Semburat jingga mulai terlihat pemuda itu melepas seragamnya karna gerah, dia memakai koas, sambil terus menuntun motornya.
"Kak Zaki ...." panggil Naina merayu, "Kak Zaki bukan Jeky Chan," panggilan Naina membuat Zaki menghentikan montor dan menatapnya tajam.
"Takut," keluh Naina.
"Kamu kenapa? Apa yang merasukimu hingga kamu baik padaku? Ah, pasti modus," ujar Zaki, "Cepat naiki motormu,percuma aku perbaiki malah kamu tuntun," tegur Zaki acuh.
"A_" Naina sudah membuka mulut.
"Tih, makan yuk, aku tlaktir kalau dia mah banyak uang jadi tidak perlu, mau ya ... Bakso sana tuh Enak," ajaknya.
"Dengan senang hati," jawabku, jelas saja aku kegirangan.
"Tih, aku ikut makan ya? Boleh kan ...? Nanti kalau aku pingsan karna kelaparan bagaimana, aku akan membelakangi kalian kok," pinta Naina.
"Boleh kok," ucapku.
"Jauh-jauh jangan dekat," tegur Zaki, Naina menjagang motornya.
Zaki menjagang motornya, kami duduk dibangku yang sama, dan Naina menepati janjinya, dia duduk dua kursi dari kami. Saat itu kami makan bakso.
Naina makan membelakangi kami dan menghabiskan dua mangkuk, aku dan Zaki bercanda, aku mendengar suara aneh dari Naina. Aku sangat tau karna kita terbiasa bahkan Naina membantu biaya SPP ku. Dia sangat merana aku tau itu, sudah selama tiga bulan, disetiap makan pasti dia menangis.
Zaki menyenggol lenganku.
"Kenapa?" tanya Zaki penasaran.
"Ya maklumlah Kak ... Kan dia gadis kaya tapi merana, Kakak-kakaknya saja acuh dan tidak peduli, dia hidup sama aku, aku ini bisa dibilang aku numpang dan parasitnya," jelasku, aku melihat rasa belas kasih dari pancaran mata Zaki.
"Aku tidak menganggapmu begitu Tih," dia menyahut.
"Aku tau ... Maaf, hanya saja aku merasa tidak nyaman, teman-teman mengatakan itu. Sakit tau ...." dengan tega aku mengatakan itu.
"Aku tulus, seharusnya kalau kamu sahabat kamu jangan dengarkan karna itu urusan kita," jelasnya dengan menangis.
"Tapi kamu tidak merasakan bagaimana jadinya aku Nai, kamu bisa acuh karna kamu bukan aku, aku lelah tau digosipin parasit, pemanfaat, padahal aku tulus sahabatan sama kamu,"
"Ya sudah, aku minta maaf kalau begitu, baiklah jangan lagi berteman sama aku, anggap saja aku hanya orang yang butuh membutuhkanmu, maaf telah membuatmu merasa seperti itu, jika kamu tidak ingin melihatku, aku juga mau pindah sekolah kok," ujarnya langsung membayar makanan dan pergi dengan ngebut.
Zaki hanya mendengarkan perdebatan kami. Aku tertunduk lemas dan malu.
"Makanya aku juga tidak ingin dibilang seperti itu, apalagi sampai dikasihani, ingat Tih. Walau kekurangan kita tidak butuh belas kasih dari orang lain, usaha pasti bisa," itulah pendapat Zaki.
Kami pulang, baru itu aku pulang ke rumahku, rasanya sangat gengsi mau menemui Naina, sangat memalukan batinku saat itu, kok tega aku melalukan itu ke Naina, pemberiannya aku balas dengan kelakuanku, aku sangat menyesal, namun aku saat itu hanya remaja yang masih labil.
Aku sudah berniat akan meminta maaf, namun benar dia tidak hadir di sekolahan. Aku segera kerumahnya, sepi, aku mengintip di jendela rumahnya, tidak ada orang sama sekali, namun saat aku berbalik aku melihat Naina tergletak di lantai, aku mendengar suara motornya Zaki, aku meminta tolong karna pintunya di kunci, Zaki mendobrak.
