"Itu.. mata Irene," Katanya sambil menunjuk kearah mata Grace yang ia maksud.
"Bukan, bukan.." Sepertinya Grace harus berterimakasih kepada Henry yang menarik Nathan dari hadapan Grace. Grace sudah seperti tidak bisa bernafas karena jarak kami sangat dekat tadi. Bahkan Jackson saja tidak pernah seperti itu.
For you information, Jackson Jung adalah pacar Grace.
"Tapi-"
"Iya, matanya memang unik. Tapi itu bukan punya I-ir... what?"
"Irene."
"Ya, itu, Irene. Tapi mata Grace asli, udah gitu sejak lahir."
Nathan menatap Grace aneh, seketika membuatnya tidak nyaman karena teringat masa-masa sekolahnya dulu.
Sudah hampir empat tahun berlalu, tapi ingatan tentang buruknya perlakuan mereka terhadap Grace masih membekas. Hanya karena Grace agak 'lain' dari mereka, mereka seenaknya mencibir, bahkan melakukan pelecehan fisik.
Grace memang menyandang heterochromia iridium, kedua irisnya berbeda warna. Yang satu hitam kecoklatan, dan yang satu lagi berwarna biru laut.
Beberapa orang memandangnya unik, tapi beberapa yang lain lebih memilih bersikap sarkastik. Bahkan kadang mengaitkan kondisi Grace dengan hal-hal berbau takhayul dan sihir. Dangkal, pemikiran mereka benar-benar tidak berdasar.
Dan demi kenyamanan Grace sendiri, akhirnya dia memutuskan untuk menggunakan soft lens untuk menutupi keunikan Grace yang dia rasa lebih terasa seperti kutukan.
"Ngomong-ngomong, siapa Irene?" Tanya Henry.
Nathan masih menatap Grace lalu menjawab, "Ratu."
-The Sleeping King-
"Kak Grace!"
Pintu kamar Grace terbuka kasar sampai menimbulkan suara berisik. Peter, kebiasaan!
"Kak, masih hidup, kan?" Tanyanya sambil mengusap dahi Grace.
"Masih, ah. Seneng aku mati?" Sarkas Grace.
Dia malah tertawa, "Gak masalah sih-"
"PETER!" Dan dia semakin tertawa. Peter senang melihat Grace yang tengah kesal itu.
"Udah sana keluar! Ganggu orang mau tidur aja!" Grace menarik selimutnya sampai menutupi kepala lalu berbalik memunggungi Peter.
"Yah, kok tidur? Jangan dong~" Peter menggoyang-goyangkan lengan Grace sampai rasanya tulang Grace ingin lepas.
"SHUT THE FUCK UP, YOU STUPID ASS!"
"Ih, kasar. Ada kak Jack, tuh."
Grace langsung membuka selimutnya lalu melihat ke pintu. Dan benar, Jackson berdiri di sana sambil menutupi senyuman geli di wajahnya dengan punggung tangan.
"Malu gak tuh, ahahahaha.."
Grace tidak punya pilihan lain selain menarik rambut Peter.
-The Sleeping King-
"Aaa." Jackson memberikan contoh pada Grace untuk membuka mulut. Iya, dia sedang menyuapi Grace semangkuk bubur. Buatannya sendiri.
"Masih panas," Kata Grace sambil memalingkan muka. Bukan buburnya, tapi pipi Grace, Jackson tidak tahu semerah apa wajah Gcare sekarang.
Pertama, karena Grace keceplosan bicara kasar, kedua karena Jackson memaksa untuk memasakkan bubur dan menyuapi Grace, dan ketiga, karena dia tidak berhenti senyum dari tadi.
Sudah tertular virus gila nya Peter sepertinya.
"Udah gak panas ini."
Grace menoleh sekilas lalu menarik mangkuknya mendekat, "Aku bisa makan sendiri."
"No." Tolaknya sambil menarik mangkuk bubur itu kembali. "Udah, nurut aja. Ayo, mangap. Tayo mau masuk." Katanya sambil melenggak-lenggokkan sendok buburnya di udara
Dan Grace tidak punya pilihan lain selain makan dari suapannya.
Dia tertawa, mengundang Grace untuk ikut tersenyum. Grace bersyukur, Jackson adalah makhluk termanis yang pernah ada di hidup Grace. Semoga Jackson akan terus berada di sisi Grace.
Semoga.
"Oh, iya, cowok di depan tadi siapa, sih?"
