"Ah, sorry."
Grace membungkukkan badannya ke arah seseorang yang tidak sengaja ia tabrak. Orang itu tersenyum, sungguh manis.
"Kamu nggak papa?"
"Nggak pa-"
"Graceeeee!"
Sebuah suara melengking memekik telinga Grace bersamaan dengan tuburukan yang hampir membuat Grace tersungkur ke belakang.
"J-julia-"
"Apa kabar?" Potong Julia sambil melepaskan pelukannya pada Grace.
"Kata Lucas kamu sakit? Udah baikan?" Tanyanya bertubi-tubi. Grace hanya mengangguk kikuk lalu menoleh pria yang ia tabrak tadi. Dia masih berdiri di tempatnya, memandang Grace dan Julia sambil tersenyum.
"Hai, Tom." Julia menyapa pria itu. Dan pria itu menanggapi sapaan Julia dengan sebuah senyuman- baik, sebenarnya dari tadi dia tidak berhenti tersenyum.
"Ah iya, Grace, ini Tommy. Dan Tommy, ini Grace, orang yang akan menjadi editor bukumu," jelas Julia.
"Oh ya?" Tommy menutupi tawanya dengan punggung tangan, elegan sekali. "Aku Tommy," katanya kemudian sambil mengulurkan tangannya pada Grace.
"Grace." Grace menjabat tangannya sebentar.
"Ayo masuk, Lucas udah nungguin di dalem."
-The Sleeping King-
Berbeda pada saat Grace bertemu dengan pria tadi Tommy, auranya berubah. Sebenarnya, sekarang pun dia masih sesekali tersenyum, tapi Grace merasa ada yang lain. Auranya terasa sedikit menakutkan, Grace tidak tahu.
Lucas menghela nafas setelah selesai membolak-balik draft milik Tommy. Tangannya bergerak menyapu rambutnya ke belakang. Lalu setelah beberapa detik terdiam, akhirnya dia bangun dari sandaran punggungnya dan menatap Tommy lamat.
"Kamu yakin mau publish buku ini?" Tanya Lucas sambil mengetuk-ngetuk draft berbentuk hard copy yang terletak di meja depannya. Dan Tommy mengangguk mantap sebagai jawaban.
"Tapi isinya sensitif banget, loh. Apalagi kamu gak nyantumin sumber apa-apa. Nanti takutnya-"
"Tapi aku mengalaminya secara langsung. Jadi gak butuh sumber," potong Tommy.
"Iya aku tau." Sekali lagi, Lucas menghela nafas frustasi. "Tapi kamu seharusnya bisa mengira-ngira apa resikonya kalo maksa publish buku ini."
Setelahnya, suasana hening. Bahkan Julia yang biasanya banyak bicara pun kelihatannya tidak bisa berkata-kata, walaupun hanya sekedar mencairkan suasana yang sekarang, Grace rasa, suasana saat ini sedikit menegang.
"Kamu juga udah lihat sendiri respon masyarakat setelah baca tulisanmu di LA Times*," tambah Lucas.
*LA Times: Los Angeles Times, media penerbitan berita sejenis dengan New York Times.
Grace mengernyit. 'LA Times? Tommy ini wartawan?'
"Membahas masalah yang terjadi di negara lain tanpa ada bukti yang konkrit itu berbahaya, Tom. Bukan cuma penarikan berita dan peringatan ke pihak yang bersangkutan, kamu bisa-bisa dihukum berat." Lucas menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi lalu meraih segelas iced americano di meja dan meminumnya.
Penarikan berita? Grace memandang Tommy heran, ia penasaran dengan apa yang sudah Tommy tulis di LA Times.
"Sorry." Grace menginterupsi percakapan Tommy dan Lucas- yang sebenarnya sedang dalam masa jeda. "Kalo boleh tau, emang kamu nulis apa di LA Times?" Tanya Grace kemudian.
"Isu yang sangat sensitif," jawab Tommy. Senyum getir menghiasi bibirnya.
"Sembrono," timpal Lucas.
Tidak, bukan itu jawaban yang Grace inginkan.
"Tapi serius, Cas. Aku nulis itu berdasarkan fakta real yang aku alami sendiri," kata Tommy.
"Iya aku tau, aku tauu.." Lucas mengacak rambutnya sendiri. "Tapi aku gak bisa publish buku tanpa sumber atau apapun yang bisa bikin publik percaya. Sesuatu yang kamu bilang 'real" itu terlalu 'fiktif' buat masyarakat awam. Dan lagi, kalo guerriero tau keberadaan kamu, aku sebagai pihak penerbit pasti juga bakal kena."
Grace ikut menggaruk kepalanya. Mereka membicarakan hal serumit ini berdua, dan sepertinya sangat tertutup. Lalu untuk apa Grace diajak duduk se-meja? Menjadi penonton? Tidak apa kalau Grace dibayar, tapi ini tidak.
