Gelap.
"Jangan, ku mohon."
Grace hanya bisa mendengar sayup-sayup suara. Lirih, tapi begitu menggema. Bersamaan dengan suara tetesan air-yang anehnya terasa begitu menggangu.
"Maaf, tapi tempatmu bukan disini."
Suara itu, Grace mengenalnya.
"Aku nggak mau balik lagi kesana, aku takut."
'Mama?'
"Ini demi kebaikan-"
"Ngga ada kebaikan! Itu cuma buat kepentingan mereka!"
Suara helaan nafas terdengar, "Kamu akan tetap tinggal dengan Grace, kamu nggak perlu takut."
Plash!
Suara pencutan terdengar, setelahnya suara teriakan dan rintihan menyusul. Sedangkan Grace benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan Grace tidak bisa berteriak demi menghentikan hal buruk yang mungkin, sedang terjadi sekarang ini.
"No, Hendery, don't-NOOOO!"
"Mama!"
Bersamaan dengar keluarnya suara Grace, pandangan Grace juga ikut terbuka.
Grace melihat lurus ke depan. Seorang wanita duduk bersimpuh di bawah tiang berbentuk salib. Rambutnya berantakan, tangannya terikat ke belakang. Baju putihnya compang-camping dengan noda yang Grace yakin itu, darah.
Seketika Grace ingin muntah, pening dalam sekejap juga menggerayangi kepalanya.
"Grace."
Wanita itu mengangkat kepalanya. Dari sini Grace bisa melihat dia terpejam dengan benda cair kemerahan yang mengalir dari kedua matanya.
Grace yang melihat itu hanya bisa menangis saja.
"Jaga diri kamu," Katanya lagi.
"M-mama.."
"Mama di sini.."
Entah sejak kapan dan bagaimana caranya, wanita yang Grace lihat sebagai 'mamanya' itu sekarang sudah berada di hadapan Grace. Kondisinya normal, sangat normal, sama seperti 'mamanya' yang biasa Grace lihat. Tidak ada darah, bajunya bersih, dan dia tersenyum.
"Jaga Mark, lindungi Peter." Tangan wanita itu terulur menghapus airmata Grace yang terus jatuh. "Mereka gak bersalah."
Grace memandang wanita itu lamat, tapi segera beralih pada suara orang terjatuh dari balik badan wanita yang ia lihat sebagai 'mamanya' itu.
"Mark."
'Itu Mark, kan?'
"Mark?"
"Mark gak bersalah." Wanita itu menginterupsi.
"Mark!"
"Mark gak bersalah."
Mark menjatuhkan benda bersimbah darah di tangannya. Matanya kosong, lurus menatap pria berjas putih yang tergeletak di lantai. Grace bisa mencium bau anyir yang keluar bersamaan dengan cairan menjijikkan yang seketika membuatnya mual.
"Papa, sorry...'
"Mark, kamu"
"MARK GAK BERSALAH!"
"Mark."
Mata Grace terbuka bersamaan dengan suara serak Grace yang lolos begitu saja.
"Oh, bangun?"
Grace mencari asal suara dengan kedua matanya dan menemukan Mark sedang-entah melakukan apa di samping ranjangnya.
'Oh, aku di kamar? Ah, iya.. ini kamarku.'
"Bangun gara-gara aku, ya?" Tanya Mark sambil tersenyum simpul.
"Kamu ngapain-ehm." Tenggorokan Grace benar-benar terasa kering.
"Ganti kantong infus," Jawabnya enteng. Setelah selesai dengan kegiatannya, dia segera membantuku duduk lalu memberi Grace segelas air yang terletak di meja.
Dan Grace baru sadar kalau punggung tangannya ditanami jarum infus.
"Belum kapok minum obat tidur?" Tanya nya sambil meletakkan gelas yang sudah kosong kembali ke atas meja.
Grace hanya diam. Sejujurnya ia masih merasa seperti.. mengambang? Entahlah, Grace belum bisa membedakan apakah ini nyata atau mimpi.
"Loh, udah bangun?" Orang lain masuk ke kamar Grace, Henry.
"Aku kira kamu udah mati." Dan as usual, dia meledek Grace lagi.
"Om!" Bukan Grace yang protes, tapi Mark. Mungkin dia takut kalau kakaknya itu benar-benar mati.
"36 jam, rekor tidur paling lama kamu setelah sekian lama. Hmmm.. untung jantungnya gak berhenti." Henry berkacak pinggang. Ia sedang mengomel pada Grace yang 'agak' keras kepala itu.
"Lanjutin aja mengabaikan jam minum obatmu dan malah minum obat tidur terus, biar cepet.. kkkhhhhkkk," Lanjutnya sambil 'menggorok' lehernya sendiri dengan tangan.
"Om, aku baru bangun, jangan diomeli terus," Protes Grace sambil memegangi kepalanya. Tidak bukan berakting, tapi memang terasa pusing.