Dan berhasil pintu terbuka kami masuk, gadis itu akan bunuh diri, dia melukai pergelangan tangannya, Zaki memeriksanya Alhamdulillah lukanya tidak dalam.
"Niat is death kok nanggung," gumam Zaki, Zaki membaringkannya di ranjang.
"Apa perlu panggil Dokter?" tanyaku.
"Tidak perlu copot saja kaos kakimu," ucapan Zaki membuat aku jengkel, aku menarik tangannya dan membawanya ke luar kamar. Saat itu aku menyesal sudah jatuh cinta pada orang yang berwatak keras. Zaki membanting tanganku.
"Dengar Ki, aku tau ini salahku juga, karna ikut-ikutan memusuhi gadis merana itu, tapi tolong bersikaplah baik, kehidupannya begitu tragis,"
"Aku mau pulang, aku tidak peduli, panggil saja pacarnya kemari," ujarnya meraih tas berjalan cepat.
"Dia sendiri, itulah kenyataannya, kita memang kurang uang, tapi kita punya, kita punya orang-orang terdekat, yang menyayangi dan melindungi kita, sedang dia ... Dia tidak seperti itu Ki, dia sendiri dan Allah, dia baik, bahkan sering beramal dan berbagi kepada Anak yatim, Ki ... Terima kasih sudah membantuku, dan asal kamu tau dia pacaran juga tidak macam-macam. Aku mohon jangan membenci karna status kaya nya, karna orang terlahir tidak bisa memilih dari mana asal mereka dilahirkan, andai aku bisa memilih, aku akan memilih dilahirkan sebagai orang kaya. Namun jika pada akhirnya aku terlahir kaya tapi merana, aku juga tidak mau. Aku tidak memintamu agar mau berteman dengan dengan Naina, aku cuma minta jangan terlalu benci dengan orang kaya, orang kaya tidak semuanya sombong kok,"
"Namun kenyataan Ibukku dibuang mertuanya dengan tiga Anak yang masih kecil. Di terlantarkan dan Ayahku menikah lagi, Ibu membesarkan kami sampai Kak Fajar mati-matian cari uang, aku juga ke bengkel, jadi ojek, jadi apapun tapi orang kaya selalu merendahkan. Mengatai yang tidak-tidak, ku ya begini Tih, semoga saja aku tidak berjodoh dengan gadis kaya, menikah dengan gadis kaya di bilang parasit, di rendahkan, cemooh di hina, jika aku menikah dengan gadis kaya suatu saat nanti aku yang akan membawanya kerumah kecilku dan harus bisa menerima keadaanku, dengan hidup sederhana, baru aku akan percaya jika cinta itu nyata, bukan belas kasih atau balas jasa. Aku begini karna trauma Tih, aku sangat ingat bagaimana Ibuku dipermalukan didepan umum, di bawah hingar-bingar lampu berlian, saat itu usiaku sembilan tahun, sangat mengerikan, heh ... Bahkan sebagai seorang suami Ayahku tidak membela istrinya yang sudah susah payah melahirkan buah cintanya. Tragedi malam itu, setelah keluar dari rumah megah, aku berjanji tidak akan menerima apapun tanpa kerja kerasku, tanpa hasil keringatku, aku tidak mau dikasih imbalan karna berbuat baik," jelasnya pergi begitu saja.
Saat itu aku tau alasan dari Zaki, tapi aku juga semakin yakin bahwa Zaki memang sangat mencintai Naina. Hati kecilku mengatakan mereka akan segera berjodoh. Aku masuk ke kamar Naina, aku duduk disampingnya dan memberinya minum.
"Aku tidak papa Tih, jika kamu pergi dan berteman ke yang lain, sungguh, aku tidak mau ... Kamu bersahabat denganku, tapi membenciku, jadi ... Tidak papa kamu berhak memilih temanmu, memilih teman terbaikmu, teman yang akan memujimu tidak mengolokmu," ucapan Naina sangat halus dan lemas, aku memeluknya dengan rasa penuh penyesalan.
"Aku tidak akan mencari teman baru, karna hanya kamu yang tulus, Nai ... Maafkan qku yang khilaf karna ejekan, padahal yang ngejek belum tentu baik di penglihatanNya," ucapku dengan tangis pilu dan memeluknya.