Alde memperhatikan layar ponselnya. Saat ini ia sedang merasa heran. Dari semua pesan yang ia kirim pada Nyla tak ada satu pun yang dibaca. Biasanya wanita itu akan selalu membaca pesannya dengan cepat dan membalasnya, tapi kenapa sekarang tidak seperti itu? Apa sakit kakinya semakin parah? Haruskah ia mengunjungi Nyla di rumahnya?
"Hei, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Huh?"
Teguran itu menyadarkan Alde dari lamunannya. Ia menoleh, kembali menatap pria yang saat ini duduk tepat di sebrangnya.
"Ada apa Elio? Kau tidak suka makanannya?"
Saat ini Alde dan Elio berada di sebuah restoran. Sesuai janji Alde tadi pagi, ia mengajak Elio untuk makan siang di tempat rekomendasinya selesai kelas. Walau restoran ini hanyalah sebuah restoran sederhana tapi tempat ini cukup ramai karna masakannya yang enak. Ini semua dibuktikan dengan ramainya pengunjung yang datang selain mereka.
"Aku duluan yang bertanya, kenapa kau malah balik bertanya?" ucap Elio.
Alde mengedipkan kedua matanya, "Memangnya kau bertanya apa?"
Helaan nafas keluar dari mulut Elio. Alde yang melihat reaksiitu malah semakin dibuat bingung.
"Aku bertanya, kau sedang memikirkan apa?" ucap Elio, mengulangi lagi pertanyaannya.
"Oh, aku hanya sedang memikirkan Nyla. Sudah dua hari dia tidak masuk, aku khawatir jika sakitnya semakin buruk." jawab Alde sembari menaruh ponselnya ke atas meja.
"Mungkin dia sedang istirahat saja."
"Tapi tumben sekali ia tidak membalas pesanku."
Dahi Elio berkerut, "Kenapa kau sangat mengkhawatirkannya?"
Sebuah senyum sendu terkembang di wajah Alde. Kenapa ia mengkhawatirkan wanita itu? Tentu saja jawabanya sudah jelas,
"Karna ia satu-satunya sahabat yang aku punya."
Sambil meminum jus jeruknya Elio menggumam, "Begitu kah?"
Dengan bangga Alde menganggukkan kepalanya.
"Kita sudah berteman dari kecil, maka dari itu aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri." lanjut Alde lagi sambil tersenyum memperlihatkan deretan giginya.
"Tapi apa dia menganggap hal yang sama dengan mu?"
Pertanyaan itu membuat Alde sedikit memiringkan kepalanya.
"Apa maksud pertanyaan mu?"
Elio tak menjawab. Ia kembali menyantap makanannya yang sebelumnya sempat terhenti, seakan-akan tak mau melanjutkan percakapan ini.
"Um... bagaimana dengan makanannya?" tanya Alde, berusaha mengubah topik pembicaraan agar suasana di antara mereka tidak canggung.
"Enak," jawab Elio. "Tapi..."
Kedua alis Alde terangkat. "Kenapa?" tanyanya.
"...aku lebih suka masakan buatanmu."
Tepat setelah Elio mengatakan kalimat itu wajah Alde seketika terasa panas. Alde tak bisa menahannya lagi, ia sudah tak bisa menyembunyikan lagi respon jujur emosinya dari pandangan pria itu. Wajahnya sudah dipenuhi oleh rona merah, bahkan hinga telinga dan lehernya.
"Ka-kau—! " Alde tergagap.
"Jujur saja, makanan yang kau buat itu lebih enak dari pada- huh? kau kenapa? Wajah mu merah sekali, apa kau sakit?" tanya Elio khawatir.
"A-aku tidak papa! Aku ke kamar kecil dulu!" jerit Alde lalu segera buru-buru pergi dari sana, meninggalkan Elio sendirian di meja makan.
Disisi lain, Elio terus memperhatikan Alde. Melihat bagaimana wanita itu terburu-buru pergi tanpa melihat arah hingga tak sengaja menabrak pelayan membuat Elio terkekeh.
"Dia ini benar-benar..."
Namun, senyuman di wajah itu menghilang ketika ia mendengar getaran pada ponsel yang tergeletak di atas meja.
Karna penasaran, tanpa permisi Elio segera mengambil ponsel yang berada di sebrangnya dan membaca pesan masuk yang ternyata dari Nyla.
[Maaf Alde, tapi bisakah kau menjauh dariku?]
Seketika sebuah senyum miring muncul di wajah Elio.