"Kamu sih, bandel!" Henry memukul kepala Grace pelan, dan langsung diusap lembut. "Jangan jadi orang bego," Katanya kemudian.
"Permisi?"
Mereka - Grace, Mark, dan Henry - langsung melihat ke asal suara.
"Oh, Jack? Sini masuk."
'Sialan Om Henry! Aku masih belum ingin ketemu lagi sama dia malah disuruh masuk!'
Jackson melangkah masuk, dan langsung duduk di tepi ranjang di samping Grace.
"Ayo, Mark, kita keluar." Henry mendorong Mark keluar dari kamar Grace.
"Om."
"Take your time," Potongnya, lalu segera menutup pintu.
'Shit.' Rasanya Grace ingin mengeluarkan umpatan yang ada di dalam mulutnya saja.
"Grace." Jackson memanggil nama Grace, tapi Grace justru malah memalingkan muka.
"Sorry.." Katanya lagi.
Grace masih diam, enggan untuk menjawab. Sebenarnya karena Grace juga bingung ingin menjawab apa.
"Aku sama Sharon."
"Ya udah sih, urusin Sharon aja. Kan kita udah putus?!"
Grace tidak salahkan berbicara seperti itu?
"Kapan?" Tanyanya.
Grace tidak menjawab. Grace anggap Jackson tuli dan bodoh karena tidak memahami perkataannya saat terakhir kali mereka bertemu.
"Aku masih pengen sama kamu." Dia menggenggam tangan Grace yang bebas dari infus.
"Aku gak pengen berdiri di antara kamu sama Sharon."
"No, cuma ada aku sama kamu, gak ada Shar—"
"Bullshit." Grace menatap Jackson dengan tajam, "Kamu ngomong gitu berkali-kali dan nyatanya malah aku yang kelihatan kayak tembok penghalang buat kalian. Aku udah capek, Jack. Just accept it, kita udah bubar."
Jackson menghela nafas panjang. Dari raut wajahnya Grace tahu kalau dia sedang kesal.
Kesal karena Grace? Maaf? Bukannya Grace yang seharusnya kesal dengan Jackson?
"Terus, kita putus, gitu?" Dia memandang Grace lamat.
Gadis Yoo itu mengangguk, "Kembalilah sama Sharon."
Grace ingin tersenyum pada Jackson, tapi malah airmatanya sendiri yang keluar. Grace jadi malu sendiri.
Jackson tertawa pelan, "Kalo gak rela tuh, bilang. Jangan sok kuat gitu." Lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"Shut up!" Grace mendorongnya, tapi yang ada pelukan Jackson semakin mengerat.
"Aku gak akan lepasin kamu. Aku janji," Katanya.
"I said shut up, asshole."
"Yeah, I love you too."
"Jack!"
"Iya-iya.." Jackson mengelus puncak kepala Grace. "Gak jadi putus, kan?"
Grace tidak menjawab. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Memang Grace menginginkan semua ini berakhir, tapi hal seperti ini juga yang Grace harapkan berlangsung selamanya.
"Kak Gra—"
Pintu terbuka, menampilkan Peter yang menggantung kalimatnya. Di belakangnya, menyusul Nathan. Beberapa detik, mereka membeku di sana dengan raut wajah yang sulit Grace artikan, tapi sedetik kemudian...
"Eh, ada Kak Jack? Whassup!—Ayok Kak Nat, kita minggir dulu.-bye!" Lalu Peter menutup pintu. Kasar, sampai pintu terbanting.
"Sorry Kaaakk," Teriak Peter dari luar sana.
"Dia masih di sini?"
"Hmm?"
"Cowok tadi, yang sama Peter," Jelas Jackson.
Grace hanya mengangguk sebagai jawaban, "Aku biarin dia tinggal di sini sampe dia nemuin keluarganya atau... seenggaknya teman."
"Kenapa?"
"Kasihan," Jawab Grace. Ya, karena memang sebenarnya itu alasan Grace membiarkannya tetap tinggal.
"Aku udah pernah bilang ke kamu apa belum, sih?"
Grace mengernyit, "Apa?"
Jackson menghela nafas lalu memandang Grace lamat. Grace menjadi gugup di buatnya.
"Jauhi dia, dia berbahaya."
-The Sleeping King-
Grace baru saja keluar dari kamarnya, dan diikuti dengan Jackson yang membantu Grace membawakan tiang infus. Sebenarnya Grace masih ingin tidur, karena kepala Grace masih terasa berat. Tapi Jackson memaksa Grace keluar kamar. Dengan alasan, supaya Grace menghirup udara yang lebih segar.
"Kok sepi?" Tanya Grace setibanya di ruang tamu.
"Mark sama Om Henry balik ke rumah sakit. Tadi katanya mau ada operasi? I don't know..." Jawab Jackson seadanya. Jackson membantu Grace untuk duduk di sofa ruang tamu lalu mendekatkan tiang infus pada Grace.
"Peter?"
"Nggak tau," Jawab Jackson. "Mungkin sama Nat- siapa?"
"Nathan." Koreksi Grace.
