Elio memarkirkan motornya di parkiran terbuka kampus. Setelah mematikan mesin kendaraannya dan melepas helm ia segera berjalan menuju gedung tempatnya belajar hari ini. Awalnya manik obsidiannya menatap biasa lingkungan sekitarnya. Tak ada yang menarik, semua masih sama seperti kemarin. Hingga ketika ia melihat seseorang yang sangat ia kenal turun dari mobil asing dan berbincang akrab dengan sang pemilik, disitulah... Elio merasa panas.
"Nanti kalau aku sudah selesai kelas aku akan— ah!" kalimat Alde terputus. Ia menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat siapa yang telah mencengkram pergelangan tangannya.
"Kalian bersama?" itu Elio. Ia tersenyum ketika menanyakannya.
"A-ah, itu..."
Seperti orang yang tertangkap basah selingkuh, Alde tergagap. Hal itu membuat Elio tanpa sadar semakin mencengkram keras pergelangan kecil Alde.
"Aku bertemu dengannya di tengah jalan, jadi aku memberinya tumpangan."
Tatapan yang sebelumnya terarah pada Alde kini berubah haluan. Sangat tajam, bak sanggup membelah diri pria yang berdiri di samping Alde saat ini juga.
"Aku tidak bertanya padamu, Pak Bian" ucap Elio, masih dengan senyuman yang sama.
"Walau begitu," dengan wajah yang tenang Bian balik mencengkram lengan Elio. "Lepaskan dulu cengkramanmu."
Seperti orang yang baru kembali menerima kesadarannya, Elio segera melepas cengkramannya dari pergelangan Alde. Ia tak sadar jika sedari tadi wanita itu menahan sakit karnanya. "Ka-kau tidak papa?" tanyanya panik.
"Aku tidak papa kok." jawab Alde, walau pun saat ini pergelangan tangannya sudah memerah.
"Tapi—"
"Sudahlah, lebih baik kita segera masuk saja." ajak Alde pada Elio, memotong kalimat Elio. "Kalau begitu kami pamit ya Pak Bian." lanjut Alde lalu menyeret Elio untuk segera pergi dari sana sambil melambaikan tangannya pada Bian.
Dalam perjalanan menuju kelas Elio berjalan di belakang Alde. Ia terus menundukkan kepalanya sambil terus memainkan kedua jari tangannya.
"Alde." serunya ketika sudah mengumpulkan banyak keberanian.
"Ya?" sahut Alde tanpa menoleh.
"Maaf."
Langkah Alde terhenti, ia memutar tubuhnya untuk menatap Elio yang saat ini sudah terkejut karna perbuatanya.
"Kau... sebenarnya apa yang membuatmu kesal?"
Jika ditanya apa yang membuat Elio kesal, Elio pun tidak tau. Yang ia tahu hanyalah rasa panas, terbakar, ketika melihat Alde yang turun dari dalam mobil Bian, berbincang lalu tersenyum pada pria itu.
"Aku... tidak tau..." hanya itu jawaban yang bisa Elio keluarkan dari dalam mulutnya.
Alde menaruh jari telunjuknya di atas dagu, salah satu alisnya sudah terangkat. "Apa kau marah karna aku tidak membuatkanmu bekal untuk hari ini?" tebaknya.
Huh? Bukan! Bukan karna itu! Elio ingin menjawabnya seperti itu, tapi...
"I-iya, aku kesal karna kau tidak membuatkanku bekal untuk hari ini."
"Maafkan aku, hari ini aku traktir saja ya." ucap Alde sambil menempelkan kedua telapak tangannya di depan wajah, membuat pose meminta maaf.
Elio mendengus. "Kali ini saja."
Senyuman cerah muncul di wajah Alde ketika mendengar jawaban itu. Dengan penuh semangat ia menganggukkan kepalanya.
"Tenang saja, aku akan membawamu ke tempat yang enak dengan porsi yang banyak."
Elio tertawa. Ia lalu menggandeng tangan Alde dan mengajaknya kembali melangkah. "Ayo, lebih baik kita segera masuk sebelum terlambat."
Alde yang digandeng hanya diam. Ia terlalu sibuk untuk menundukkan kepalanya dan menyembunyikan rona yang sudah memenuhi wajahnya.
---
"Loh? Pak Bian? Apa pemakaman Nenek Bapak sudah selesai?"
"Sudah Pak, karna suatu hal saya harus mempercepatnya." jawab Bian pada dosen yang satu jurusan yang berpapasan dengannya.
"Saya turut berduka cita ya Pak."
"Terima kasih."
