Bian memperhatikan layar ponselnya, menatap pop up pesan masuk terakhir yang saat ini ia terima sejak semalam dari satu orang yang sama.
[Pak, biarkan Ares bertemu denganmu, ada yang ingin aku bicarakan.]
Helaan nafas lolos dari mulut Bian. Ia melempar benda elektronik multi fungsi itu ke atas kursi kosong di sampingnya, memijat dahinya yang sudah berdenyut. Ia sudah tak mau lagi mempedulikan getaran yang timbul karna sebuah pesan yang lagi-lagi masuk dari orang yang sama, menambah total dari puluhan pesan sebelumnya. Fokusnya saat ini hanya pada satu orang yang dari semalam tak bisa ia hilangkan dari benaknya, itu saja, hanya dia saja.
"Kau di mana...."
Bian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Ia memejamkan matanya. Sejak semalam ia memarkirkan mobilnya di depan sebuah gedung apartemen, menunggu manik kelabunya menangkap sosok yang ia inginkan lewat di depan mobilnya namun, hingga detik ini, hingga matahari memunculkan dirinya di ufuk timur dan mulai menyinari seluruh dunia di sekitarnya, sosok yang ia inginkan pun tak kunjung muncul.
Rasa kantuk dan lelah sudah menemaninya, namun ia belum ingin menuruti permintaan tubuhnya. Ditemani oleh kaleng kopi—entah sudah yang ke berapa—dengan setia ia duduk, memperhatikan sekelilingnya. Tak ingin melewatkan apa pun barang sedetik saja dari netranya.
"Haruskah aku membuat laporan kehilangan?" tanya Bian pada dirinya sendiri.
Tapi ia masih belum bisa melaporkannya. Polisi baru akan memprosesnya jika memang hilang setelah 24 jam, dan waktu yang sudah berlalu baru 17 jam. Masih ada sisa 3 jam.
Helaan berat lolos dari dalam mulut. Bian melihat ke luar kaca mobil, menatap warna langit yang perlahan berubah. Mata yang terus terbuka semalaman mulai merasakan nyeri ketika tiba-tiba diterpa cahaya. Tidur sebentar mungkin bukan sebuah masalah.
Ketika Bian sudah kembali memejamkan matanya dan mulai membiarkan kesadarannya menghilang perlahan, suara sebuah kendaraan yang datang kembali menyadarkannya. Ia segera membuka matanya. Tiba-tiba saja sebuah sepedah motor melewati mobilnya, memasuki wilayah gedung apartemen dan berhenti tepat di depan pintu masuknya. Dua orang duduk di atas kendaraan itu. Dilihat dari postur tubuhnya satu seorang pria, dan satu lagi...
Cengkraman pada kemudi mengencang, manik kelabu yang sebelumnya masih sedikit tertutup sudah terbuka lebar, terpaku pada satu sosok yang sudah melepaskan helemnya.
Rambut hitam legam segelap langit malam, wajah tirus, dan manik coklat jernih itu...
Karna ingin melihatnya dari dekat dan memastikan Bian buru-buru memutuskan untuk turun dari mobil. Namun, niat itu terhenti ketika ia melihat sang pria yang mengemudikan motor membuka helm yang ia kenakan. Bian melihat wajahnya, dan dia mengenal wajah itu.
Selama dua orang itu berbincang ia hanya bisa diam memperhatikan. Melihat bagaimana wanita itu tersenyum dan tertawa karna pria di hadapannya. Sebuah rasa yang menusuk di bagian dada kiri tiba-tiba saja muncul.
Bian menyalakan mesin mobilnya. Tanpa melirik sedikit pun kepada dua orang yang saat ini masih berbicara ia segera membawa mobilnya pergi dari sana, menjauh, sejauh yang ia bisa.
"Hah, seharusnya aku tau." salah satu sudut bibir Bian tertarik ke atas.
Bahwa bukan hanya dia saja yang sebenarnya memperhatikan Alde.
---
Sambil melangkah keluar dari kamar mandi Alde mengeringkan rambutnya. Ia mendekati nakas tempatnya mengisi daya ponselnya, memperhatikan apakah ada pesan masuk untuknya atau tidak.
[Kau di mana?]
Satu pesan dari Bian. Pesan itu ia terima jam delapan tadi malam.
"Kenapa Pak Bian mencariku?"
Dengan segera Alde membalas pesan tersebut, mengetikkan kata 'maaf' karna baru membalas sepagi ini dan mengatakan jika ia berada di rumah.