Grace hanya menggedikkan bahu sebagai jawaban. Iya, karena pada kenyataannya Grace emang tidak kenal. Ditambah dia yang seperti orwng mengigau, sejujurnya, membuat Grace agak takut.
Dari tadi Nathan tidak berhenti membual tentang Vatikan, raja, ratu-entah aku tidak mengerti. Dan lebih bodohnya, Peter memilih untuk mendengarkan cerita bullshit Nathan daripada mengusirnya.
"Gak tau kok dibiarin masuk?" tanya Jackson lagi.
"Aku bahkan gak tau dia asalnya dari mana." Semua tentang Nathan terlalu tidak masuk akal.
"Hati-hati."
"Hah? Kenapa?"
Jackson menghela nafasnya.
"Kamu masukin orang yang gak kamu kenal ke dalem rumah. Makanya, hati-hati," Ulangnya sambil memasukkan sesendok bubur lagi ke dalam mulutku. Dan Grace cuma mengangguk. Tak usah dibilangin juga tahu.
Drrtt... drrtt... drrttt...
"Bentar." Jackson mengambil ponsel nya lalu mengangkat telepon. "Halo, ada apa, Shar?"
Shar? Sharon?
"Kamu dimana Jack?"
Iya, itu Sharon. Grace sangat mengenal suaranya. Karna di loud speaker, makanya Grace juga bisa dengar.
"Aku lagi di luar, kenapa?"
"Di rumahku!" Jawab Grace dalam hati.
"Jemput aku bisa gak?"
"Hmmm bisa. Dimana?" Jackson melirik Grace sambil tersenyum dan menaik turunkan alisnya.
"Deket Beverly Hills."
"Ngapain kamu di sana?"
"Ketemu klien. Jemput, ya? Aku tunggu. Nanti ada upahnya kok. Ya?"
"Sekarang banget?"
"Iyaaa."
"Oke, tunggu ya. Abis ini langsung berangkat."
"Oke, sip. Love you."
Jackson memutus sambungan teleponnya lalu menyimpan nya lagi. Dia memandang Grace, tersenyum. Raut wajahnya mengesalkan. Ingin Grace cakar saja rasanya.
"Mau jemput Sharon, nih." Katanya.
Grace menarik mangkuk bubur di depannya lalu makan dengan kasar. "Go."
"Gak mau ikut?"
Lalu? Grace harus lihat Jackson mesra-mesraan dengan Sharon itu seperti kemarin-kemarin? Sorry, just take your time.
"I'm fine." Grace mual. Literally mual. Grace tidak begitu suka bubur. Dan sikap Jackson membuatnya semakin asdfghjkl mad.
"Ciyeee marah." Katanya sambil noel-noel dagu Grace.
"Jack, please." Grace memandang Jackson kesal, dan Jackson menghentikan aksinya. Masih tersenyum, dia memangku kepalanya di meja sambil memandang Grace dengan lekat.
"Aku balikan sama Sharon boleh?"
Whaaaaaatttttt?????
Jackson terkekeh. Sepertinya sangat lucu sekali ya membuat Grace menjadi kesal.
"Nikah juga gak papa." Jawab Grace. Grace tidak bercanda. Ini berasal dari dasar hatinya. Grace lebih memilih melepaskan dari pada memintanya bertahan tapi hanya dengan setengah hati.
"Nikahnya mah, sama kamu."
Grace memukul lengan Jackson keras. Kok ngeselin sih?!
Jackson mencubit pipi Grace. "Jangan marah. Aku sama Sharon cuma rekan kerja sekarang."
Tidak ada yang bertanya!
"Berangkat sana. Sampah." Cibir Grace.
Gadis Yoo itu bukan tipe orang yang suka memendam perasaan. Dan Jackson sangat tahu itu. Jadi dia tidak akan marah sekalipun Grace berkata kasar. Yang ada Grace malah ditertawakan oleh Jackson.
"Ya udah, berangkat dulu, ya." Jackson bangkit dari duduknya lalu mengacak rambut Grace pelan.
"Gak usah cemburu gitu. Nanti aku balik lagi ke kamu kok tenang aja."
"Eww!"
Jackson terkekeh. "Take care. Jangan dekat-dekat sama Naral." Lalu beranjak meninggalkan Grace sendirian yang masih memandanginya dari ruang makan.
But, wait. Tadi Jackson bilang apa? Naral? Naral siapa?
