"Men-menikah?" suara Haisha menggagap.
Meri dan Hendra mengangguk cepat.
"Menikah dengan Mas Fahri? Ica malam ini dilamar jad-jadi calon istrinya Mas Fahri?" ulang Haisha memperjelas kesimpulannya.
Meri dan Hendra mengangguk lagi, di rumah sederhana yang mereka berikan dulu pada ayah Haisha, mereka datang membawa tiga macam seserahan untuk melamar seorang gadis yang sejak dulu mereka sayangi.
Haisha sudah seperti anak sendiri, bahkan dulu banyak yang mereka bisa berikan pada kedua orang tua Haisha untuk hidup dan keperluan Haisha, tapi kedua orang tua Haisha tidak mau memanfaatkan keadaan, mereka hanya menerima dari apa yang mereka kerjakan, rumah ini saja sudah lebih dari cukup.
"Kamu mau kan jadi istrinya Fahri?" Meri terlihat sangat berharap Haisha menyetujuinya.
Haisha belum menjawab, ia lihat Hendra yang terus menatapnya berbinar dan Fahri yang berulang kali meraup wajah, sepertinya pria itu memang tidak tahu sama seperti dirinya kalau dijodohkan.
"Kamu jangan takut lihat Fahri, kamu kan sering ketemu dia kalau ikut kerja Ayah sama Ibu dulu, kalian pernah ngobrolkan?" pancing Meri sembari menyenggol putranya yang gelagapan.
Fahri angkat wajahnya, ia tersenyum tipis, Haisha akui memang Fahri layak menjadi idola para wanita, di mini market pun semua kenal siapa Fahri, tapi dia bukan gadis yang tepat, bisa apa Haisha menyeimbangkan diri dengan Fahri.
Sekali lagi, Haisha sangat awam dengan masalah seperti ini, dia tidak pernah memikirkan cinta atau memiliki hubungan lebih dengan seorang pria.
Dan ini Fahri, anak mantan majikan kedua orang tuanya, pewaris utama kerajaan bisnis Yudistira Group, datang dan tiba-tiba membawa lamaran, rasanya Haisha tidak bisa berfikir apa-apa, ia hanya anak dari seorang pembantu.
"Ma, biarin Ica mikir dulu," ucap Fahri sembari menunjuk wajah Haisha yang kebingungan, sebenarnya dia juga.
Katakan, bagaimana dia bisa memanfaatkan Haisha dalam kondisi dendam seperti ini? Sangat sulit, Haisha adalah gadis yang sejak dulu sudah dianggap anak oleh kedua orang tuanya dan melawan mereka rasanya tidak mungkin, Fahri sudah terlanjur setuju kemarin malam.
"Kamu bingung kenapa?" raut wajah Meri sedikit khawatir.
"Ic-ica ... Ica malu sama Ibu, sama Bapak, sama Mas Fahri." Haisha remat jemarinya.
"Malu kenapa?"
"Ica ini orang biasa, Ica juga nggak pernah punya pacar, Ica belum ngerti masalah begitu, sedang Ibu orang besar dan Mas Fahri ini banyak yang suka loh, Ica denger pacarnya Mas Fahri itu cantik banget, Bu ... Ica nggak bisa kalau jadi idola gitu," celoteh Haisha, dia mendadak takut menjadi hits seperti Fahri di media sosial, wajahnya selama ini tidak ada yang menilai cantik.
Meri dan Hendra tergelak mendengarnya, se-polos itukah Haisha sampai fikirannya merambah ke mana-mana, bahkan yang dia ucapkan sangat lucu, dia tidak malu mengakui kalau dirinya tidak pernah berpacaran di jaman yang serba modern ini, dia juga tidak malu menunjukkan ponsel jadul pemberian Kiano yang tidak mungkin bisa mengikuti berita Fahri di luar sana.
"Mama bilang apa, nggak salah milih Ica jadi istri kamu nanti, di jaman sekarang nyari yang model polos kayak Ica itu susah, punya istri penurut dan bisa diarahkan itu enak loh, Fah." Meri tatap hangat putranya.
Kalau Meri dan Hendra tersanjung, berbeda dengan Fahri, dia merasa aneh dengan kepolosan Haisha, menurutnya Haisha sangat ketinggalan jaman, gadis seperti itu tidak mungkin bisa mengikuti atau memenuhi keperluannya, pasti Haisha akan banyak bertanya dengan alasan tidak tahu apa-apa, itu menyebalkan.
Fahri ingin gadis seperti Klareta, memiliki tubuh yang bagus, paras yang cantik, otak yang cerdas, pengetahuan yang luas dan semuanya yang sempurna sehingga tanpa Fahri berucap, mereka bisa berjalan se-irama.
"Kamu nggak boleh batalin perjodohan ini, Mama udah ngomong sama Ica kan tadi, sampe dia jawab besok, kamu harus tetep setuju, ngerti!" ucap Meri tegas pada anaknya.
Selama perjalanan pulang ini, Fahri terus saja berusaha membuat acara itu batal, dia mengusulkan untuk mencari gadis yang lebih dan selain Haisha, dia butuh untuk membalas Klareta, dengan kepolosan Haisha rasanya tidak akan bisa.
***
Haisha termenung setelah semalaman tidak bisa tidur nyenyak, dia pegang dan dekap foto keluarga yang sempat diambil beberapa minggu sebelum kecelakaan itu terjadi.
