Chereads / Öde / Chapter 9 - 8

Chapter 9 - 8

"Ayolaaah Aldeee, temani aku pergi ke suatu tempat."

"Tidak."

"Kumohooon."

Alde tak menjawab, lebih memilih untuk memfokuskan seluruh pikiran dan pandangannya pada buku di genggamannya.

"Ish, kau benar-benar..." setelah tak kunjung berhasil membujuk Alde selama dua hari berturut-turut, Nyla akhirnya menyerah.

Ia segera berdiri dari duduknya, menepuk bersih celana jeans yang dikenakan olehnya lalu menoleh ke arah Alde yang masih membaca buku.

"Baiklah kalau kau tidak mau, aku akan mencari teman lain yang mau pergi bersamaku."

Dengan sengaja Nyla mengatakannya. Berusaha menggertak Alde. Namun, Alde yang tak peduli dan tak memberikan reaksi apa pun malah membuatnya kesal.

"Hmph!" dengusnya sebelum akhirnya melangkah pergi.

Alde melirik sosok Nyla yang sudah menjauh darinya, menggelengkan kepalanya ketika menyadari jika sifat sahabatnya tidak pernah berubah sedikit pun.

"Sampai kapan kau mau kenakan seperti itu terus?" gumam Alde.

Saat ini ia sedang berada di lokasi kesuakaannya. Taman kecil yang biasa ia kunjungi untuk menikmati waktunya istirahatnya.

Dengan tenang Alde menikmati waktu kesendiriannya. menikmati buku novel yang sudah sejak minggu kemarin ia anggurkan, sebelum tiba-tiba saja Nyla datang dan mengganggunya.

Alde menghela nafas. Ia menutup buku novel di tangannya. Saat ini kepalanya tak mau bersinkronisasi dengan matanya, membuatnya terpaska menyudahi kegiatan membacanya. Ia menatap ke arah terakhir kali Nyla menghilang, berpikir sesaat sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit dan mulai melangkah.

Dengan wajah yang masam ia memperhatikan sekitar, berusaha mencari sang sahabat yang sudah menghilang entah kemana.

Jujur saja, sebenarnya Alde tak ingin terlibat lagi dengan kekacauan yang dibuat oleh Nyla. Tapi, rasa khawatirnya terlalu besar untuk bisa mengabaikan wanita itu.

Susah payah Alde mencari sosok sahabat yang ternyata belum berjalan jauh darinya. Dengan kelegaan ia mulai berjalan mendekatinya, namun berhenti ketika menyadari sesuatu yang janggal.

"Berhenti! Bukankah sudah kubilang untuk tidak menemuiku lagi?!" Itu suara jeritan Nyla, dan disampingnya terlihat sesosok pria yang cukup familiar di mata Alde.

"Tapi kesepakatan kita belum selesai kan?"

Mendengar kalimat itu membuat kedua alis hitam Alde mengernyit.

"Kesepakatan kita sudah selesai."

"Tidak, belum selesai. Aku belum mendapat apa yang aku inginkan." ucap pria itu sembari menatap tajam Nyla.

Alde yang merasa jika situasi di antara mereka cukup berbahaya segera melangkah maju, hendak memisahkan mereka. Namun, kalimat yang selanjutnya dikatakan oleh sahabatnya membuat langkah Alde terhenti.

"Kesepakatan yang aku terima hanyalah membawa Alde ke tempat itu, bukan memberikannya padamu. Jadi aku sudah tak memiliki hutang apa-apa lagi padamu."

Sekarang Alde ingat sosok dari pria tersebut. Dia adalah orang yang mengajaknya berbicara di dalam klub. Yang berusaha mendekatinya. Lalu... yang jadi permasalahannya adalah, apa maksud dari perkataan Nyla? Kenapa namanya dicampur adukkan dalam kesepakatan mereka? Apa yang sebenarnya sudah terjadi?

"Karna pembicaraan kita sudah selesai, aku pergi." Nyla segera membalikkan tubuhnya untuk menjauh dari hadapan pria itu. Namun, ketika ia hendak mengambil satu langkah maju, tangannya segera ditarik, tubuhnya diseret lalu dihantamkan ke pohon yang berada di belakangnya. Ringisan terdengar jelas lolos dari dalam mulutnya.

"Tidak secepat itu nona." ucap pria itu sembari tersenyum miring. "Karna kau tidak bisa memenuhi keinginanku, maka kau harus membayarnya."

"Tidak! Lepaskan aku, tolong!"

Kali ini Alde tak bisa menahan dirinya lagi. Dengan memberanikan diri ia melangkah mendekati mereka, menarik pria yang saat ini sudah mau melakukan hal yang tidak senonoh pada sahabatnya.

"Sia- oh, ternyata dia sendiri yang datang." ucap pria itu ketika melihat Alde yang sudah mencengkram kencang lengannya.

