Sekarang sudah pukul 8 malam. Ya, Grace masih berada di kafe Julia sampai pukul 8 malam. Padahal Julia dan Lucas sudah pergi lagi mengurusi hilangnya Tommy. Seharusnya Grace pulang, tapi ia bertahan di sini tanpa alasan yang jelas.
Ah, sebenarnya ada alasan yang jelas. Hujan. Tapi itu sudah berlalu sejak satu jam yang lalu.
Grace menangkupkan wajahnya di atas meja. Merutuki kakinya sendiri yang tidak mau memenuhi permintaan otaknya.
"Ayo pulanggg..." Rengek Grace kepada dirinya sendiri.
"Kak." Peter mengetuk-ngetuk puncak kepala Grace dengan jarinya, dan Grace mendongakkan kepalanya.
"Kak Nat," katanya lagi sambil menunjuk Nathan yang sekarang sedang duduk di kursi samping jendela besar dan melihat keluar.
"Biarin," kata gadis itu lalu kembali menangkupkan kepalanya di atas meja.
"Lihat dulu, ish." Peter mengangkat wajah Grace lalu menghadapkannya ke Nathan.
"Udah hampir satu jam dia kayak gitu gak gerak-gerak, aku takut dia tiba-tiba kesurupan," tambah Peter.
"Kok kamu biarin aja sih?"
"Aku takut," kata Peter.
Grace mendecih lalu menghampiri Nathan.
"Nathan?" Panggilnya. Dia sama sekali tidak menoleh, dan tidak ada tanda-tanda ia menunjukkan pergarakan.
Grace duduk tepat di depannya, dan memandangnya lamat-lamat. Wajahnya hanya terlihat dari samping, tapi sangat jelas kalau tatapan matanya kosong.
"Mikirin apa?" Grace menyentuh tangan Nathan yang bertautan di atas meja. Tapi dia tidak merespon.
Grace mengeratkan genggaman tangannya pada Nathan, seolah mencoba membangunkan Nathan kalau memang dia sedang melamun sekarang. Tapi dia tetap diam, tidak merespon sampai gadis itu lelah menunggu. Bahkan kalau dilihat, Grace yakin sekarang mereka seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar-Nathan yang marah dan Grace yang merengek meminta maaf.
4 menit, 13 menit, dia masih belum menjawab, akhirnya Grace melepaskan tangannya. Akan tetapi belum sempat terlepas, genggaman tangan mereka tertahan. Dan detik itu juga Grace melihat Nathan mengeluarkan air mata.
"Kamu kenapa?" Grace menarik dagu Nathan menghadap dirinya.
"Sorry..." katanya.
Grace mengernyit, "Buat apa?"
Nathan menggeleng lalu menghapus airmatanya dengan punggung tangan.
"Tommy?" Tanya Garce, memastikan apa yang membuatnya tiba-tiba melamun lalu menangis. Sekali lagi dia menggeleng.
"Terus apa?"
Nathan diam beberapa saat, lalu memandang gadis yang ada di hadapannya lamat, "Kalo misal kamu dikasih kesempatan buat bereinkarnasi, kamu pengen jadi apa?"
Garce berdecak lalu melepaskan genggaman tangannya. Grace sebal jika omongan Nathan sudah mulai melantur 'lagi.
"Mn," tuntutnya sambil menyangga kepalanya dengan kedua telapak tangannya di atas meja.
Sudah Grace bilang, kan? Manusia satu ini sangat random. Baru saja melamun, menangis, lalu tiba-tiba berubah lagi mengesalkan.
Grace mendengus dan melipat kedua lengannya di depan dada, "Gak jadi apa-apa. Kalo mati ya mati aja, udah end. Kasih kesempatan ke yang lain buat hidup," ketus Grace.
"Yang lain sih udah ada jatah sendiri, gak usah khawatir," sahutnya. "Jadi kamu pengen jadi apa? Kura-kura?"
"Sembarangan!"