-The Sleeping King-
Matahari sudah berganti bulan. Mark dan Peter sudah masuk ke kamar mereka. Oh, ya, mereka satu kamar, karena memang di rumah ini hanya punya dua kamar. Sementara Nathan, Grace tidak tahu dia dimana. Grace baru keluar kamar sekarang setelah berjam-jam bekerja. Yang Grace tahu, rumah sepi. Jackson juga belum kesini lagi, padahal tadi bilang ingin kembali lagi setelah menjemput Sharon.
Oh, ya, Grace adalah seorang editor buku, jadi Grace sangat butuh ketenangan saat bekerja. Dan kamarnya adalah satu-satunya tempat yang paling tenang untuknya.
Tentang alasan mengapa Grace bekerja di kamar-di rumah, dari pada di kantor seperti pegawai lain adalah, karena manajernya cukup baik. Mungkin sangat baik. Dia -manajernya- tahu kondisi kesehatan Grace dan dia mau mengerti.
Kalau saja dia masih lajang, mungkin Grace-ah, lupakan. Grace sudah punya Jackson.
Pintu depan diketuk beberapa kali saat Grace baru saja duduk di ruang tamu. Dan saat ia membukakan pintu...
"Lucas." Sapa Grace. Iya, dia adalah orang yang sedang Grace tunggu. Manajernya.
"Hai." Sapanya balik. Grace hanya mengulas senyum.
"Sendirian? Julia mana?" Tanya Grace sambil mempersilakan Lucas masuk. Biasanya kalau datang ke rumah selalu berdua dengan barbie itu.
"Julia gak ikut, lagi sibuk sama kafenya," Jawabnya sambil menyerahkan amplop coklat besar pada Grace. Calon buku, pekerjaan untuk Grace.
"Aku langsung balik aja, ya?" Pamitnya. "Mau ke Julia."
"Katanya Julia lagi sibuk?"
"Halah, alibi. Kayak gak tau Julia aja." Lucas tersenyum getir.
Sebenarnya, Lucas adalah teman sekolahnya dulu. Julia juga. Dan mereka berdua sudah berpacaran lama, mungkin ada kalau 5 tahunan. Dulu tidak sebegitu dekat. Tapi semenjak Grace menjadi bawahan Lucas, sedikit banyak Grcae tahu keseharian mereka -Lucas dan Julia-. Apalagi, Grace adalah, bisa dibilang, langganan di kafe Julia. Dan Grace sering bertemu dengan Julia, sengaja maupun tidak. Gadis itu lucu. Padahal Grace bukan orang yang enak diajak curhat, tapi Julia bercerita banyak hal, termasuk tentang Lucas.
"Ya udah, hati-hati, ya. Semangat!" Grace mengangkat kepalan tangannya, dan sekali lagi Lucas tersenyum. Lalu setelah itu dia berpamitan dan pergi.
Grace menutup pintu lalu melempar amplop besar pemberian Lucas tadi asal ke sofa. Besok lagi kerjanya, yang satu aja belum selesai.
Grace berjalan ke dapur. Dan disanalah ia melihat Nathan.
Lagi, dia -Nathan- duduk dengan melihat kearah sudut dapur yang dia bilang ada orang bernama Jay di sana.
Shit, hanya mengingatnya saja Grace langsung merinding. Apalagi perkataan Nathan kalau sosok Jay itu menyukainya masih sangat kental teringat.
"Miss Turtle."
Nathan menyadari keberadaan Grace, padahal Grace sudah sebisa mungkin tidak membuat suara sekecil apapun. Bahkan nafas pun ia tahan.
Grace berbalik, menatap Nathan tajam sambil berkacak pinggang.
"Ngapain kamu masih di sini? Aku udah bilang kan, pergi."
Nathan menarik salah satu ujung bibirnya sambil melirik ke atas, tampaknya berpikir.
"Aku butuh tempat tinggal." Jawabnya.
"Terus?"
"Ya aku tinggal di sini." Dia berujar enteng. Sambil tersenyum. Ingin Grace lepas sandalnya dan menamparkannya ke muka Nathan.
"Enak aja tinggal disini. Kenal aja engga." Batin Grace
"Makanya, ayo kenalan." Nathan beranjak dari duduknya lalu menghampiri Grace.
Grace mundur selangkah, Nathan maju lagi selangkah. Terus seperti itu sampai punggung Grace menabrak kulkas.
"Minggir." Ucap Grace. Tapi Nathan malah menggenggam tangan Grace.
"Ayo berteman." Katanya.
"Hah?"
"Berteman." Ulangnya. "Kayak aku temenan sama Jay."
Jay Jay apaan sih? Grace bahkan tidak tahu apakah dia ini hanya membual atau bagaimana. Tapi mengungkit sesuatu yang Grace tidak bisa memastikan sendiri secara terus menerus itu membuatnya kesal.
