Berjalan bertiga.
"Bang yakin? Mau nikah sama dia, ihyuh ... terlalu seksi, tidak patut jika Hikam melihalit kalian ... e ...." Laras mengode dengan kedua jari tangan yang dikuncupkan lalu disatukan, tanda kutip pacaran.
"Tidak usah mikirin aku, pikirin kamu itu lo, nikah sana. Jangan pilih-pilih, mau memilih yang bagaimana lagi? Kalau cari yang sempurna tidak akan nemu, mending cus nikah sama ustadz muda guru TPQ itu,"
"Hah ... dinasehati malah aku kembali dinasehati, aku sih gampang, kalau jodoh tidak akan kemana walau harus bertahun-tahun lagi. Bang, Ikam masih kecil dia itu perlu bimbingan yang tepat, ini tadi kambuh asmanya, kasihan tau jalan jauh begitu, aku juga akan pergi jadi TKI lagi," jelasnya.
"Ah ... kamu, sudah nikah saja, nanti aku yang biayain Ibu," ujar Zaki.
"Lah ... kamu saja kukarangan kok, bayar listrik saja sering hutang, Bang, cari pekerjaan lain yang lebih mudah, agar Abang bisa antar jemput, lagian kasihan tau kaki kecilnya berjalan jauh ... banget,"
"Lo? Apa Amel tidak menjemput? Aku sudah meminta tolong bahkan aku sudah transfer uang bensin dua ratus ribu, dalam seminggu," jelasnya terlihat banget nih Zaki mulai bingung dan kesal. Hikam dan Laras saling mengode dengan menaikan alis.
"Heh, siapa? Amel? Tanya saja tuh sama Hikam, Amel jemput tidak? Mending aku yang dikasih," ujar Laras, sengaja memancing kemarahah Zaki.
"Nak, apa bener kata Bibimu?" tanya Zaki, Hikam mengangguk pelan.
"Tadi aku jalan lalu ... ada Bi Asih, jadi di bobceng Bi Asih,"
"Tuh ... Kan?" ledek Laras, "Kalau emosi ke Mbak Naina yang tidak salah, sedang ke Amel dibelain terus, padahal dia hanya cari muka," gumam Laras lalu pergi.
"Yah? Siapa Naina?" tanya Hikam sengaja, karena dari dulu Ayahnya sama sekali tidak menyebutkan nama Naina, hingga Hikam tidak mengenal. Hikam sudah tau dari Laras dan kini ingin tau reaksi ayahnya.
"Bukan siapa-siapa tidak penting," jawab Zaki datar.
"Kenapa Bibi membandingkan?"
"Sudah!" suara Zaki keras, Hikam takut melihat Ayahnya yang emosi.
Dalam gendongan Ayahnya Hikam masuk ke rumah sederhana, di dalam sana ada wanita yang sedang menyiapkan makanan. Zaki menutunkan Hikam.
"Hikam ke kamar dulu ya," pinta Zaki, Hikam pergi dengan berlari kecil.
Hikam mengintip.
"Mel, kamu bohong? Uang yang aku transfer tidak kamu gunakan untuk jemput Hikam? Lalu untuk apa? Aku tidak mau ya kamu baik sama aku tapi kasar sama Hikam, jika kamu menerima ku seharusnya kamu lebih dulu menerima Hikam, karna Hikam adalah hidupku," jelas Zaki, Amel mengangkat wajah menatap mata yang sedang emosi.
"Aku sudah menjemput Hikam, tapi selalu telat, maklum Mas, Ibuku juga kan sturk, lagian setiap hari aku kemari membawa makanan, aku juga sayang sama Hikam, Mas ..." Amel mulai merayu, Hikam pergi masuk kamar, kakinya geregetan dengan ulah Amel.
"Ayah dibohongi, heh ... Ibu ... bagaimana caranya membuat Ayah mengerti. Walau bertemu sebentar aku sangat senang," gumam Hikam berdiri memelas di samping jendela.
Sedang kejadian di meja makan, Amel hendek memeluk dan bersikap manja namun Zaki menepis.
"Aku masih sulit untuk percaya, tolong mengerti Mel, lagian aku tidak punya apa-apa untuk menikahimu, jadi ... cari.orang lain saja ya," jelas Zaki.
