Pagi ini, seorang gadis bernama Grace Yoo sedang duduk di salah satu kursi yang tersedia di dapur. Sekarang ini gadis itu tengah membaca koran bekas dan ditemani dengan secangkir teh dan biskuit di meja.
Ah, jangan lupakan suara seorang pria yang selalu ceria membawakan acara musik setiap pagi. Johnny, Johnny Son namanya. Hanya mendengar suaranya saja wanita itu dapat menilai sepertinya dia tampan.
Huh, padahal gadis Yoo itu belum pernah bertemu dengan sosok Johnny itu. Tapi dengan mendengarkan suaranya saja... tidak usah dijelaskan, cukup Grace yang tahu. Kalian tidak perlu tahu.
"Kak."
"Hmmm." Gadis itu menoleh mendapati seorang pria berseragam SMA yang masuk ke area dapur lalu duduk di seberang dan memungut roti yang ada di meja makan.
Dia adik bungsunya, satu-satunya keluarga gadis itu selain Mark Yoo. Peter Yoo.
Ah ya, gadis itu kakak tertua dengan dua adik laki-laki yang 'sangat' menjengkelkan sifatnya. Untung Grace sabar, jika tidak, mungkin mereka -Mark dan Peter- sudah habis di tangannya. Tidak tidak, gadis Yoo itu bukan psycho yang sadis seperti di cerita-cerita.
"Aku nanti mau nginep di rumah Brian." katanya sambil mengoleskan selai coklat ke rotinya.
"Mau ngapain emangnya?"
"Nginep."
"Iya udah tau! Maksudnya, ada acara apa sampe nginep segala?"
"Biasa, nobar sepak bola."
"Oh." Cowok sih gitu. Apa-apa bola.
"Tapi seminggu." sambung Peter.
"Heh?!" Sungguh gila, apa tidak meledak tv itu dipakai nonton selama satu minggu?
"Cewek gak perlu tau, tinggal iyain aja apa susahnya." Paksa Peter. Menyebalkan.
"Ikut Brian aja sekalian sana. Minta makan Brian, minta jajan Brian, gak usah pulang ke rumah sekalian."
"Kak Grace maahh..." Peter merengut.
Andalannya kalau Grace marah. Tapi maaf, itu tidak akan mempan. Ingin jungkir balik sampai Zimbabwe juga Gracecia hanya menonton dengan santai saja, gadis itu tidak akan perduli.
"Udah sana berangkat, banyak omong banget." Celetuk Gracecia. Gadis itu sudah bosan setiap hari Peter merengek terus. Bahkan rengekannya macam-macam. Heran.
"Hujan tuh, nggak liat?" Sarkas Peter sambil menunjuk jendela besar yang berada di balik punggung Grace.
"Pake payung lah, jangan pake nyalahin hujan segala." Cibir Grace.
"Udah sana cepet berangkat! Nanti keburu bel pulang kalo nungguin hujan reda."
"Iya, iya..."Peter bangkit dari duduknya lalu beranjak untuk pergi.
"Aku berangkat dulu." Katanya setelah mengacak-acak puncuk rambut Grace dan langsung berlari kabur secepat mungkin keluar rumah sebelum akhirnya Grace mengamuk.
"Peter!! Jangan di acak-acak dong rambutnya." Teriaknya sesaat Peter sudah pergi keluar.
"Hati-hati" Sambung gadis itu kepada sang adik.
Setelah Peter pergi, Grace memutar kursi yang ia duduki ke samping, lalu menengok ke arah jendela besar yang tadi di tunjuk oleh Peter. Padahal cuacanya terang dan cerah, tapi kenapa hujan nya deras sekali.
Grace berjalan kearah jendela dan, "Fuck, jemuran!" Umpat nya sesaat sebelum berlari kearah pintu belakang rumah.
Grace langsung berlari membuka pintu belakang rumah. Belum juga punya suami sudah pikun. Susah payah gadis bermarga Yoo itu menyucikan 3 bak malah terkena hujan gini.
"Sorry I let you get soaked!" Ya begitu gadis itu memperlakukan mereka seperti benda hidup. Eumm, gadis itu hanya menuruti perkataan mendiang ibunya.
'Kalau kamu baik sekalipun sama benda mati, pasti bakal awet.' Begitu katanya.
"Ah OH MY GOD WHAT IS-wahh!" Gadis itu melempari asal jemuran nya, bersamaan dengan itu tubuhnya tumbang kebawah karena terjerat sesuatu.
Tidak, bukan tali ataupun ranting pohon. Tapi, tangan.
"What are you doing? Let me go!" Teriaknya sambil menendang-nendang asal. Grace tidak perduli mau itu terkena wajah orang itu ataupun apa, salahnya sendiri dengan sembarangan memegang kaki orang.
"Dasar mesum!"
Dan benar saja, orang itu langsung melepaskan pegangannya saat gadis itu menendang pipi orang itu. Ia meringis pelan lalu menangkupkan wajahnya ke tanah, yang saat ini agak tergenang air hujan yang masih turun dengan lebatnya.
"H-help..."
"Y-ya?" Gadis itu memasang telinga. Sepertinya tadi orang ini berbicara sesuatu.
"Help me... please..." sambung orang itu, dan langsung mengubah posisinya yang tadinya tengkurap menjadi sedikit miring. Tangannya yang sebelah memegangi bajunya di bagian dada.
