Dua tahun berlalu Naina datang lagi dan bertemu dengan Zaki.
"Jangan sentuh Anakku, kalau kau menyentuh dan aku tau kamu menemuinya secara diam-diam kamu tidak akan pernah melihatnya lagi, seumur hidupmu," ancaman itulah yang membuat Naina takut dan memilih bersenyi untuk melihat buah hatinya, ya begitu storynya and.
"Ya Allah kejam banget sih Bang Zaki, awas saja, aku akan bertindak. Egois banget sih, coba kalau dia disuruh milih antara keluarga satu-satunya dan istrinya, pasti dia sendiri tidak bisa memilih, karna sakit hati sampai begitunya, aku yakin walau masih benci Bang Zaki masih ada rasa," ujar Laras.
"Aduh ... Ras ... kamu itu mikirin masalah kamu sendiri, kamu sudah berumur jika semakin keriput mana ada pria yang suka, sudah deh jangan ribet," tegur Ratih agar adik iparnya segera memikirkan pernikahan.
"Kalau saat ini belum ada jodohnya bagaimana, aku mau fokus dulu sama Hikam, aku ingin membuat Hikam bahagia, kasihan tau Mbak Tih ... masih kecil punya asma, hiks hiks eh est est, lagian sih Bang Zaki anak masih kecil di ajak kerja, pergi kesana-kemari terus makanya sekarang kena asma, sedendam apa sih Bang Zaki, aku memang tidak pernah di hina makanyaaku tidak merasakan jadi dia, tapi seharusnya maklum dong. Mbak Nainakan kehidupsnnya tragis dari awal. Aku saja di hina perawan tua tidak marah, memang kenyataanya begitu, he hehe, orang aku yakin nanti suatu saat kalau sudah tiba ya pasti aku akan nikah," ujar Laras menangis haru lalu melihat Kakak iparnya yang habis dongeng tidur.
"Astagfirullah ...." keluh Laras.
"Te ... bagaimana caranya ini ...." ujar Hikam berlari ke Laras tanpa salam.
"Hikam ... sini Tante buatkan," pinta Laras membongkar kertas bongkar pasang.
"Hikam maukan ... Bunda kembali sama Hikam lagi?" tanya Laraa, Hikam menatap sejenak lalu memeluk tantenya.
"Hikam bahagia?" tanya Laras dengan suara terpecah.
"Seneng ... tapi kenapa Tante menangis?" tanya Hikam tangan kecilnya menghapus air mata Laras.
"Tidak papa ... tapi mau janji?" pinta Laras menunjukkan jari kelingking Hikam setuju.
"Jangan bilang-bilang Ayah kalau kita punya rencana, oke ... sun dulu," pinta Laras memajukan pipinya.
Muahc
"Aku janji, aku akan diam sampai Ayah mengembalikan Ibuku, tapi ... Ibuku orang baik kan Tante? Apa Ibu mau pulang dan hidup seperti ini, kata Ayah Ibu itu tidak bisa hidup susah, aku juga kasihan sama Ibu kalau hidup kesepian seperti aku," ucap bocah itu dengan polosnya sambil memasangkan pakaian ke mainannya.
'Gila Bang Zaki, anaknya malah di komporin agar benci sama Ibunya. Tapi mrnding sih ketimbang bilangnya Ibumu orang jahat.' batin Laras lalu mengecup kening Hikam.
Rumah-rumah berjajaran dan sangat sederhana itulah pemukiman di daerah rumah Hikam.
Hikam dan Laras sedang asik ngobrol.
"Hikam ... Ayah pulang," suara dari seseorang yang sangat disayanginya, langkah kecil itu berlari ke Ayahnya yang sedang berbicara dengan Neneknya.
Brug
Hikam merangkul kaki Ayahnya, Zaki duduk dan menyeka rambut putranya, Zaki mengecupi pipi putra kecilnya, terlihat jelas dia tidak bisa hidup tanpa putranya, mengangkat tubuh kecil itu lalu melempar dan menangkapnya lagi.
"Ayah kangen ... maaf ya tadi Ayah pulang terlambat, tapi ... lihat ini Ayah bawa apa coba?" Zaki bertanya lalu menunjukkan buah anggur yang sudah diinginkan Hikam sejak lama.