"Aku menerimamu apa adanya, Mas sudah jangan memikirkan itu dulu ya," Amel mendekat dan hendak menyosor dia memang agresif seperti angsa yang marah jika anaknya diganggu. Dia mendekat memeluk Zaki yang terenung, tangan Amel mendekat menyentuh halus dada kekar yang tertutup kaos.
"Astagfirullah ... Ih, memalukan tau, ada anak di dalam rumah ini. Bang kendalikan diri bukan muhrim tau," tegur Laras lalu duduk menyaksikan mereka, Zaki melepas tangan Amel.
"Kamu pulang dulu ya, aku ada hal penting yang harus aku bicarakan dengan Laras," titah Zaki mengusir secara halus. Jelas saja wanita itu sangat kesal karna dia memang menginginkan Zaki menjadi miliknya, walaupun bukan suami istri Amel sering menggoda agar dapat melakukan hubungan terlarang itu.
"Ya sudah Mas," ujar Amel pasrah tapi dengan cepat mengecup pipi Zaki di depan Laras. Amel pergi, Zaki masih terkejut dia lalu duduk.
"Dasar angsa betina nyosor tanpa pamit dosa juga tau, Bang tolak dong, bagaimana Abang ini. Kok sekarang tidak takut dosa, eh ... eh, aku kesini mau bilang, aku tidak jadi ke luar negri aku mau kerja du swalayan. Kalau di swalayan aku bisa antar jemput Hikam,aku tidak percaya sama angsa penyosor itu, lagian Abang itu sudah kena peletnya, masa laki-laki mau diapa-apain, hih ... giris deh. Pokok aku yang akan mengurus Hikam, Abang kerja saja, lunasi semua hutang-hutang, saat Hikam masuk Rumah Sakit karna asmakan banyak hutang. Aku sebagai adik bisanya membantu tenaga," jelas Laras, Zaki mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskan.
"Memang boleh datang dan pergi sesuka hatimu?" tanya Zaki, "Mana ada pekerjaan bebas begitu, oh ya ... awas kamu kalau sampai mempertemukan Hikam sama Naina aku tidak akan,"
"Bang ... bang, heh ... Anak itu bukan sasaran karna salah faham, jangan jadikan korban! Ingat! Saat membuat kalian saling cinta, memadukan semua di atas kasur yang berguling, begini-begitu menggeliat. Ingat saat kamu menjebol gawang suci milik mbak Naina sakut tau, ingat juga saat Mbak Naina melahirkan putranya, taruhannya nyawa tau. Sekarang bisa saja kamu marah dan bla-bla jangan menyesal nantinya," penjelasan Laras tidak didengarkan, Zaki malah berirama saat Laras menjelaskan.
"MasyaAllah ... mati sudah hati nuranimu," tegur Laras menyerah.
"Hallah, kamu tau apa, diamlah masih bau kencur juga,"
"Katamu aku perawan tua sekarang bau kencur, aku lebih dewasa walaupun cerewet," timpal Laras.
"Heh ... aku sangat kecewa, dengan sikap Naina beberapa tahun lalu dan rasa benci ini sudah mendarah daging. Jangan sampai Hikam bertemu dengannya, kalau bertemu aku tidak akan bisa lagi bersama dengan Hikam. Ras, kamu tau Hikam adalah alasan aku hidup, dia kekuatanku."
"Sebentar Bang, kalau Hikam kekuatan Abang, seharusnya Abang tidak membuat dia sedih, Abang tau sendiri dia sangat rindu sama Ibunya, apa Abang tidak memperdulikan itu. Bagaimana kalau Hikam sakit apa Abang akan tetap egois?" tanya Laras.
"Yang penting sekarang aku punya cara agar Hikam tidak ingat dengan Ibunya. Heh, Ras. Kalau Naina sayang seharusnya bertahun-tahun yang lalu dia membelaku, namun, ah aku muak," ujar Zaki dengan nada tinggi lalu keluar dari Rumah.
Laras memandang Abangnya dari kejauhan.
"Rasa cinta jelas sudah menguat tapi gengsi, tapi malu untuk bilang sama-sama merindu, ah ... Ya Allah semoga ada keajaiban," gumam Laras.