"Boleh aku lihat draft nya?" Tanpa menunggu izin dari Lucas, Grace langsung menarik draft buku milik Tommy yang terletak di depan Lucas. Toh Grace adalah 'calon editor'nya kan?- kalau buku ini mendapatkan izin publikasi.
Tommy dan Lucas melanjutkan perbincangan mereka. Entah apa yang mereka katakan, Grace sama sekali tidak menangkap poinnya karena fokusnya terlanjur penuh mengarah pada sebendel kertas putih bertuliskan tinta hitam di tangannya itu.
Baru judul, tapi Grace langsung mengerti kekhawatiran yang tadi Lucas sampaikan.
"Vatican is (not) as Holy as You Think"
'Vatikan? Sebentar. Judul ini mengingatkanku pada sesuatu.'
"Tom."
Pria yang Grace panggil namanya itu langsung menoleh, "Ya?"
"Kamu yang nulis soal Vatikan dan something bernama UnderGround di LA Times?"
Ekspresi Tommy mendadak berubah, Grace tidak bisa mengartikannya, "I-iya.." jawabnya kemudian.
Grace tersenyum, dan Tommy ikut tersenyum kaku.
"Kenapa?" Tanyanya.
Grace menggeleng, "Hanya penasaran."
Tommy masih memandang Grace lamat.
"Mind to tell me what you've written?"
-The Sleeping King-
Percakapan Grace dan Tommy belum sempat berlangsung, tapi Grace harus segera mengakhirinya karena panggilan dari Mark. Dia bilang kondisi Nathan mengalami kemunduran.
"Kak Grace!" Mark melambaikan tangannya di ujung koridor rumah sakit, membuat Grace memaksa kakinya untuk berjalan lebih cepat.
"Bagaimana?" Tanya Grace sesampainya di depan Mark.
Mark mengangkat bahunya sekilas, "Masih ditangani sama Om Henry."
Grace menoleh ke arah pintu ruang rawat Nathan yang tertutup rapat. Semoga tidak terjadi apa-apa.
"Kak." Mark memegang lengan Grace. "Ikut aku sebentar."
-The Sleeping King-
Mark mengajak Grace masuk ke ruangan pribadi Henry. Dalam hati Grace sedikit kagum pada adiknya ini. Ya, karena dia sudah mendapatkan kepercayaan seorang dokter hebat seperti Henry di usianya yang masih sangat belia.
"Langsung aja, Kak." Mark menatap Grace lamat setelah mereka duduk bersebelahan di sofa dekat dinding
Grace hanya merespon dengan menatap Mark, memberinya isyarat untuk menyampaikan apa yang ingin dia katakan.
"Kita harus pindah," kata Mark.
"Hah?"
Mark menghela nafas. Grace bisa melihat kerutan frustasi di wajahnya.
"Kenapa tiba-tiba ngajak pindah? Kemana?" Tanya Grace.
"Kemana aja, asal jangan di LA lagi."
"Kamu terjerat kasus?" Tanya Grace hati-hati. Siapa tahu Mark memang terlibat masalah serius sehingga dia ingin melarikan diri.
"No, semuanya normal," jawab Mark. Tapi jawabannya berbanding terbalik dengan apa yang bisa Grace baca dari ekspresi dan gerak-geriknya.
"Mark—"
"Kak Grace ketemu sama Kak Nathan dimana?" Potong Mark
"Nathan?"
"Kenapa Kak Grace gak bilang kalo Kak Nathan -" Kalimat Mark terhenti sejenak, "Lupain," katanya kemudian sambil mengibaskan tangannya di depan wajah lalu memalingkan muka.
"Nathan kenapa?" Grace meraih kerah baju Mark lalu menariknya agar Mark memandangnya lagi.
Mark diam beberapa saat sampai akhirnya bilang, "Jauhi Kak Nathan."
"Kenapa?"
Baik, sebenarnya tanpa disuruh pun Grace juga berniat akan menjauhi Nathan. Tapi itu setelah dia bertemu dengan orang lain yang dia kenal. Apalagi kondisi Nathan sekarang sedang sekarat. Mana mungkin Grace tega menelantarkannya begitu saja?
"Alasannya gak penting, Kak. Yang jelas kita harus pindah dan jauh-jauh dari dia," jawab Mark.
"Yeah, but"
"Aku gak akan menakuti Kak Grace dengan bilang Kak Nathan berbahaya, in fact, dia emang gak berbahaya. But, something after him."
Baik, sekarang Grace benar-benar merasa seperti orang bodoh karena sama sekali tidak menangkap apa yang sedang Mark bicarakan.
"Stop thinking about someone we don't even know, kita selamatkan diri sendiri."
-The Sleeping King-
Grrace membuka pintu ruang rawat Nathan. Masih sama, dia masih berbaring disana. Tidak ada pergerakan apapun, hanya EKG yang masih sibuk memonitor detak jantung pria yang Grace kenal masih dalam hitungan hari itu.