"Oh my god!" Lupakan pikiran tentang orang yang mesum- karena tiba-tiba memegang kaki Grace. Yang sekarang membuat gadis itu panik sekarang adalah, orang ini tidak sadarkan diri. Pingsan? Mati? Tidak, Gracecia tidak tahu. Tapi bajunya...
"Kamu gak papa? Hei!" Grace memangku kepala orang itu dan menepuk-nepuk pipinya. Tidak ada respon dari orang itu. Grace kalut dalam ketakutannya. Apa dia benar-benar mati. Disini, di belakang halaman rumahnya.
Yang benar saja mati di rumah ku?! Hanya karna ku tendang? Lagi pula tendangannya hanya terkena pipi, tapi kenapa yang berdarah-darah dadanya?!
Ya kira-kira begitulah pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepala Grace.
Grace melihat ke arah baju bagian dada orang itu. Warna merahnya semakin melebar.
"Oh God. Aku harus menolong orang ini" Ucap Grace pada dirinya sendiri. Tapi...
-The Sleeping King-
"Grace."
Gadis itu menoleh sekitar. Ada suara yang memanggil namanya. Tapi tidak ada wujudnya, atau mungkin Grace yang tidak tahu dimana tempat orang itu.
"Grace. sini."
"Mama?" Hanya itu sosok yang terlintas di benak Grace setelah mengamati suara yang baru saja ia dengar.
"Iya, Grace. Sini, mama disini."
"Dimana?" Grace melangkah ke sembarang arah.
Disini disini, dibilang nggak tahu juga bilang disini terus! Lama-lama gadis itu menjadi kesal. Tapi bodohnya, Grace hanya menuruti kakinya tanpa memikirkan baik-baik tempat apa yang dimaksud 'disini' itu.
Akhirnya setelah berjalan sembarang arah, Grace menemukan seseorang yang memanggil-manggil namanya. Masih tertutup kabut yang lumayan tebal, dari sini gadis itu baru paham kalau ini bukan tempat yang ia kenali. Hutan? Entahlah. Yang ia butuh sekarang adalah bertemu dengan mama.
"Grace." Panggilnya lagi. Sosoknya masih kabur, tapi entah kenapa Grace tahu kalau dia tersenyum padanya.
Tapi tunggu, suaranya berubah. Dia bukan mama.
"Papa?"
"Papa?"
Hah? Ini gimana dipanggil malah ngikutin manggil?
"Halo?"
"Halo?"
Apa sih?
"Hei, serius ya! Jangan main-main!"
"Kekekekekeke.."
Sial, dia malah tertawa, membuat bulu kuduk Grace meremang seketika. Grace berbalik, siap berlari sekencang-kencangnya. Takut, jangan ditanya, masa bodoh mau itu mama atau papa, yang jelas sekarang Gracecia merasa tidak aman.
Tapi belum sempat Grace berlari, kakinya terjerat sesuatu, membuat Grace oleng dan akhirnya jatuh tersungkur di tanah.
"Shit!" Pekik Grace sembari melihat apa yang melilit kakinya. Ia menendang-nendang asal, tapi yang ada Grace malah terseret.
"Lepas!" Teriak Grace. Detik ini juga Grace baru sadar kalau lilitan itu adalah tangan milik seseorang yang, anehnya, Ia seperti pernah lihat. Deja vu? Entahlah, mungkin begitu.
"Help me..."
"Kamu siapa?? Lepasin kaki ku!"
Dia meringis, menampakkan giginya yang lancip lancip tak beraturan. Perlahan wajahnya berubah, keriput dan kehitaman. Melihat perubahan itu, seluruh badan Grace mendadak terasa kebas. Grace hanya bisa pasrah waktu orang itu menyeretnya lebih jauh. Entah Grace akan dibawa kemana, ia tidak tau.
Oke, jadi sampai segini saja umur Grace? Ia mati di sini?
Mark? Peter?
Sial, Grace baru kepikiran untuk meminta tolong saat ia bahkan tidak bisa merasakan apa yang terjadi pada badannya sendiri. Yang ia tahu, cairan merah mulai membanjir di tanah.
Hangat, tapi juga dingin.
Perlahan indra peraba Grace kembali berfungsi. Ia bisa merasakan sakit yang menjalar ke seluruh tubuh.
Sakit sekali, sampai Grace tidak bisa menahan untuk menangis lagi.
"Help me..."
Grace dengan susah payah melayangkan pandangan ku ke orang yang masih menyeret-nyeret kaki Grace ini. Wajahnya berubah lagi, bukan sosok menyeramkan yang tadi membuat Grace mati rasa saking takutnya.
Dia melepaskan kaki gadis itu, berjalan sempoyongan lalu memangku kepala Grace. Grace bisa merasakan tangan dinginnya menggenggam tangan Grace.
"Help me..." katanya lagi.
Grace tidak tahu apa maksudnya. Lagipula yang seharusnya bilang 'help me' itu dirinya. Kenapa dia malah memasang muka melas seperti itu, bukannya merasa bersalah sudah mennyeret-nyeret kaki orang sampai badan ini terasa mau hancur.
Setetes dua tetes air jatuh ke wajah Grace. Sekilas ia bisa melihat, dia menangis. Sialnya, airmatanya masuk ke mata Grace juga! Perih! Ini air matanya campur apaan sih? Lumpur?
-The Sleeping King-