Jackson manggut-manggut lalu meletakkan koran yang tergeletak di atas meja di atas pangkuan Grace.
"Baca, siapa tau terhibur."
"Pusing iya," Kata Grace ketus. Jackson hanya tertawa lalu beranjak ke arah dapur.
Iya, Jackson selalu memasak kalau datang ke rumah Grace. Bukan selalu makanan berat, terkadang hanya sandwich berisi telur atau sosis. Dan dengan seenaknya Jackson menyuruh Grace memakannya-- sekalipun Grace bilang kalau Grace baru saja selesai makan. Setiap kali Grace menolak, Jackson akan menjawab 'biar agak gendut gitu, jangan kurus-kurus kayak lidi, dipeluk keras'.
Untungnya Grace sayang, jadi tidak sampai menendang mukanya karena kesal.
Karena Jackson lama, akhirnya Grace melakukan apa yang Jackson minta: membaca koran.
Grace memang seorang editor buku, tapi sebenarnya ia sangat benci membaca, apalagi koran. Alasannya adalah, karena koran tidak selalu menjadi media yang benar-benar merepresentasikan kejadian nyata di kehidupan sehari-hari.
"Ciyee baca koran."
Suara Jackson menarik perhatian gadis itu. Dengan satu hentakan ia menutup koran di pangkuannya lalu membuangnya asal.
"Bosan," Kilah Grace.
Jackson hanya tersenyum lalu meletakkan segelas coklat panas dan beberapa potong biskuit di meja.
"Eh, ambilin lagi dong," kata Grace sambil mengulurkan tangan ke koran yang tadi ia buang.
"Yeuu, terus kenapa dibuang kalo minta diambilin lagi?" Inilah yang membuat Grace gemas pada Jackson. Meskipun menggerutu, tapi dia tetap mau melakukan apa yang Grace minta, dengan ekspresi wajah yang lucu.
"Makasih, hehe.." kata Grace sambil menerima koran dari Jackson.
"Ada berita apa emang?" Jackson mengambil duduk di samping Grace. Sebelah lengannya Jackson letakkan di sandaran sofa belakang Grace. Tangannya ikut memegang koran di pangkuan Grace setelah menyibakkan rambut Grace dan menyandarkan dagunya di pundak Grace.
"Lihat-lihat aja," kata Grace singkat. Grace ingin tahu apa yang koran ini katakan tentang dunia.
Jackson tidak lagi menyahuti, dia hanya melihat apa yang Grace ingin lihat-tidak protes maupun bertanya kenapa Grace hanya membolak-balik halaman demi halaman koran yang berisi tulisan berukuran mikro dengan gambar-gambar membosankan itu.
Grace hampir saja membuang koran itu lagi sampai ia tidak sengaja membaca judul sebuah artikel di sana.
"Vatican is Now under the Control of UnderGround"
'Vatikan? UnderGround? Apa itu? Perusahaan? Ngapain perusahaan ngambil alih Vatikan?'
"Baca apa sih, yang lain kek." Jackson membalik halaman koran itu paksa. "Nah, ini. Masak ini enak kayaknya," katanya sambil menunjuk artikel tentang resep makanan.
"Bentar, Jack-"
"Kamu baru aja siuman," potong Jackson. "Jangan baca yang terlalu berat, nanti kamu tambah pusing, hm?" Lalu mengacak rambut Grace pelan dengan tangannya yang berada di belakang.
"Tapi-"
Belum sempat Grace menjawab, pintu depan terbuka.
"Eeyyy pacaran terus," cibir orang yang baru saja datang, Mark. Dan, seperti disuruh, Jakson malah merangkul Grace sambil menciumi rambut Grace.
"Ew," kata Mark jijik.
Dan Jakson hanya tersenyum manis saat Grace meliriknya dengan tatapan 'apaan sih?'
"Oh iya, abis gini infusnya mau aku lepas. Aku ambil alatnya dulu," kata Mark sambil berlalu.
Grace hanya mengangguk sambil memandang punggung tangannya. Tiba-tiba ia merinding sendiri membayangkan jarum besar itu perlahan-lahan dicabut dan menyisakan setetes dua tetes darah.
"Gak usah takut, kamu gak akan mati cuma gara-gara infusnya dicabut."
"Bukan infusnya.." kata Grace lirih. Bahkan menyebut 'darah' dengan mulutnya sendiri membuatnya mual.
"Get ready!" Mark datang lalu segera jongkok di depan Grace. Tangannya mulai membasahi selotip yang merekatkan kain kasa di sana-agar mudah untuk dicabut.
"Sini." Jackson menarik dagu Grace lalu menempelkan dahinya dan dahi Grace.
"Merem," perintahnya, dan Grace hanya menurut saja. Grace memejamkan matanya rapat sambil meremas tangan Jackson yang ia pegang. Dari udara yang keluar dari hidung Jackson, Grace tahu kalau Jackson sedang menahan senyum.
"Lemah," cibir Mark.
-The Sleeping King-