Grace menarik kursi mendekat ke ranjang Nathan lalu duduk, memperhatikan raut wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi apapun. Tatapan matanya kosong.
"Apa cuma aku yang ngelihat kamu jadi kurus banget padahal baru kemarin kamu dianter kesini?" Tanya Nathan.
Jujur saja, melihatnya seperti ini membuat dada Grace sakit.
"Hei." Grace menusuk pipi Nathan dengan jarinya pelan. Dingin, kulitnya terasa begitu tipis.
"Kamu gak pengen sadar apa?" Lanjut Grace. "Itu matanya gak pegel melek terus gak kedip-kedip?"
Tidak ada sahutan.
"Cepet sembuh, aku mau tanya banyak hal ke kamu," kata Grace lagi. Entah mendapat bisikan dari mana, jari Grace bergerak menyingkirkan sehelai dua helai rambut di dahin Nathan.
Pandangan Grace beralih pada jahitan di leher Nathan. Grace sudah beberapa kali melihatnya, tapi tetap saja merinding. Bahkan bekas luka sayatannya pun masih jelas terlihat.
Grace penasaran, apa yang sudah dia alami? Siapa yang melakukan hal mengerikan seperti ini padanya? Apakah mungkin ini berhubungan dengan ketakutannya selama ini? Apa dia saat ini sedang dikejar seseorang? Siapa? Dan untuk apa?
Lebih jauh lagi, kenapa harus Nathan? Siapa dia sebenarnya?
"Nathan." Sekali lagi Grace menusuk pipi Nathan pelan. "Kamu ini-"
Belum sempat Grace menyelesaikan kalimatnya, Grace melihat kelopak mata Nathan melebar dan sedetik kemudian dia mengerjap pelan.
"Nathan?" Panggil Grace, memastikan apakah dia benar-benar sadar atau ini hanya imajinasinya saja.
Dan kini matanya melirik ke arah Grace.
Grace langsung menekan tombol merah di dinding. Senang, jangan ditanya. Grace mengibaskan tangannya di depan wajah Nathan, dan sekali lagi dia mengerjap.
"Kamu ingat siapa aku?" Tanya Grace.
Dia belum menjawab selama beberapa detik, tapi kemudian bibirnya bergerak, "Miss Turtle..."
"Hah?" Grace mendekatkan wajahnya pada Nathan, memasang telinga dan memintanya berbicara sekali lagi. Grace tidak mendengar dia bilang apa, suaranya terlalu lirih.
Tapi bukannya menjawab, dia malah menyentuh pipi Grace lalu mengusapnya pelan. Sedetik kemudian dia tersenyum lalu menurunkan tangannya.
"Mataku pedes.." kata Nathan sambil menutup matanya dengan salah satu telapak tangannya.
Grace terkekeh, "Salah sendiri tidur gak merem," celetuknya.
Grace menoleh ke pintu, tapi belum juga ada perawat atau dokter yang datang.
"Tunggu sebentar ya, aku panggil dokter dulu," kata Garce lalu segera berlari ke luar ruangan.
Belum terlalu jauh Grace meninggalkan ruangan, Grace bertemu dengan Henry.
"Om!" Teriak Grace, dan yang ia panggil menoleh lalu melambaikan tangan dan tersenyum padanya.
"Jangan lari-lari," katanya saat Grace sudah sampai di depannya.
"Nathan." Grace menunjuk ke arah ruangan Nathan. "Dia udah siuman."
-The Sleeping King-
"Lah, dia mana?"
Grace segera menerobos masuk, melewati Henry yang berdiri mematung di depan pintu.
Nathan tidak ada di ruangannya.
Grace memeriksa di toilet, nihil. Dia juga tidak ada di sana. Kemana dia?
"Aku ke admin dulu, siapa tau dia dipindahin ke ruangan lain." Henry menepuk bahu Grace lalu pergi.
Tapi tidak mungkin Nathan dipindahkan. Grace belum lama meninggalkannya di sini. Masa iya dia jalan-jalan? memangnya kuat?
Sayup-sayup Grace mendengar suara aneh. Dan saat ia mengedarkan pandangan, ia baru tersadar kalau ada titik-titik berwarna merah di lantai.
Grace segera menutup mulut dan hidungnya dengan scarf yang melilit lehernya. Itu darah.
Grace berniat keluar dari ruangan ini karena mulai merasa pusing, tapi sesuatu menarik perhatiannya. Ini memang menjijikkan, tapi jika diperhatikan, titik-titik darah itu mengarah ke jendela. Dan saat ini juga Grace baru tersadar kalau jendela ruangan ini terbuka lebar.
"Nathan!" Grace segera berlari ke jendela, menoleh ke kanan dan kiri, mencari jejak lain yang mungkin Nathan tinggalkan.
Suara aneh itu terdengar lagi. Grace menunduk, melihat ke bawah jendela. Dan ternyata Nathan di sana. Meringkuk sambil memegangi pergelangan tangannya yang mengucurkan darah.
-The Sleeping King-