Pagi.
Grace yang sudah masuk ke area dapur langsung mengeluarkan bahan-bahan makanan dark kulkas. Tidak seperti biasanya, hari ini Grace ingin berbuat baik kepada kedua adiknya, membuatkan mereka sarapan.
Kalau dipikir-pikir, Grace sama sekali belum melaksanakan pesan terakhir ayahnya- kecuali satu, memahari mereka kalau berbuat salah.
Ya memangnya kapan mereka benar? Menyebalkan terus iya.
Ya, mungkin tidak apa-apa sekali-kali melupakan tingkah mereka yang menjengkelkan dan bersikap layaknya seperti seorang kakak.
Ingin tahu sedikit tentang mereka? -Mark dan Peter-
Mark, adik Grace yang tengah, dia mahasiswa kedokteran semester akhir. Belum lulus, tapi dia sudah banyak mendapatkan kepercayaan dari profesornya untuk menangani pasien, khususnya operasi. Karena Mark memang calon ahli bedah.
Dan Henry adalah profesornya. Sedikit menyimpang dari topik awal, tapi Henry bukanlah paman Grace secara harfiah. Dia adalah teman ayah Grace yang sudah menganggap mereka beritga -Grace, Mark dan Peter- seperti anaknya sendiri. Setelah ayah Grace hilang entah kemana.
Yang selalu Henry coba tanamkan dalam benak Grace adalah, ayah Grace meninggal dalam kecelakaan. Sebenarnya Grace tidak percaya. Tapi demi kesehatan jantungnya, Grace memilih untuk menyudahi semua pikiran tidak berdasar yang terus mengganggunya. Apalagi, ini adalah jantung 'pemberian'. Jadi Grace harus lebih berhati-hati agar ia dinilai 'bersyukur'.
Kembali ke topik awal, tentang adik bungsu Grace, Peter. Dia siswa SMA kelas 3. Artinya, tahun depan ia akan masuk universitas. Tapi Grace belum pernah melihatnya giat belajar ataupun mengutarakan keinginannya untukmelanjutkan studi kemana.
Yang Grace tahu, Peter hanya sibuk menghabisakan waktunya dengan Sky. Grace bakan belum pernah melihat seperti apa Sky itu, tapi kelihatannya ia lebih menarik daripada belajar- bagi Peter. Tidak, Peter normal. Hanya saja, kuras waras. Grace tidak tahu.
Apalagi kalau Peter tiba-tiba membicarakan mimpi-mimpinya yang menurut Grace tidak masuk akal. Dia akan memaksa Grace untuk percaya, terus giat sampai Grace mengatakan 'iya'.
Mn, mungkin Grace harus membawa Peter ke psikiater atau psikolog kalau ada waktu senggang.
"Ssk, ssk, sssk..."
Grace menoleh mendengar suara aneh yang berasal dari sampingnya.
Nathan.
Menurut Grace, Nathan memang sangat aneh. Dia menirukan pose Grace yang sedang memotong bawang sambil mengeluarkan suara dari mulutnya.
"Itu apa?" Tanya Nathan.
"Tikus." Jawab Grace asal.
"Heeee????" Nathan mengernyit, "Tikus gak kayak gitu."
Grace mendengus, "Percaya?"
Dia memandang Grace aneh, lalu kembali mengamati bawang yang sedang Grace potong.
"Enggak," jawabnya.
"Kamu gak pernah lihat bawang?" Oke, Grave akui Grace kurang kerjaan karena meladeni Nathan sekarang. Tapi lumayan untuk jadi teman mengobrol. Lagipula, Grace tidak tahan melihat muka bingungnya. Lucu.
Eh, bukan lucu. Apa, ya? Ngg... ya.. oke, lucu. Hahah AA'
Nathan menggeleng sebagai jawaban.
"Ini? Bawang juga?" Tanyanya sambil menunjuk semangkuk kecil cabai merah.
"Bukan. Cabe."
"Gak pernah denger." Nathan menggaruk kepala. Sepertinya dia memang benar-benar bingung
"Kamu hidup di jaman apa sih gak ngerti cabe?" Tidak masuk akal tahu tidak.
"Sekarang jaman apa?" Dia balik tanya.
Sepertinya Grace menyesal mengajaknya bicara. Jadi, mulai detik ini Grace memutuskan untuk diam. Masa bodoh dengan Nathan yang seperti anak kecil tak pernah melihat sayur.
Dasar purba.
"Aku mau bantu," katanya sambil memutar badan, lalu langsung mengambil pisau dari samping rak piring.
"Gak usah, taruh pisaunya!" Grace tidak yakin dia akan membantu. Lagipula, dilihat dari gestur tubuhnya, dia terlihat seperti belum pernah memegang peralatan dapur. Kalau sampai kenapa-napa kan Grace juga yang memjadi kesusah.