Di sana ada kedua orang tuanya dan orang tua Fahri, mereka sudah seperti saudara sendiri dan Haisha akui sejak dulu Meri sangat sayang kepadanya.
"Tapi, Ica ini ngerti apa masalah nikah!" Haisha gosok wajahnya berulang kali. "Mas Fahri ini orangnya terkenal, di toko aja banyak yang nge-fans, gimana coba kalau mendadak foto Ica kecebar, Ica pakek seragam toko gitu, nanti kalau senior-senior ngejauhin Ica gimana, uang buat Ibu cuman dari sana...," kesahnya lirih.
Toko itu hidup dan matinya, dari sana Haisha mendapatkan uang untuk perawatan sang ibu juga kebutuhannya.
Tidak bisa ia bayangkan bila kecewa itu datang dan membuat dirinya dikeluarkan dari toko oleh para seniornya yang protes, bisa apa Haisha di luaran nanti, Fahri itu sangat terkenal dari yang ia dengar di media sosial, pasti akan sulit mencari pekerjaan nanti.
"Gimana, Ayah?" Haisha pandangi wajah sang ayah yang tersenyum lebar di foto itu.
Dilema, Haisha pun merasa tidak akan bisa menolak lamaran itu, dia ingat kata tetangga kalau anak gadis tidak baik menolak lamaran dari seorang pria, ada dan itu fakta di mana tetangganya menjagi perawan tua karena hal itu, Haisha sering mendengar para tetangga membahas masalah itu setiap mereka belanja pagi hari.
Dan ada hal yang lebih penting, wajah tulus dan sayang Meri saat menatapnya, wanita itu memberi semua yang Haisha butuhkan tanpa pamrih sejak dulu, bahkan dirinya bisa tidur nyenyak tanpa takut gangguan juga berkat rumah pemberiannya.
Haisha bisa sekolah sampai lulus seperti ini juga karena bantuan Meri, wanita itu menerima dan mempekerjakan ayahnya yang tidak sempurna dengan tulus, wanita itu juga menerima ibunya untuk bekerja dan membayarnya penuh meskipun dulu ibunya bekerja sembari merawat dirinya yang masih kecil.
Semua yang mengalir padanya hari ini juga dari wanita berhati baik itu, kalau saja Haisha mau, semua biaya perawatan ibunya bisa mereka tanggung karena Meri sudah pernah berucap.
Tapi, dia tidak mau menjadi orang yang serakah, dia selalu diajarkan tahu diri walau kondisi yang ada itu berat, selama bisa berjuang, maka harus berjuang dulu, tidak bergantung pada orang seenaknya.
"Gimana Kay, Ki?" Haisha tidak bisa memutuskannya seorang diri, ia jelaskan dilema yang ia rasakan.
Antara rasa terima kasih, balas budi, tidak pantas dan malu yang dirinya rasakan.
"Aku nggak ajarin kamu buat manfaatin keadaan ya, Ca'. Sebaiknya kamu terima, mereka malem-malem dateng dan itu artinya mereka serius, jangan kamu lihat Mas Fahrinya, tapi lihat peran Bu Meri ke kamu, apa kamu mau buat dia kecewa?" ujar Kiano.
"Eh, tapi ... Dia kasihan tahu kalau nikah sama orang yang nggak cinta sama dia, Ica itu nggak pernah pacaran, sedangkan Mas Fahri itu antriannya banyak, gimana kalau dia diselingkuhin, hah? Lagian, se-kota ini juga tahu kalau Mas Fahri itu punya pacar!" oceh Kayang menolak usulan Kiano.
"Nggak masalah, yang terpenting itu orang tuanya, percuma kalau kamu nikah sama cowok yang kamu suka, tapi nggak cocok sama orang tuanya, hidup kayak di neraka, Kakak aku contohnya!" Kiano membalas ucapan Kayang dengan pengalaman yang ia punya. "Masalah Ica nggak pernah pacaran, terus Mas Fahri terkenal dan banyak yang suka, terus punya pacar, nggak perlu dipikirin!" tambahnya.
"Kok bisa gitu sih, ini tuh perasaan cewek!" Kayang jitak kepala Kiano yang semakin menyebalkan itu.
"Kalau dia milih pacarnya, nggak mungkin dia mau duduk dan ikut ngelamar Ica, dia itu orang pinter, bisa aja kabur atau apa, buktinya dia ikut kan, padahal nggak tahu kalau Ica yang dilamar, itu artinya dia pasrah, dia membuka diri ... Kagak perlu takut masalah cinta, kamu bakal ngerti seiring rasa itu muncul di antara kalian, banyak kok yang nikah tanpa cinta, sampe sekarang damai-damai aja." Kiano tunjukkan buktinya, bukan main-main dan nyata.
Haisha hela nafas panjang, dia tidak terlalu paham dengan ocehan Kiano, yang dia ambil hanyalah soal kebaikan Meri selama ini.
"Kalau dia bisa nolong kamu dan keluarga kamu dulu tanpa minta imbalan apa-apa, kenapa kamu nggak bisa bales tanpa mereka minta, Ca?"
Ucapan Kiano itu yang terus terngiang di telinga Haisha, dia akan menjadi manusia egois bila menolak lamaran itu, dia tidak tahu diri dengan semua yang sudah keluarganya terima.
"Ica mau jadi calon istrinya Mas Fahri, Bu." Ica datang ke rumah Meri larut malam, bahkan Meri sudah tertidur pulas, beruntung panggilan ponsel jadul itu bisa segera Meri terima.