"Sudah lebih baik?"
Itu suara Alde. Ia menyodorkan segelas teh hangat pada Bian yang saat ini duduk di atas kursi. Dengan wajah yang sudah berantakan akibat tangis pria itu menoleh, memperlihatkan manik kelabunya yang sembab dan hidung memerah akibat tangis.
"Maaf, aku menggunakan dapurnya tanpa permisi."
Bian tersenyum lemah, ia mengambil gelas mug yang disodorkan padanya. "Tidak papa."
Alde mendudukkan diri di kursi kosong di samping Bian. Dapat ia dengar dengan jelas suara parau milik pria itu ketika ia menjawab pertanyaannya, berikut dengan isak yang sesekali masih muncul.
Tak ada yang berbicara membuat keheningan kembali menelingkupi mereka. Bian hanya memegang gelas mug ditangannya, memperhatikan bagaimana minuman hangat itu mengepulkan uapnya ke arah wajahnya.
"Apa Bapak mau saya buatkan makan malam?" ucap Alde memecah keheningan.
Bian menggelengkan kepalanya. "Lebih baik kau pulang saja."
"Kenapa?"
Tanpa menoleh Bian kembali berkata, "Ini sudah terlalu larut." ucapnya sambil berjalan pergi meninggalkan Alde.
Bian menaruh gelas di tangannya ke atas meja sebelum melangkah ke kamar mandi. Dengan kucuran air dingin ia mencuci mukanya, menyegarkan matanya yang terasa cukup berat dan tidak nyaman setelah menangis. Ketika ia keluar dan kembali lagi ke ruang tamu Bian dikejutkan dengan Alde yang masih duduk di kursinya.
"Kenapa kau belum pulang?"
Alde menggelengkan kepalanya. "Kalau aku pergi kau akan sendirian."
Bian terdiam. Ia menatap Alde lama sebelum akhirnya kembali berbicara, "Kenapa kau sangat peduli padaku?"
Kenapa? Bukankah sudah sangat jelas,
"Karna aku sudah berjanji pada Nenek." jawab Alde.
Bian menghela nafas. Ia mengambil gelas yang sebelumnya ia taruh di atas meja dan meminum habis isinya sebelum kembali duduk di samping Alde.
"Apa kau tak berpikir jika suatu hari nanti janji itu malah akan menyusahkanmu?"
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Mungkin kau belum menyadarinya saat ini," Bian menolehkan kepalanya ke arah Alde. "Tapi suatu hari nanti kau pasti akan meyesalinya."
"Tidak, aku tidak pernah menyesali keputusanku." tegas Alde dengan sangat yakin.
"Kau yakin?"
Jujur saja, awalnya Alde ragu. Namun setelah meyakinkan kembali dirinya ia segera menganggukkan kepalanya.
Bian tersenyum. Ia mengusak pucuk kepala Alde, mengaca-acak rambut hitam lurusnya, membuat geram sang pemilik.
"Kau mau makan apa?" tanyanya lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana.
"Kau mau pesan makanan?" tanya balik Alde ketika melihat Bian yang sudah membuka aplikasi pesan antar.
Anggukkan kepala Bian lakukan sebagai balasan.
"Dari pada mengeluarkan uang, apa kau mau mencicipi masakanku?"
Salah satu alis Bian terangkat. "Memangnya kau bisa memasak?"
"Ish ish ish lihatlah sifat meremehkan itu, kau akan terpukau setelah merasakannya." ucap Alde dengan penuh percaya diri.
Senyuman kecil terkembang dari mulut Bian, "Kalau begitu aku akan menunggu hasilnya."
Alde mendengus. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur, namun kembali lagi menghampiri Bian. "Eh tapi tidak papa kan kalau aku pakai bahan makanan yang ada di kulkas?" tanyanya memastikan.
"Pakai saja sebanyak yang kau mau."
"Baiklah kalau begitu."
Alde kembali berjalan menuju dapur dan meninggalkan Bian bersama Nenek di ruang tamu.
.
.
.
Selama dua puluh menit Alde berkutat di dapur ia akhirnya menyelesaikan masakannya. Satu piring terakhir dari masakannya ia taruh di atas meja sebelum berjalan kembali ke ruang tamu.
"Pak Bian." panggil Alde.
Yang dipanggil tak menyahut, hanya menatap kosong peti di hadapannya seperti orang yang sudah kehilangan sebagian jiwanya.
Perlahan-lahan Alde berjalan mendekat. Ia berhenti ketika jaraknya dengan Bian hanya tinggal tiga puluh centi dan menepuk lembut kedua pundaknya.
"Pak, ayo makan malam." ajak Alde sambil tersenyum.
Bian mengangguk. Ia membiarkan Alde menggandeng tangannya. Keduanya berjalan menuju meja makan. Bian duduk di depan salah satu sisi meja dan Alde di sebrangnya.