"Wah ... enak ..." Hikam menerima lalu memeluk Ayahnya.
"Maafkan Ayah ya ... sudah seminggu kamu minta tapi Ayah baru membelikan sekarang, maaf ya," ujar Zaki yang masih melayangkan tubuh kecil itu sambil menggesekkan hidungnya dengan hidung putranya.
"Terima kasih Ayah," ucap Hikam memeluk Ayahnya, mereka pulang.
"Sun Ayah," pinta Zaki, putranya tidak henti mengecup pipi Zaki.
Walau hidup pas-pasan dan sering kekurangan namun keduanya sangat bahagia. Hikam menyentuh pipi Zaki menatap penuh harap, Zaki tersenyum dan melirik ke putranya.
'Ayah ... aku sudah cukup bahagia, namun aku juga butuh seorang Ibu ... Ayah ... Apa kata Bik Laras itu benar? Kalau sesungguhnya Ibu beneran sayang sama aku? Atau malah benar kata Ayah, Ibu sudah hidup bahagia tanpa aku,' batin Hikam lalu menyandarkan kepalanya.
"Hikam ... kenapa menangis?" tanya Zaki merasakan basah di punggungnya. Mereka sampai didepan pintu, Zaki menurunkan putranya.
"Ayah ... Apa tidak boleh sekali ... saja, aku bertemu dengan Ibu?" tanya Hikam dengan suara memelas meratap kerinduan yang mendalam.
Zaki memaklumi dia duduk berlutut memberi pengertian ke putra kecilnya.
"Sayang ... Anak ayah yang pintar, kan ada tante Amel, tante Amel baikkan?" pertanyaan Zaki terpaksa dianggukkan oleh Hikam.
"Kalau baik terima tante Amel ya, sayang ... Hikam sayangkan sama Ayah?" Zaki menatap putranya dengan mata berkaca-kaca, Hikam mengangguk.
"Kalau begitu lupakan Ibu ya. Sayang Ibumu sudah pergi tiga tahun lalu, sayang ... Ayah yang sangat sayang sama kamu. Jadi ... lupakan Ibumu ya biar kamu bisa hidup tenang walaupun hanya hidup seperti ini," pinta Zaki mengecup kening Hikam.
Mereka masuk rumah, Ayahnya segera kekamar mandi untuk membersihkan diri. Hikam melamun di tengah pintu, dan terbayang wajah ibunya dari vidio yang ditunjukkan Laras.
Anak itu meratap melas dengan kempas-kempis di dadanya, matanya meneteskan air kesedihan yang mendalam.
'Ayah ... aku sayang Ayah. Namun aku butuh Ibu, hiks aku tidak bisa melupakan Ibu. Kata Bu Guru, Ibu yang memberi asi, yang melahirkanku, jadi aku tidak boleh nakal, Ayah ... Ibu kelihatannya baik dan juga merindukanku. Ayah ... bukan Ibu sambung yang aku mau, hiks hiks estheh ... aku tidak papa ayah menikah lagi, asal ... aku juga boleh bersama Ibuku. Ibu ... Hikam kangen ... entah Ibu bagaimana ke Ikam, ikam tidak peduli ... Ikam hiks, hiks esth esth ingin bertemu, ingin dipeluk, ingin disuapi,' Hikam semakin sedih ketika tetangganya, sedang berlarian mengejar Anaknya yang susah makan.
"Fian dipaksa-paksa Fiannya tidak mau. Kalau aku segera lari dan A ..." dia membuka mulutnya, namun semua itu hayalannya. Dia teringat anggur yang dibawakan Zaki namun dia sama sekali tidak tertarik.
Dia meringkuk malang memeluk kakinya, entah apa yang ada di pikirannya. "Aku tidak boleh sedih, kasihan Ayah yang sudah sibuk kerja, capek, mungkin dengan makan aku akan sedikit lupa dengan Ibu," gumamnya lalu membuka bungkusan buah dan segera makan.
"Hikam ..." panggil seseorang wanita yang sangat seksi, baru saja bocah itu memetik buah dan hendak memasukkan ke mulutnya.
"Iya Bibi," jawabnya berdiri mengejutkan.
'Kalau tau Ayah pulang kemari, lansung kemari, kalau tidak ada Ayah tidak pernah menengokku,' batin Hikam, dia tidak mau dengan Amel, dia berlari keluar.