"Kalau ada perlu bantuan apa pun bapak boleh menghubungi saya."
"Terima kasih sekali lagi Pak."
"Saya pamit duluan, saya masih ada kelas untuk diajar."
Bian menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dan dosen tersebut pun segera pergi. Ia lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju kantornya yang sempat tertunda, tidak berpikiran jika akan melihat wajah dari seseorang yang saat ini paling ingin ia hindari tengah berdiri di samping pintu ruang kerjanya.
"Bian..."
"Apa yang kau lakukan di sini Ares?" tanya Bian acuh sambil membuka pintu kantornya yang terkunci.
"Aku ingin kita berbicara."
"Berbicara apa lagi?"
Ketika pintu terbuka Bian segera melangkah masuk, Ares mengikuti di belakangnya. Dan saat pintu tertutup Ares mulai kembali bersuara.
"Kau... kau benar-benar sudah tidak mempedulikanku lagi?"
"Bukankah kau yang pergi sendiri?" balas Bian acuh, lebih memilih untuk segera duduk di atas kursi kerja nya.
"Tapi bukan berarti aku ingin hubungan kita selesai!" sanggah Ares terhadap pertanyaan Bian.
Bian menyangga dagunya dengan tangan kanan yang bertumpu di atas meja, "Lalu, kau mau aku bagaimana?" tanyanya.
"Aku tidak ingin kita putus." jawab Ares penuh harap.
Kekehan lolos dari mulut Bian. "Kalau aku ingin kita putus bagaimana?"
Ares menatap tak percaya Bian. Kedua manik coklatnya sudah berkedip beberapa kali karna terkejut.
"Kenapa kau tiba-tiba seperti ini?" tanyanya.
"Karna aku sudah bosan?"
"Bohong." Ares menggelengkan kepalanya, tak mau mempercayai kalimat Bian.
Bian berdecak. "Aku sudah bosan denganmu Ares. Kenapa kau—"
"Ini semua karna wanita itu, kan?"
"Siapa?" tanya Bian, salah satu alisnya sudah terangkat.
"Wanita yang tadi aku lihat turun dari dalam mobilmu."
Dahi Bian berkerut. "Dia tidak ada urusannya dengan kita."
"Kalau begitu, kenapa aku sering melihatmu bersamanya?" tanya Ares sinis.
Bian terdiam sesaat, "Ada beberapa hal yang membuat kami terus bertemu tanpa sengaja." jawabnya.
Ares menundukkan kepalanya, ia tersenyum miring.
"Gara-gara wanita itu, kau berubah..."
Bian memutar kursinya ke sisi kanannya, lebih memilih untuk menatap langit dari balik jendela kantornya. Ia menyadari jika cuaca terlihat cukup tidak bersahabat sejak pagi, hingga saat ini pun masih sama.
"Aku berubah bukan karna wanita itu..." ucapnya tiba-tiba. "...aku berubah karna aku ingin."
Ares mengigit bibir bagian bawahnya. "Kau... ingin berubah?"
Bian menganggukkan kepalanya. "Dan kebetulan saja dia muncul ke dalam kehidupanku, membuatku semakin membulatkan keputusanku untuk berubah." lanjutnya sambil tersenyum.
Kalian tau, saat ini Ares benar-benar terkejut. Tidak pernah ia menyangkan akan melihat sebuah senyuman terkembang di wajah Bian. Senyuman yang selalu ingin ia lihat dari wajah angkuh itu. Senyuman penuh perasaan yang tak pernah bisa ia munculkan barang sedikit pun.
Emosi yang memenuhi dada perlahan-lahan mulai membuat sesak. Ares mencengkram kencang baju di bagian dadanya, berharap dengan melakukan itu ia bisa mengurangi rasa sakitnya.
"Tapi... aku sangat mencintaimu, Bian." paraunya. Air mata yang sedari tadi ditahan pun akhirnya jatuh.
Bian tak merespon ucapan tersebut. Ia hanya terus menatap keluar jendela tanpa memiliki niatan untuk menoleh sedikit pun.
"Bian—"
"Keluar lah Ares, pembicaraan kita sudah selesai. Kau tidak boleh melewatkan kelasmu." potong pria yang lebih tua, tak ingin melanjutkan pembicaraan ini lagi.
"Tapi—"
"Ares."
Ares terdiam. Tanpa mengatakan apa pun lagi ia akhirnya berlari pergi dari dalam ruangan Bian.
Helaan nafas lolos dari mulut Bian. Ia menyisir rambutnya ke belakang menggunakan tangan lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Kuharap ia tidak melakukan hal yang aneh."