Nathan terkekeh pelan lalu menoleh Peter yang duduk di kursi Grace tadi sambil membaca-baca daftar menu di atas meja.
"Peter nanti juga nanti bakal dapet kesempatan buat reinkarnasi loh, kamu gak pengen gitu?"
"Hah?"
"Tapi dia gak bakal terlahir jadi 'Peter' lagi. He will be a totally different person." Peter memandang Grace lagi, kali ini dengan mata yang terlihat sedih.
"Ck, apa sih, ngomongin yang lain aja."
Sekali lagi Nathan terkekeh. Apanya yang lucu?
"Tebak, aku tadi baru aja 'lepas'."
"Hah?"
"Terus tau-tau kamu pegang tanganku, hehe." Lelaki itu meraih tangan Grace lalu digenggam erat.
"Apasih Nat?" Grace berusaha melepaskan tangannya dari Nathan, tapi dia tetap bertahan.
"Miss Turtle," panggilnya.
"Grace," koreksi Grace.
"No, aku lebih suka Miss Turtle. Lucu," katanya sambil tersenyum lugu.
Grace hanya mendengus. Biarkan saja, dia menjengkelkan. Bahkan jari-jari tangan Grace yang dari tadi dia pegang sekarang dibuat mainan.
"Kamu gak pengen tanya aku tadi kemana?" Tanyanya.
"Kan dari tadi di sini?"
Dia menggeleng, "Aku tadi keluar. Di sini sempit. Semakin sempit."
Lagi-lagi Grace mengernyit. Dia nih ngomongin apa sih?
"Tapi tadi aku gak ngapa-ngapain, kan?" Tanyanya.
"Nggak, kamu cuma duduk di sini bengong liat keluar jendela," jawab Grace malas.
Dia mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Tau gak, kalo misal kamu sering lepas dari badan kamu, tandanya waktu kamu tinggal sedikit lagi," katanya lagi setelah beberapa saat hanya terpaku pada tautan tangan mereka.
"Maksudnya?"
"Tommy bilang gitu. Belakangan aku sering 'lepas', aku takut kalo waktuku juga tinggal sedikit," tuturnya. "Eh, tapi dari dulu-dulu juga sering 'lepas' sih."
Grace membuka paksa tangan Nathan di tangannya lalu memandang Nathan aneh, "Can you stop talking nonsense?"
"Hm? Yang bagian mana yang nonsense?"
"Reinkarnasi, kamu 'lepas', sempit, waktumu tinggal sedikit.. you're not God, bicara rasional aja. Oke?" Grace tidak akan berbohong kalau saat ini ia sedang kesal, tidak bukan kesal lagi, tapi sangat-sangat kesal.
Pertama, karena Nathan membicarakan hal-hal absurd. Kedua, dia tidak membicarakannya dengan jelas. Ketiga, semua yang dia katakan tidak masuk akal. Dan terakhir, Grace tidak paham.
Tidak lupakan yang terakhir, memikirkannya saja membuat Grace merasa, bodoh.
Dan respon Nathan hanya tersenyum lebar.
"Tapi kalo aku nanti dikasih kesempatan buat reinkarnasi"
"Dibilang udah jangan ngomongin itu!"
"Dengerin, ih!"
Grace mendengus.
"Tapi kalo aku nanti dikasih kesempatan buat reinkarnasi..." Nathan menggantung kalimatnya, sepertinya menunggu Grace untuk memperhatikannya. Dan benar, ketika Grace meliriknya dia melanjutkan, "Aku pengen tetep jadi Nathan Kim biar aku tetep ingat sama Miss Turtle."
Dia tersenyum lebar lalu bilang, "Aku suka sama Miss Turtle."
"Aw..." Grace memegang dadanya karena tiba-tiba rasanya seperti dipukul. Sakit.
"Kamu kenapa?"
Grace mengibaskan tangannya di depan wajah.
"Belum minum obat, ya? Pulang?" Tawarnya.
