Waktu berlalu dengan sangat cepat Ibunya Naina meninggal, kami semua datang dan berbela sungkawa termasuk Zaki. Saat itu Naina benar-benar kacau keluarganya meninggal hanya ada dia dan dua Kakaknya yang serakah. Yang namanya Alfin dan istrinya mengalami kecelakaan saat penerbangan. Hah ... Sangat menyedihkan. Saat itu Naina sering murung dan hidup dengan caranya, dia membuat cerita dengan gambarnya, seperti komik.
"Ratih, kadang aku merasa hidupku sangat payah merasa tidak Adil dengan semua. Namun dulu Ayahku sering berkata, Ibumu lumpuh dan aku hanya mengejarnya meyakinkannya bahwa hidup terus berjalan dan jangan berlarut dengan kesedihan. Saat ini aku sedang menata hidupku, menjadikan musibah ini, subuah ladang kesabaran untuk bekal kesana. Jika aku sabar aku akan mendapat pahala, jadi ... Maukah kamu menjadi temanku," ajaknya seperti melamarku.
Aku dan dia hidup dirumah yang sudah sah menjadi miliknya, setiap hari aku dan dia bercanda, memasak kami sudah menjadi sahabat.
Setiap hari aku berada dirumah bercet warna silver untuk menemani Naina. Naina gadis yang baik walau sudah punya pacar dia tetap senang dirumah, bahkan saat pacarnya apel, dia tidak mau menemui karna takut ada fitnah.
Aku dan dia belajar bersama, aku mengamati gadis cantik itu, gadis yang terpaksa berhijab karna rambut petalnya, yang diotong Zaki. Ya ... Kejadian itu sangat seru, setiap hari mereka sering cekcok. Apalagi soal kejadian yang tidak sengaja yang dilalukan Zaki.
Siang itu sangat terik, Zaki melepas kaos olahraganya, dan hanya memakai kaos dalam. Dia masuk kesalah satu toilet, dan salah masuk, Zaki masuk ke toilet cewek, dia mencantolkan seragam lalu mengambil seragamnya saat sadar jika itu kamar mandi wanita. Entahlah bagaimana kronologinya intinya baju dan rok Naina kebawa sama Zaki, Naina keluar dengan seragam olah raga milik Zaki, seragam yang jika dipakainya sampai sedengkul. Fillingku sih, Naina mandi, kamar mandi jaman dulu kan ya hanya di sampirkan.
Naina jadi bahan ketawaan, bagaimana tidak? Masa berhijab tapi bajunya sedengkul. Dia segera mencari seseorang yang mencuri bajunya, Zaki dengan jahilnya memasang ditiang bendera dan membuat pengumuman.
"Aku letakkan disini di tiang bendera, agar tidak sulit mencarinya ambilnya juga mudah, dan tolong siapa saja tolong kembalikan seragamku," itulah yang ditulisnya di papan. Dengan sangat kesal Naina menurunkan pengait, bendera, dan saat jongkok semua meledeknya.
"Awas kelihatan," begitulah sorak serempak dari mereka, tangis Naina pecah dan Zaki datang dengan telapak meja, dia mengikatkan dipinggang Naina, Naina mendorongnya dengan kasar.
"Sebenarnya apa maumu? Ha ... Puas membuat aku malu," Naina menangis berusaha keras melepaskan pengait, namun tidak bisa, Zaki melepaskan tali bendera.
"Aku minta maaf," suara Zaki penuh sesal karna sudah membuat Naina malu.
"Lain kali pikir dong! Jangan Gegabah kelakuanmu ini semakin membuat aku jengkel dan enek, ya memang kamu sudah berjasa karna sudah mengungkap kejadian soal Ayahku, tapi tolong jangan ada dihadapanku lagi. Aku sudah sangat berterima kasih, kamu itu selalu menambah beban masalahku," perkataan Naina sangat keras dengan suara pecah karena tangisannya.
"Aku tidak sengaja Naina, maaf, maaf."
"Hallah ... Pasti kamu akan membuatku malu kan? Iya kan? Jahat kamu ya, aku tidak mengerti sama kamu kafang baik, kadang kejam, hiks tapi ini keterlaluan! Puas Ha ... Mereka sudah menertawakanku, aku sudah tidak punya harga diri dan direndahkan, hek hek hek hiks."
"Ih, kamu ini ... Heh ... Oke, kamu muak sama aku, baik! Kalau tidak mau melihatku ya sabar! Tunggu sebelas bulan aku akan aut dari sekolah ini," ucapan kasar dari Zaki, yang kemudian melemparkan pakaian Naina.
Naina merasa sangat kesal, aku datang menghiburnya. Dia menangis diatas bangku, menyandarkan kepalanya diatas kayu keras.