"Ini kah sahabat yang kau banggakan?"
---
Berkali-kali Alde membasuh wajahnya dengan air dingin, berusaha menghilangkan rona merah pada kedua pipinya. Ia tak mengerti kenapa bisa perasaannya keluar tiba-tiba seperti itu? Dan lagi, keluarnya tepat di hadapan Elio.
"Bisa-bisanya aku terkejut dengan kalimat itu."
Tapi... jika mengingat kalimat yang baru saja di ucapkan oleh Elio tadi...
Seketika rona merah kembali muncul di wajah Alde, melihat itu dari balik cermin ia segera menepuk-nepuk pipinya untuk kembali memperbaiki warna wajahnya sebelum kembali menghadapi Elio.
Ketika dirasa sudah siap, Alde segera mengelap wajahnya yang basah dengan tisu toilet dan berjalan keluar.
"Ah! Maafkan aku." ucap Alde ketika bahunya tak sengaja menyenggol seseorang yang berpapasan dengannya.
Pria yang tingginya tak terlalu jauh dari Alde menoleh. Wajahnya terlihat cukup manis, dengan bibir berwarna merah stroberi dan pipi tembam. Akan tetapi kedua manik hijaunya terlihat memerah dan agak bengkak, seperti habis menangis.
"Kau baik-baik saja?" tanya Alde, sedikit khawatir dengan keadaannya.
Pria itu mengerutkan alisnya ketika melihat wajah Alde, dan ketika Alde hendak menyentuhnya pria itu segera melangkah mundur dan menepis tangannya.
"Jangan sentuh aku." nadanya seperti sebuah peringatan.
"Maaf." segera Alde mengurungkan niatnya.
Decakan lolos dari mulut pria itu. Entah mengapa Alde merasa jika pria itu tak menyukai dirinya, dan hal tersebut dengan jelas tak disembunyikan olehnya.
"Ares, apa yang kau lakukan di sana? Makanan mu sudah datang."
Panggilan itu membuat Alde dan pria bernama Ares itu segera menoleh ke arah pria yang tengah melambaikan tangannya tak jauh dari mereka.
"Ya, aku segera ke sana." balas Ares pada temannya yang sudah menunggu, segera berbalik dan tak jadi ke kamar mandi.
"Um, tunggu!"
Dengan memberanikan dirinya Alde menahan bahu Ares. Hal tersebut tentunya membuat Ares menoleh dengan tatapan jengkel.
"Apa mau mu?"
Cepat-cepat Alde segera merogoh saku sweater rajut yang ia kenakan dan mengeluarkan sebuah permen stroberi dari dalamnya dan sebuah sapu tangan berwarna pink lalu memberikannya pada Ares.
"Aku tak tau hal buruk apa yang sudah terjadi padamu hari ini, but cheer up." ucapnya sambil tersenyum lalu berjalan pergi dari sana.
Ares menatap aneh punggung Alde yang menjauh. Ia meremas sapu tangan dan permen yang ada di genggamannya, hendak membuangnya ke dalam tempat sampah, tapi...
"Pantas saja pria itu tertarik padamu." gumam Ares dengan senyum pahit yang terkembang di wajahnya.
Ketika Alde kembali, Elio sudah menghabiskan semua makanannya dan sedang menunggu kehadirannya.
"Sudah selesai makannya?"
Elio menganggukkan kepalanya. "Habis ini kita mau ke mana?" tanyanya.
"Kau tidak ada kelas lagi?"
"Tidak, kelasku hari ini sudah selesai."
"Hmm... kita masih punya waktu hingga aku kerja jam enam nanti."
"Kalau begitu bagaimana kalau kita jalan-jalan di mall saja?" usul Elio.
"Boleh, sekalian aku juga mau membeli beberapa keperluan di sana."
"Yasudah, habiskan dulu makanan mu baru kita pergi ke sana."
Alde menganggukkan kepalanya. Setelah makanan mereka habis keduanya segera beranjak untuk membayar. Dan ketika Alde hendak membayar Elio sudah terlebih dulu mengulurkan kartu nya pada kasir.
"Loh, kan sudah kubilang aku akan mentraktir mu."
"Kau traktir aku eskrim saja nanti di mall."
"Eh? Kenapa begitu?"
"Karna aku ingin eskrim."
"Ya ampun, kau itu sudah besar."
"Loh, memangnya orang yang sudah besar tidak boleh makan eskrim."
"Ya boleh sih."
"Kalau begitu traktir aku eskrim ya."
Alde terkekeh. "Iya baiklah."