"Sini, aku kenalin ke Jay." Nathan menarik Grace ke depan lalu berjalan ke belakangnya. Beberapa detik dia menutup mata Grace dengan kedua telapak tangannya. Dan saat Grace membuka mata...
Grace melihat seorang pria duduk di atas meja makan sambil tersenyum. Transparan, hampir tidak terlihat.
Grace tidak tahu apakah ini hanya ilusi atau apa, tapi pria itu berdiri dari tempatnya—tidak, bukan berdiri. Kakinya tidak menapak. Dia mendekati Grace hendak menyentuhnya.
"Aaaah!" Grace berbalik, langsung memeluk apapun yang ia temui.
"Ampun, Jay. Aku sekarang percaya kalau kamu ada. Jangan sakiti aku, aku mohon! Bawa aja Doyoung pergi, jangan aku!" Ucap Grace memohon dalam batinnya.
"Minta Jay bawa aku, tapi aku nya kamu peluk."
Suara itu terdengar begitu dalam. Dan detik itu juga Grace baru sadar kalau kepalanya menempel pada dada Nathan.
"Jauh jauh!" Kata Grace sambil mendorong Nathan.
"Kamu nabrak Jay, tuh."
"Hihihi."
Grace mau lari dari dapur, tapi Nathan. menangkap tangannya dan menarik Grace mendekat.
"Kenapa sih? Kan dia juga makhluk ciptaan Tuhan?"
"Iya, tau! Tapi dia beda! Bukan manusia!" Teriak Grace dalam hati.
Nathan tertawa. Entah, sepertinya dia mendengar isi pikiran Grace dari Jay. Dan saat Grace lirik ke tempat Jay tadi, pria transparan itu terkekeh geli.
"Udah, sini, aku tutup lagi mata kamu."
Nathan menutup mata Grace sebentar, dan saat Grace membuka matanya lagi, Grace sudah tidak melihat Jay. Dalam hati Grace lega, tapi di sisi lain Grace was-was.
Jangan-jangan tadi itu cuma ilusi buatan Nathan? Apa jangan-jangan Nathan ini cenayang? Penyihir? Tukang santet? Maling yang
"Please, berhenti berpikiran jelek tentang aku." Nathan memasang wajah melasnya.
"Aku cuma pengen temenan sama kamu, kayak aku temenan sama Jay."
Grace mendengus. "Aku kasih waktu sampe besok. Hubungi keluarga atau siapapun yang kamu kenal. Terus pergi dari sini."
"Aku gak punya siapa-siapa."
"Terus kamu bisa nyampe sini gimana?
Nathan diam sebentar, tampaknya mengingat-ingat sesuatu. Tapi akhirnya menggeleng. "Tiba-tiba aku udah ada di sana." Katanya sambil nunjuk ke samping, ke belakang rumah Grace.
"Bohong. Mana ada manusia tiba-tiba nongol di halaman rumah orang tanpa tau gimana caranya? Emang dia cacing bisa nembus keluar dari tanah? Atau burung yang tiba-tiba jatuh dari langit?? Gak masuk akal." Pikir Grace
"Semuanya masuk akal, Miss Turtle. Kamu udah lihat sendiri."
"Berhenti baca pikiran ku!"
"Aku gak baca pikiran kamu."
"Suruh Jay berhenti baca pik—"
"Jay gak baca, katanya, 'emang kedengeran'.
"Tapi cuma pikiran kamu yang bisa Brian denger, kedua adik kamu enggak."
"Kok gitu?"
Nathan mengangkat bahu. "Mungkin sihir?"
"Sihir apaan?!" Di Jawab malah melantur.
"Mau ku bukain lagi mata batin kamu? Telinga kamu sekalian, biar kamu bisa ngobrol sama Brian secara langsung."
"Hahhh gak gak!" Gila aja, bisa stres Grace.
"Abisnya kamu gak percaya sama aku." Nathan mendengus, sepertinya kesal pada Grace.
Ya sama, Grace juga kesel sama dia. Udah tiba-tiba muncul, gak mau pergi, ngaco lagi ngomongnya.
"Tolong." Nathan meraih tangan Grace lalu digenggam erat. "Aku gak tau harus minta perlindungan ke siapa. Cuma kamu yang aku harapkan bisa nyembunyiin aku."
Perlindungan apa? Nyembunyiin dari siapa?
"Kalo kamu bilang 'iya', aku janji akan cerita semuanya."
Emang aku mau percaya?
-The Sleeping King-