Grace mengambil ponsel dan memeriksa jam. Iya, ini waktunya Grace meminum obat. Mungkin karena itu juga tiba-tiba jantung Grace rasanya seperti ingin lepas.
"Pet!"
Peter menoleh, lalu segera beranjak menghampiri Grace.
"Kak Grace kenapa? Jantungnya sakit?" Tanyanya khawatir-karena Grace masih meremas bajunya di bagian dada.
Grace tersenyum kaku, "Sedikit."
"Ayo pulang, udah waktunya minum obat, kan?" Peter membantu Kakaknya itu untuk berdiri lalu menuntunnya. Sementara Nathan mengikuti mereka dari belakang.
"Kalo mampir dulu buat beli makan kira-kira masih kuat gak?" Tanya Petet lagi.
"Kuat..." jawab Grace
"Gak deh, nanti delivery aja, pesen sambil jalan pulang."
Grace hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Kak Nat, bantuin Kak Grace dong." Peter menghentikan langkahnya lalu menoleh Nathan di belakang. "Aku mau ambil mobil di basement."
"Oke." Nathan menggantikan posisi Peter sedetik setelah Peter melesat pergi. Tapi bukan memapah Grace, dia malah membonceng tangan Grace dan menyelipkan jari-jarinya di antara jari-jari Grace.
"Bisa jalan gak? Atau mau kugendong?"
"Bisa," jawab Grace ketus.
Ini aneh. Tapi Grace dan Nathan hanya melanjutkan perjalanan dalam diam. Hanya tangan mereka yang masih bertautan, bahkan sampai meteka sampai di tepi jalan menunggu Peter.
"Dingin, ya?" Tanya Nathan.
Ya memang dingin. Ini sudah malam, apalagi tadi turun hujan. Udara di luar sudah cukup untuk memaksa Grace gigi-giginya bergemeletuk kecil.
Sebelah tangan Nathan yang bebas merapikan scarf Grace, menatanya sebisa mungkin agar menutupi leher Grace.
"Masih dingin?"
Sebenarnya masih, tapi Grace menggeleng demi menghindari hal lain. Dipeluk misalnya?
Seseorang tolong ingatkan kepada Grace sekarang, kalau ia masih mempunyai Jackson.
Tapi itu terjadi.
Nathan berjalan ke belakang Grace lalu mengalungkan kedua lengannya di pundak Grace.
"Bohong," katanya.
"Nath-"
"Cuma sekali." Nathan mengeratkan rengkuhannya. "Sebelum aku pergi," lanjutnya.
"Ya?"
Nathan menyelipkan dagunya di antara lengannya dan leher Grace, "Let me hold you once. Just like this."
-The Sleeping King-
Hujan turun lagi, tepat saat mereka bertiga masuk ke dalam rumah-Grace, Peter dan Nathan.
"Kok baru pulang sih?" Mark yang sedang tiduran di sofa ruang tamu menyambut mereka bertiga dengan pertanyaan yang lebih mirip sebuah protes. Dia bangun, menyandarkan punggungnya ke sofa.
"Kak Grace pantatnya lengket, gak mau lepas dari kursi," jawab Peter.
Sialan.
Grace mendengus pelan lalu ikut duduk di samping Mark.
"Loh, Nathan mana?"
Peter menoleh ke belakang, "Lah, tadi perasaan jalan di belakang?"
Grace mau berdiri dan memeriksa dimana Nathan, tapi Mark menahannya.
"Aku aja yang nyari, kak," kata Peter, langsung keluar dari rumah begitu saja.
"Usah sejauh mana Kak Grace terlibat?" Tanya Mark.
Grace mengernyit, "Terlibat apa?"
"Teribat sama masalahnya Nathan."
"Kamu tau sesuatu?" Tanya Grace. "Kasih tau aku."
Mark menghela nafas, "Kak Grace gak tau dia itu siapa?"