"Ini dipotong, kan?" Dia mengabaikan perintah Grace, dan malah mengambil cabai dan langsung diiris.
Grace menghela nafas. Oke, biarkan. Lagipula Mark dan Peter ada di rumah. Kalau terjadi apa-apa, Grace bisa memanggil mereka.
Beberapa menit aku membiarkannya sibuk mengiris cabai—mengiris satu cabai bisa berlangsung semenit karena dia melakukannya dengan penuh pertimbangan. Grace hanya tersenyum. Entahlah, melihat dia sibuk dengan hal kecil seperti itu membuatnya berpikir.. he is precious. Entah mendapat bisikan dari mana, tapi sungguh, ada sesuatu yang membuat Grace ingin melindunginya.
Halah, padahal Grace sendiri menggantungkan hidupnya pada Mark dan Pater. Apa-apaan mau segala melindungi Nathan? Dia juga bukan siapa-siapa.
"Udah!" Dia meletakkan pisaunya lalu menoleh ke arah Garce sambil tersenyum lebar.
"Good," puji Grace, "Langsung cuci ta—"
"Ah, aaaaaahh"
"-ngan.."
"PERIHHHH!"
"Jangan digosokin ke mata!" Grace menarik tangan Nathan yang mengucek matanya sendiri.
Dasar bodoh, kan baru mengirisin cabe, ngapain ngucek-ngucek mata??
"PEDESSS"
"Duuuuhhh." Grace langsung menggiringnya ke wastafel lalu mencuci tangannya dengan sabun, menghilangkan bekas cabai disana.
"Tuh, udah, cuci mata kamu tuh!"
"GAK MAU, TANGAN KU PEDES!"
"Terus gim-"
"MATAKUUUU!"
Kan! Grace bilang juga apa! Pasti malah bikin masalah.
"Sini!" Aku mendorong tengkuk Doyoung ke depan, mendekatkannya ke wastafel. Dengan hati-hati Grace mengusap matanya dengan tangan Grace yang sudah kubasahi dengan air.
"Diem!" Udah ngrepotin, manja lagi! Masih aja merengek padahal juga udah dibasuhi matanya.
"Periiiihhh.." rengek Nathan.
"Makanya, bandel, sih. Udah dibilangin gak usah bantuin masih ngeyel." Omel Grace.
"Cabe tuh dibuat dari apa sih? Mataku perih!" Nathan ikutan mengomel.
"Udah sana!" Grace sedikit mendorongnya.
"Kemana?"
"Kemana kek. Pake nanya."
"Ini mataku masih perih!" Dia menunjuk matanya yang masih terpejam rapat.
"Jalan pake kaki, gak pake mata!"
"Gak bisa lihat!"
"Ck! Matanya dibuka!"
"PERIH!"
Tidak ada pilihan, akhirnya Grace menuntunnya duduk di kursi meja makan.
"Duduk sini, gak usah kemana-mana. Nyusahin aja, dasar!"
Grace meninggalkannya duduk sendirian. Tapi ruang makan Grace jadi satu dengan dapur, jadi Grace masih berada satu ruangan dengannya. Sambil melanjutkan masak, sesekali Grace meliriknya.
Masih menutup mata. Heran. Cowok apa cowok sih? Terkena cabe gitu aja lemah.
"Hatsyi!"
Grace menoleh, Nathan menggosok-gosok hidungnya. Ah iya, bau masakan Grace memang agak tajam, tidak heran kalau dia sampai bersin. Hidung Grace pun sebenarnya sudah geli dari tadi.
"Miss Turtle." Panggilnya.
Grace menoleh. "Apa lagi?"
"Manggil." Dia menekuk bibirnya ke bawah.
"Buka matanya." Jadi dari tadi dia masih menutup matanya. Grace menyuruhnya untuk membuka mata malah semakin dirapatkan.
"Aku boleh panggil kamu 'Grace'?"
Oh iya, dari kemarin-kemarin dia memanggil Grace dengan sebutan 'Miss Turtle'. Grace tidak tahu dari mana asalnya dia mendapatkan nama itu, tapi herannya gadis Yoo itu mau-mau saja dipanggil begitu.
"Ya kan emang nama aku Grace." Sahutnya.
Nathan menarik kedua sudut bibirnya, "Oke."
Perlahan Nathan membuka matanya. Dia menatap Grace lembut, lalu tersenyum.
"Grace."
Apa ini? Dunia Grace mendadak terasa seperti jungkir balik.
Hanya dengan Nathan menyebut namanya.
-The Sleeping King-
Jam 12 siang, waktunya beristirahat setelah setengah hari berkutat dengan kalimat-kalimat memusingkan yang sebenarnya menjadi sumber penghasilan Grace.