"Nai ... Mungkin Zaki memang tidak sengaja, aku yakin kok, aku sangat yakin ... Dia tidak akan berniat seperti itu, dia sangat prihatin dengan apa yang kamu alami," aku berusaha membela Zaki karna memang aku ada rasa.
"Stop, aku males," sahutnya dengan suara lemas. Aku pun hanya dia setelah hari itu.
Hari berlalu dengan sangat singkat Zaki tidak berangkat ke Sekolah padahal dia Osis, dan tauladan para siswa dan siswi. Zaki sangat berpengaruh untuk para siswi yang males, bukan karna kecerdasan tapi karna takut,takut jika Zaki si Kakak kelas akan mengamuk, jadi ya terpaksa mereka mau belajar. Zaki itu sangat memotifasi anak malas.
"Malas itu sama saja melakukan kegilaan, kalian mau dibilang gila? Kalau tidak mau ya semangat, karna malas itu akan menumpuk pekerjaan yang tertunda, semakin malas dan meremehkan semakin banyak pula pekerjaan," dia sering mengataka itu.
Zaki semakin liar dan sesukanya setelah lima belas hari tidak sekolah, dia datang dengan rambut gondrong dan sedikit brewok, aduh ... Berantakan banget pokoknya.
Para pengagumnya merasa itu jorok, jadi banyak yang tidak suka sama dia, awalnya masuk rangking kedua jadi turun deh, dia hanya fokus sekolah sama sekali tidak memperdulikan cewek, siang itu motor yang kami tumpangi mogok, regulatornya minta dibersihkan.
Pacarnya Naina tidak pernah ada saat Naina butuh, Saat itu Zaki menghentikan motornya menawarkan diri.
"Mau tidak aku bantu, kalau muak sama aku ya jangan lihat, lihat tuh, ke pohon beringin siapa tahu ada mak kunti," Zaki bercanda, Naina membuang wajah.
"Tolong dong Kak Zaki," pintaku, saat itu kan Kakak kelas dan sekarang Adik ipar, jadi beda manggilnya.
"Mau tidak temanmu itu?" tanya Zaki, aku terus menyenggol lengan Naina.
"Em." suara Naina.
"Em, apaan tuh," Zaki menjagang motornya lalu mengucir rambutnya. Lalu berjalan tiga langkah. "Heh minggir!" teriaknya ditelinga Naina.
"Ih, kalau tidak iklas tidak perlu," ujar Naina kesal, Zaki tertawa lalu membenarkan regulator, sampai azan asar.
"Sana gih solat dulu kalian, atau aku yang solat dulu," jelasnya sambil meniup busi.
"Kenapa tidak mau solat bareng?"
"Mau jadi makmumku?" pertanyaan Zaki membungkam aku dan Naina.
"Aku mau banget," ujarku.
"Ha ha ha, mau tidak diterima? Wong aku saja syarat sahnya whudlu tidak tau,ha ha ha,"
"Kejelekan kok dibanggakan," ujar Naina mengrutu, Zaki meletakan busi di kotak motor vario, dia solat kami berjalan.
"Heh gantian siapa yang jaga motornya,mau tanggung jawab jika motor antikku ada yang maling," tegurnya. Kami seperti orang oon.
Kami berdua duduk dibawah pohon beringin yang rindang, ada yang melempar batu tapi tidak ada orang.
"Tih, apaan ini?" tanya Naina dengan suara merinding, tiba-tiba angin sangat kencang berhembus.
"Hi hi hi," suara mlengking, suara Mak kunti, kami berpelukan takut.
"Sana solat gih, setan itu takut sama orang yang ahli ibadah," ledek tertawa puas.
Dengan kesal karna dikerjai Naina melempar gantungan kuncinya, dan mengenai dahinya, saat Zaki kesakitan dan menghentikan langkahnya, sangat cepat Naina meniup dahi Zaki, Zaki menatapnya, aku sangat cemburu, aku menarik Naina dan kami solat.
Setelah selesai solat, Zaki juga selesai membenahi motor milik Naina, Zaki mengemas barang bengkel miliknya, melihat dahi Zaki yang merah, Naina merasa bersalah.
"Maafkan aku," ujar Naina
"Katanya tidak mau melihat aku," ucap Zaki menyetater motor.
Dor
Ban motor vespa milik Zaki meletus, "Ya Allah ... Sial," keluhnya.
"Nih ambil," Naina mengulurkan uang lima puluh ribu.
"Aku tidak suka di kasiani," ujar Zaki ketus lalu menuntun motornya.
"Ih, ini kan ungkapan rasa terima kasih, hih ... Dasar sombong," gumam Naina.
"Naina kamu juga salah, ambil," aku menirukan gerakannya tadi.
"Oh ya, aku sangat kasar ya, aduh ...." Naina merasa bersalah, aku dan dia mengejarnya.