membusungkan dadanya, sontak Haisha tepuk dan mereka tergelak.
"Aku dibawain apa ya ... Pokoknya dia harus dateng dulu, makanan bisa beli jajanan di sini," gumam Haisha, kehadiran Kiano sudah lebih dari cukup.
***
Haisha terkejut di depan rumahnya ada mobil yang terparkir rapi, belum lagi beberapa tetangga duduk di teras rumah mereka dan memandanya curiga.
"Ica, sini!" panggil salah satu tetangganya, Haisha menurut, ia putar sepedanya ke tempat kumpul sebrang rumahnya.
"Ada apa?" tanya Haisha polos.
"Ih, kamu ini kayak orang nggak tahu apa-apa aja, siapa itu yang dateng ke rumah kamu? Mereka mau ngapain kok bawa seserahan, kamu hamil ya?" cerca wanita paruh baya itu.
Hamil?
Haisha menggelengkan kepalanya cepat, dia saja tidak pernah punya pasangan, itu sangat tidak mungkin.
"Terus mereka ngapain?" masih penasaran.
"Ica nggak tahu, baru aja pulang kerja, Ica sendiri kaget," jawab Haisha jujur.
Tapi, sia-sia jujur dalam kondisi seperti ini, rumah Haisha selalu sepi dan tidak ada yang berkunjung sejak dulu, tetangga hanya hafal kedua teman Haisha saja selama ini.
Haisha meminta izin untuk kembali ke rumahnya, ia sendiri tidak tahu siapa tamu yang datang malam-malam.
'Apa orang nagih hutang? Tapi, setahu Ica ... Ayah sama Ibu nggak punya hutang,' batin Haisha bertarung sendiri.
Ia putuskan melangkah masuk lebih dalam, berucap doa dan berusaha menepis rasa curiganya.
"Ibu!"
Alangkah terkejutnya Haisha ketika melihat Meri dan Hendra ada di dalam teras rumahnya, tutupan kerei bambu membuat Haisha tidak bisa melihat wajah mereka tadi, Haisha terlalu fokus pada mobil yang ada di depan rumahnya.
"Jadi, yang mau Ibu jodohin sama aku itu dia?" tanya Fahri, sontak membuat Haisha berhenti memutar kunci pintunya.
Jodoh? Siapa?
"Eheheh ... Kita masuk dulu ya, nanti kita bicarain masalah perjodohan ini," sahut Meri. Ia berjalan mendekat pada Haisha yang mematung di depan pintu, ia pun berbisik, "Ibu mau melamar kamu buat jadi istrinya Fahri."
Apa!
Dilamar mendadak seperti ini, yang benar saja?
Haisha lirik Fahri yang sama terkejutnya, merasakan pacaran saja tidak pernah, dan ini langsung dilamar, Haisha tidak bisa berkata-kata.
***
Mohon ditunggu revisi bertahapnya ya, terima kasih