Tiba-tiba merasa jika ingin meminum segelas teh hangat, Alde segera berjalan ke dapur. Ia mengambil satu mug setelah merebus air di dalam teko kecil dan mengambil sekantung teh kesukaannya. Ketika sedang menunggu air untuk mendidih, getaran yang menandakan sebuah pesan masuk pada ponselnya terdengar.
Alde segera membukanya, ia melihat sebuah balasan dari Bian lah yang ia dapatkan.
[Baiklah.]
Hanya itu balasan yang ia dapatkan. Kesal? Tentu saja. Mengingat bagaimana ia sudah peduli pada pria itu selama ini dan dibalas dengan perlakuan dingin seperti ini, wah... ia benar-benar tak habis pikir lagi.
"Kenapa kepribadian pria itu sangat menyebalkan?" gumam Alde, kesal.
Sudahlah, daripada ia kesal mengurusi pria itu lebih baik ia melanjutkan pembuatan tehnya, tenggorokkannya sudah terlalu kering untuk marah-marah.
Beres membuat teh, Alde hendak membawa gelasnya menuju kamar, namun sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya.
Cepat-cepat Alde segera menghampiri pintu yang baru saja di ketuk, mengintip ke luar menggunakan eye hole yang ada di pintu dan melihat jika pemilik apartemen lah yang mengetuk pintunya.
"Ya, ada apa Bu Aria?" tanya Alde ketika ia sudah membuka pintunya dan bertatapan dengan Bu Aria.
Bu Aria tersenyum, "Aku hanya mau menagih uang sewa saja."
"Oh, sebentar ya Bu." ucap Alde. Buru-buru ia segera melangkah masuk, menaruh gelas teh di atas meja sebelum menggeledah tasnya dan mengambil amplop putih untuk diberikan pada By Aria. "Ini Bu."
Wanita dengan banyak cincin dan gelang emas itu membuka amplop yang diberikan, melihat isinya dan tersenyum. "Hanya denganmu aku senang menagih sewa, sisanya hanya membuat kepalaku sakit."
Alde hanya bisa tersenyum ketika mendengar hal itu.
"Kalau begitu, aku pergi." ucap Bu Aria yang sudah mendapatkan apa yang ia mau. "Eh tapi aku peringatkan kau satu hal ya, kau jangan pulang bertepatan dengan pria di sebelah rumahmu." ucapnya tiba-tiba sebelum melangkahkan kaki.
Salah satu alis Alde terangkat, "Memang kenapa Bu?"
Pertanyaan itu membuat Bu Aria mengurungkan niatnya untuk pergi dari tempatnya. Ia menoleh kesana kemari memperhatikan sekitar sebelum mulai mendekatkan dirinya pada Alde dan berbisik tepat di samping telinganya, "Istrinya baru saja kabur dan itu membuatnya tidak senang."
Oh, Alde tau siapa istri yang di maksud. Wanita yang waktu itu tak sengaja ia tabrak di tangga. Wanita yang wajahnya penuh akan luka lebam.
"Jadi hati-hati saja. Semoga kau tidak kenapa-napa ya." ucap Bu Aria sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi.
Alde menutup kembali pintu rumahnya, mengunci pintu itu sebelum melangkah menuju kamarnya. Tubuh yang terasa lelah ia baringkan dia atas kasur. Manik coklat jernih menatap langit-langit kamar.
Memori lama tiba-tiba saja muncul, tentang keluarga yang tinggal di samping rumahnya. Dulu, keluarga itu bukanlah keluarga yang hancur seperti sekarang. Awal ia pindah ke sini pasangan suami istri itu adalah pasangan yang terlihat cukup bahagia. Sang istri tengah mengandung anak pertama mereka, dan sang suami bekerja di perusahaan yang cukup ternama. Alde yang pertama kali bertemu pun merasa jika mereka adalah orang baik. Namun, semua berubah ketika rumah tangga itu diterpa badai. Kehilangan anak yang dikandung, kehilangan pekerjaan, dan perselingkuhan.
Senyum miring muncul di wajah Alde. Ia memutar tubuhnya untuk menyamping. Tangan kanannya terangkat. Di sana, di jari kelingkingnya, terdapat sebuah benang merah yang terlilit tanpa ada untaiannya.
"Semua akan sulit, jika memang tidak ditakdirkan untuk bersama."