Grace menggeleng, "Gak ada yang mau ngasih tau," katanya kesal. Sangat amat kesal. Nathan tidak bisa diandalkan dan Tommy yang ia kira bisa memberi sedikit pencerahan malah menghilang bagai ditelan bumi.
Sekali lagi Mark menghela nafas panjang, "Dia itu buronan, Kak."
"What?"
"Sebentar lagi pasti lokasi dia ketahuan. Jadi sebaiknya kita gak usah terlibat, for the sake of our own safety," lanjutnya.
"Guerriero?"
"FBI, CIA-ah, itu juga, guerriero," terang Mark.
"Kamu tau dari mana?"
"Itu gak penting,"
"Penting," tukas Grace. "Kalo kamu tau sesuatu, bilang. Jangan tiba-tiba ngomong kalo Nathan itu buronan. Kasih bukti biar aku percaya."
Mark menggosok wajahnya frustasi, "Aku gak tau harus ngasih bukti apa biar Kak Grace percaya."
Ya. Pada dasarnya memang begitu, untuk mendapatkan kepercayaan dari Grace itu memang sulit. Grace tidak tahu kenapa, tapi yang jelas seperti apa kata Mark, untuk keselamatan dirinya sendiri.
"Aku pernah lihat dia punya tato yang mirip sama punya Papa," ujar Mark setelah beberapa saat dia diam.
Grace mengernyit. Tato apa? Grace bahkan tidak pernah tahu kalau Papa nya mempunyai punya tato.
"Tato itu.. tanda kalo dia milik UnderGround."
"UnderGround?"
Mark mengangguk.
'Jadi... Nathan ada kaitannya dengan UnderGround? Berarti Tommy juga? Tapi kenapa Papa,'
"Mungkin Nathan emang gak berbahaya, tapi aku udah bilang kan, something after him is dangerous. And it's UnderGround."
"Sebentar." Grace menyerongkan duduknya menghadap Mark. "UnderGround itu apa?"
"Company—I think," jawab Mark ragu. "Aku juga gak tau, tapi mereka-kita harus jaga jarak dari semua yang berbau UnderGround, termasuk Nathan."
Mark menghela menarik nafas panjang lalu melanjutkan, "Kita udah ditanamkan dengan keyakinan kalo di dunia ini ada dua pihak yang berlawanan. Black, something we trust as the demon, and white, something we have to trust as the right-as the savior. Tapi di sini itu gak berguna, because the white can be more than a demon to smack down another demon, paham?"
Grace menggeleng.
"Dunia ini udah kacau kak!" Seru Mark -Grace terkejut. Ia tidak pernah melihat Mark se-frustasi ini. Sungguh, baru kali ini ia melihatnya begitu khawatir sampai tidak bisa mengendalikan emosinya.
"Aku juga udah kacau.." racau Mark, dan setelahnya Grace mendengar isakan kecil keluar dari bibirnya. "Aku gak tau harus lari kemana..."
"Mark..." Grace menyentuh bahunya. "Tenang dulu..." kata Grace, lalu menariknya bersandar ke pundaknya.
"Ceritain semuanya pelan-pelan..." Grace menepuk-nepuk lengan Mark pelan. Sebisa mungkin menenangkannya-yang bahkan Grace tidak tahu kenapa harus mengangis saat menceritakan sesuatu yang, menurut Grace, tidak begitu menyedihkan.
"Sorry, Kak..." katanya.
"It's okay. Lain kali aja ceritanya, kalo kamu udah lebih tenang, ceritain semua yang kamu tahu, tanpa ada yang terlewatkan."
-The Sleeping King-
Berbeda Mark, berbeda Nathan. Kalau tadi Mark berbicara dengan emosi yang meluap-luap, Nathan hanya diam, duduk sambil memeluk lututnya di atas sofa ruang tamu.
Pikir Grace, mungkin ini berhubungan dengan traumanya terhadap dokter. Grace pernah bilang kan kalau Nathan jadi takut pada Mark semenjak melihat Mark memakai coat dokter?