"Hikam mau kemana?" tanya Amel, Hikam bermain dengan anak-anak tetangga. Setelah beberapa saat ada yang menangis, ya begitulah anak-anak. Anak yang menangis segera digendong oleh Ibunya.
Wajah Hikam kembali murung.
"Hikam kok sedih mulu sih?" tanya gadis yang lebih besar tiga tahun dari Hikam.
"Eh ... ada tante Amel ya? Kamu suka tidak? Biasanya Ibu tirikan jahat, apa dia jahat? Tapi ... Ibumu yang pergi pasti lebih jahat," ujar gadis yang tidak tau tapi berkomentar sesuka hati. Hikam berdiri mendorongnya tidak terima lalu, gadis itu terjatuh dan tangannya terluka, dia menangis Ibunya segera berlari.
"Kamu kenapa?" tanya ibunya membangunkan gadis itu. Gadis itu madih menangis dan menunjuk Hikam, Ibu itu hendak menjewer Hikam, Hikam sudah menutup mata ketakutan.
"Maaf Mbak, tapi ... namanya Anak-anak main ya begitu," ujar Ratih segera menarik Hikam. "Ayo ikut Bude," ajak Ratih, berjalan cepat takut Zaki tau.
Dengan perasaan berkecamuk Ratih membawa Hikam kesalah satu kebun pisang. Disana sudah berdiri seorang wanita cantik berhijab, dengan wajah cemas, dia berdiri di depan mobil yang sangat mewah.
Hikam pasrah mengikuti langkah cepat dari Budenya. Laras berjaga agar tidak ketahuan Zaki. Dengan rasa tidak sabar wanita itu berlari melepas kacamata hitamnya. Hikam terkejut saat melihat wanita itu tanpa kaca mata. Mata yang dikenang tatapannya, Hikam berlari memeluknya. Wanita itu menangis haru sambil mengecupi semua bagian wajah Hikam, leher dan tangan kecilnya.
Dia juga menangis melas, menatap pahlawan kecilnya, kebahagiaan hatinya. Lalu mengecup wajah mungil Hikam.
"Ibu kangen ... sangat kangen. Kamu baik-baik ya sama Ayah, jangan nakal, hiks hiiks, essh ... maaf Ibu baru datang, Hikam, Ibu cinta Hikam, sangat cinta, hiks hiks, hiks," ucap Naina menyandarkan dahinya dengan dahi milik anaknya, tangan kecil lembut itu mengusap air mata ibunya, Naina mengangkat wajah lalu membersihkan air mata Hikam.
"Mbak cepat ...." teriak Laras dari kejauahan, karna takut ketahuan Naina mengecup dahi Hikam dan segera bergegas ke mobilnya.
Rasa tidak rela tentu ada, Naina menoleh ke Hikam. Ratih juga merasa kacau.
"Ibu ... aku sayang ... Ibu, berkunjung ke sekolahan ya," akhirnya Hikam bersuara meminta, walau suara itu sangat menusuk dan seolah waktu terhenti untuk sesaat, Naina tersenyum dan mengangguk, dan Laras sudah mengode dengan tangannya, Ratih segera membawa Hikam yang matanya masih menoleh ke Naina, mobil itu segera pergi.
Laras segera menyusul, "Ingat ini rahasia kita," ujarnya, "He ... tante baper," ucap alay dari perawan tua.
"Lebai deh ah," ujar Ratih berbelok arah.
"Hikam ... Hikam ..." suara Ayahnya.
"Mas ..." panggil Laras.
"Dari mana sih?" tanya Zaki berjalan cepat menghampiri.
"Aku membelikan ini," ujar Laras
"Dapat uang darimana kamu?" tanya Zaki curiga.
"Biasa mlorotin pacar," jawab cepat dan bercanda.
"Pantas ... habis itu putus, jangan matre dong," tegur Zaki.
"Ya Allah sungguh teganya ... dari Bos ku, Hongkong, Malaysia, aku tidak jadi TKI lagi hua ...." ekting Laras kurang meyakinkan.
"Banyak banget, awas kamu kalau bohong," ancam Zaki.
"Aku habis vidio calllan sama bosnya Yah," timpah Hikam, dalam hati laras, Yes.