"Karna bahannya ada banyak aku jadi berlebihan membuatnya."
Manik basah kelabu Bian mengerjap beberapa kali ketika ia melihat banyak sekali makanan yang tersaji di hadapannya.
"Kau mau menghabiskan semuanya?" tanya Bian.
"Tentu saja Bapak yang harus memghabiskannya. Aku mana mungkin bisa makan sebanyak ini."
Bian menghela nafas. Ia sudah tidak ada tenaga lagi untuk mengomel. Dengan menggunakan sendok ia mengambil lauk untuk menemani nasi di atas piringnya lalu melahap makanan tersebut.
"Bagaimana?" tanya Alde, gugup.
Untuk beberapa saat Bian hanya diam saja sebelum kembali memyendoki makanan di dalam piringnya ke dalam mulutnya.
"Tidak enak."
Alde mendecih. Ia mulai mengikuti Bian untuk melahap makanan di depannya.
"Kenapa sih kau sangat sulit untuk jujur?" cibirnya.
Bian tak menjawab pertanyaan itu. Ia masih terlalu sibuk untuk mengisi perut yang kosong sejak tadi pagi. Tak sempat mengurus diri sendiri karna chaos yang terjadi.
Alde berhenti menggerakkan sendoknya. Ia kembali menatap Bian. Walau pria di hadapannya ini benar-benar menyebalkan, akan tetapi emosinya menghilang ketika melihat bagaimana lahapnya pria itu memakan makannya. Entah mengapa, Bian terlihat seperti Elio ketika pertama kali memakan makanan buatannya. Dan hal itu membuat kekehan lolos dari mulutnya.
"Kenapa tertawa? Apa yang lucu dari wajahku?" tanya Bian dengan mulut yang masih mengunah.
Cepat-cepat Alde segera menggelengkan kepalanya dan menjawab "Bukan apa-apa." lalu kembali melahap makanannya.
"Besok Nenek akan dikremasi, apa kau mau ikut?"
Alde mengangkat kedua alisnya. "Aku boleh ikut?"
"Aku yakin Nenek ingin kau ikut." jawab Bian.
"Ka- kalau begitu aku akan pulang nanti pagi dan kemba—"
"Tidur saja di kamar tamu." potong Bian. "Dan untuk baju ganti kau bisa gunakan baju Nenek."
"Uh... tapi kan—"
"Tidak usah tapi-tapi. Dengan begini kau tidak perlu capek bolak balik kesana kemari."
Benar apa yang Bian ucapkan. Jarak dari rumah Nenek ke gedung apartemennya cukuplah jauh.
"Kau tidak perlu memgeluarkan ongkos."
Sekali lagi, apa yang Bian katakan benar.
Setelah mempertimbangkannya, berpikir untuk sesaat, Alde akhirnya seruju dengan usul tersebut. Daripada mengeluarkan uang lagi kan ya? Setidaknya uang itu bisa ia tabung untuk biaya hidup esok.
Selesai keduanya makan Bian segera menumpuk semua piring kosong—setelah semua makanan yang ada di atas meja telah ia habiskan—dan membawanya ke bak cuci piring.
"Biar aku yang cuci, kau lebih baik istirahat di kamar tamu yang ada di ujung lorong." tunjuk Bian pada lorong yang dimaksud.
Alde mengangguk paham. Ia segera berjalan untuk mengambil tasnya. Namun, sebelum ia melangkah pergi dari dapur ia berhenti melangkah dan berkata,
"Selamat Malam."
Bian yang sibuk mencuci hanya menggumam sebagai jawaban. Dan setelah mendengarnya Alde segera kembali melanjutkan langkahnya.
Beres mencuci piring Bian kembali melangkah ke ruang tamu. Ia menggeser kursi untuk didekatkan pada peti sang Nenek dan duduk di atasnya. Ia menatap wanita tua yang sudah terlelap untuk selamanya. Dengan tenang tertidur di dalam sana. Seperti sudah tidak ada beban yang tertinggal lagi.
"Kau sudah memprediksi ini semua makanya kau memintanya untuk terus berada di sisiku, memastikan jika aku akan baik-baik saja, kan?"
Bian mengulurkan tangannya untuk mengelus wajah dingin nan kaku itu. Menyentuhnya untuk terakhir kali.
"Kau benar-benar...."
Air mata kembali jatuh membasahi wajah Bian. Dulu, ia sudah berjanji di depan pemakaman kedua orang tuanya, berjanji untuk tidak terlihat lemah lagi. Akan tetapi, untuk saat ini, biarkan ia menangis. Biarkan ia mengeluarkan semua perasaan sedihnya sebelum benar-benar berpisah untuk orang yang paling ia sayangi. Berpisah dengan satu-satunya orang yang paling ia sayangi di dunia ini.