Mereka berdua - Grace dan Nathan - duduk bersebelahan, saling diam. Hanya mendengarkan suara tetesan air hujan di luar yang justru menggema memenuhi ruangan.
"Miss Turtle..." akhirnya Nathan membuka suara.
Grace menolehnya, dan dia menatap Grace.
"Aku bikin kamu berantem sama Mark, ya?" Tanyanya.
Grace menggeleng, "Everything's allright."
"Aku denger tadi dia teriak, dan aku lihat dia nangis." —Pada kenyataannya, tadi dia tidak pergi kemana-mana, hanya berdiam diri di balik dinding, menahan diri untuk masuk ke dalam rumah-bersama Peter.
"Hmmmm..." hanya itu respon Grace. Tidak mungkin Grace berbohong lebih jauh lagi kalau ternyata Nathan sudah tahu.
"Sampein maafku ke dia," kata Nathan.
"Kenapa kamu minta maaf? Emangnya kamu bikin salah?"
Nathan menarik sudut bibirnya, "Kali aja."
"Papamu orang UnderGround?" Tanya Nathan.
Grace menggeleng-ia memang tidak tahu, dan, ya, dia tidak mempunyai tempat. Tapi ada hal lain yang Grace pikirkan, mungkin saja dia tidak meninggal dalam sebuah kecelakaan seperti yang Henry bilang. Bisa saja kan dia masih hidup? Tapi entahlah. Grace hanya bisa menunggu Mark untuk mengatakan apa yang dia tahu. Mungkin nanti, secara perlahan.
"Kamu bisa jelasin gak, Underground itu apa?" Tanya Grace, masih penasaran perihal UnderGround.
"Perusahaan, kayak kata Mark," jawab Nathan. "Mereka yang menaungi gereja kami, gereja terbesar di Vatikan. Mereka yang jadi donatur utama, penyedia segala hal buat anak-anak yayasan di bawah gereja kami–makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, semuanya."
"Seperti itu dibilang berbahaya? Berbahaya dari mananya?'
Nathan tersenyum kecut, "Aku jadi kangen anak-anak di sana.. Seorim, Luna, Dean, Jihoon.."
"Mereka bukan orang asli Vatikan?"
Nathan menggeleng, "Mereka berasal dari berbagai negara."
Grace manggut-manggut, "Nyata nya kamu sendiri juga berasal dari Korea, ya.."
"Iya. Dan aku juga punya adik," kata Nathan.
"Serious?"
Nathan mengangguk antusias, "Cewek, cantik banget."
"Dia dimana?"
Senyum Nathan perlahan luntur. Dia kembali memeluk lututnya-yang sempat dia lepaskan saat menyinggung adiknya.
"Aku ninggalin dia di Vatikan," jawabnya kemudian.
"Kenapa?"
"Tommy bilang, dia udah gak bisa ditolong."
"Dia sakit?" Tanya Grace. Nathan hanya diam. Sedetik kemudian dia memandang lawan bicaranya nanar.
"Kamu bisa gak nolongin dia?"
'Aku?'
"Balikin dia jadi adikku lagi."
"Wait, but-how? Aku bahkan gak kenal adik mu dan gak tau kondisi dia sekarang."
Nathan menghela nafas, "Gak apa-apa, lupain aja," katanya kemudian.
"Hei.." Grace sedikit menarik bahu Nathan dan dia menatap Grace.
"Aku kangen adikku..." Katanya, bersamaan dengan bulir bening yang tanpa permisi keluar dari matanya.
"Nanti pasti bakal ketemu lagi."
Nathan menggeleng, "Tapi dia gak akan inget aku lagi."
"Kenapa?"
Nathan menurunkan kedua kakinya, lalu menatap Grace.
"Karena Ratu udah bangun."
"Hah?"
"Aku pun juga gitu, kalo Raja bangun, aku pasti akan lupa sama semuanya," Nathan menghela nafas pelan sebelum ia melanjutkan kalimatnya, "Termasuk kamu."
-The Sleeping King-