Tapi sial, berbeda dengan matanya yang terpejam rapat, otaknya malah dengan aktifnya mengulang kejadian tadi pagi di dapur. Berkali-kali.
"Aku nih kenapa, sih?" Grace meraih remote AC dan menyetelnya hingga 0°C. Kali saja otaknya tak bisa diajak tidur karena kepanasan.
Tapi hasilnya sama saja. Justru Grace memikirkan hal yang lain.
Baju Nathan belum ganti semenjak Grace meminjamkannya sweater model turtle neck milik Mark. Udah berapa hari, ya? Itu dia gak kepanasan make sweater di musim panas begini?
"Hiss!" Grace duduk lalu melempar selimutnya asal.
Oke, daripada Grace tidak bisa tidur, lebih baik Grace melakukan sesuatu.
-The Sleeping King-
"Turun," Kata Grace pada Nathan. Dia tidak merespon, matanya lekat memandang dashboard mobil. Entah apa yang dia pikirkan, tapi Grace merasa kalau dia sedang ke takutan.
"Kenapa?" Tanya Greace.
Dia memandang Grace lama sebelum ia menjawab, "Aku nggak mau keluar."
"Terus, kita mau pulang gitu aja?"
Nathan mengangguk.
Astaga ini baru saja sampai di mall dan dengan seenaknya dia tiba-tiba mengajak pulang? Kenapa tidak menolak tawaran Grace saja kalau tidak ingin ikut?! Buang-buang bensin.
"We're going in."
Tapi Nathan malah meremas seatbelt yang dari tadi dia pegang erat.
"Kamu takut?" Akhirnya Grace bertanya. Dan tebakannya benar, Nathan memberinya sebuah anggukan- yang terkesan ragu-ragu.
"Takut apa?" Tanya Grace lagi. Kali ini dia diam, matanya beralih menatap sekitar. Was-was, itu yang bisa Grace simpulkan saat melihat sikap Nathan saat ini.
"Hey." Grace menepuk pundak Nathan, tapi reaksinya sangat berlebihan. Terkejut, matanya membulat, hampir menangis.
"Ngagetin!" Protesnya, dan Grace jadi tidak bisa membendung tawanya lagi.
Grace mengambil tisu di dashboard mobil dan menghapus airmatanya yang sudah membanjiri pipinya. Maaf, cara tertawa Grace memang aneh. Tapi Grace juga tidak tahu bagaimana mengubahnya.
Grace memeriksa soft lens nya di spion. Oke, aman. Lalu Grace beralih pada Nathan lagi.
"Ayo keluar, kita cari baju yang cocok buat kamu."
"Ini cocok kok," Katanya sambil menarik sweater yang dipakainya dengan dua jari.
"Bau."
"Aku tadi pagi mandi," Sahutnya sambil mencium bau badannya sendiri. "Gak bau," sambungnya.
"Emang kamu mau pake yang ini terus?"
"Mark punya banyak di lemari, aku kemarin lihat."
Mark, dasar gila, sembarangan nunjukan isi lemarinya kepada orang asing.
"Kamu gak kepanasan pake sweater terus?"
Dia mengangguk, tapi langsung menggeleng, "I'm okay, hehehehe.."
"Ck, udah, keluar!" Kata Grace sambil membuka pintu di sampingnya dan keluar dari mobil.
"Cepeeetttt!" Teriak Grace sambil membungkuk dan melihat Nathan yang masih duduk di kursi penumpang depan.
Nathan menggeleng pelan. Bibirnya yang tertekuk ke bawah dan pupilnya yang melebar mengingatkan Grace pada anak kucing di kartun-kartun.
Grace menghela nafas, lalu masuk lagi ke dalam mobil. Baru saja Grace hendak melepaskan seatbelt Nathan, tangannya memegang pergelangan tangan Grace dan menghentikan aktifitas Grace.
"Ayo pulang," katanya lirih. "Aku takut," sambungnya.
Grace merapatkan bibirnya. Takut apa, sih? Ini siang bolong dan di tempat ramai, bukan di pemakaman atau di hutan. Tidak ada yang perlu ditakuti.
"Pulang.." Katanya lagi.
Grace menarik pergelangan tangannya dari Nathan lalu lanjut melepaskan seatbelt yang dia kenakan. Susah payah Grace meraih pintu sebelah Nathan lalu membukanya. Dan dengan sedikit dorongan, akhirnya Grace berhasil membuat Nathan keluar dari mobil.
Sungguh, ini melelahkan, sudah seperti meladeni anak kecil yang seenaknya sendiri minta ini itu.
"Grace," panggilnya.
Grace tidak menjawab panggilannya, hanya menggenggam tangannya dan membawanya langsung masuk ke dalam mall.
"Gapapa ada aku."
-The Sleeping King-