Alde menatap tajam pria yang lebih tinggi darinya. "Lepaskan temanku."

"Bagaimana kalau aku tidak mau?"

Geraman sudah lolos dari mulut wanita bermanik coklat jernih itu, "Lepaskan dia!"

Dan setelah Alde menjerit, tiba-tiba saja seseorang datang dan menghajar pria itu. Menghantam wajahnya dengan kepalan tangannya. Membuat semua yang berada di sana terkejut.

"Apa-apaan ini!" geram pria yang sudah jatuh tersungkur. Dari sudut bibirnya yang terluka mengalir darah segar.

Dengan segera ia bangkit dan hendak melayangkan protes pada sosok pria yang sudah memukulnya. Namun, ketika ia melihat dengan jelas wajah pria itu, mulutnya kembali tertutup.

"Sial!" rutuknya lalu melangkah pergi begitu saja.

Setelah sumber masalah mereka pergi, Alde segera mendekati Nyla yang sudah jatuh terduduk di atas tanah sejak tadi. "Kau tidak papa?" tanyanya sembari berlari mendekat untuk mengecek keadaan sahabatnya.

Nyla menganggukkan kepalanya. Namun, ketika ia hendak berdiri, entah kenapa tiba-tiba saja kakinya tak bisa digerakkan. Alde yang menyadari itu segera bertanya. "Kenapa Nyla?"

"Kakiku... tidak bisa bergerak..."

Jawaban itu membuat Alde mengingat kejadian seminggu yang lalu. Kejadian yang cukup mirip dengan keadaan mereka saat ini.

Memutuskan untuk menggendong sahabatnya di punggung, Alde segera memutar tubuhnya dan hendak menariknya naik ke atas punggungnya. Namun, belum sempat ia menarik Nyla, pria yang sebelumnya menolong mereka sudah terlebih dahulu mengangkat Nyla dengan kedua tangannya, menggendongnya bak putri.

"Aku antar ke ruang kesehatan." ucapnya sembari membawa Nyla pergi.

Dengan terburu-buru Alde segera mengejarnya. "Tunggu!" dengan susah payah ia berusaha menyamakan langkah besar pria itu dengan langkahnya.

Setelah berjalan selama lima belas menit mereka akhirnya sampai di ruang kesehatan kampus. Pria yang sedang menggendong Nyla segera mendudukkan wanita itu di atas salah satu kasur rawat kosong di dalam ruang kesehatan tersebut, lalu tanpa pamit segera melangkah pergi.

Alde yang sedang menjelaskan kronologinya pada perawat yang bertugas di ruang kesehatan segera menyudahinya dan mengejar pria itu.

"Hei! Tunggu!" ucapnya.

Pria itu menghentikan langkahnya. Menolehkan kepalanya untuk menatap Alde yang sudah berlali kecil ke arahnya.

"Kenapa- kau- sangat terburu-buru?" tanya Alde sembari berusaha menarik nafasnya, "Aku belum mengucapkan terima kasih kan?" lanjutnya setelah bisa mengendalikan dirinya.

Pria itu menatap Alde lalu menjawab, "Kau tidak seharusnya terburu-buru seperti ini. Masih ada waktu untuk kita bertemu lagi kok."

Jawaban ambigu itu membuat Alde mengernyitkan alisnya. Sejak kapan ia mengenal pria ini? Pria tinggi dengan tubuh tegap dan wajah tampan sepertinya? Akan tetapi, Alde merasa jika ia mengenali manik hitam segelap langit malam milik pria itu.

Melihat wajah kebingung Alde pria itu terkekeh. Dengan segera ia mengacak-acak tatanan rapih rambutnya—yang sangat disayangkan oleh Alde—, membuka jas yang ia kenakan, menarik sebuah kaca mata dari dalam saku celananya dan mengenakannya.

"Sudah mengenaliku?"

Saat itu juga kedua manik coklat jernih terbuka selebar yang ia bisa. Bibir ranumnya sudah terbuka lebar, dan setelah nya menjerit. "Ah!" Alde sekarang mengenali pria itu! Pria yang kemarin datang dengan penampilan berantakan! Pria yang ia beritahu jika bajunya terbalik. Ya, pria itu!

Reaksi Alde membuat tawa yang ditahan susah payah akhirnya lolos dari mulut pria itu. "Kau benar-benar tidak mengenaliku?" tanyanya.

"Aku benar-benar tidak mengenalimu! Penampilanmu benar-benar..." Alde sendiri benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi.

Rambut yang ditata rapih, wajah yang bersih, baju jas yang pas ditubuh. Bagaimana ia mau mengenali pria itu jika penampilannya benar-benar berbeda? Dan perbedaannya itu sangatlah drastis sekali!

"Ternyata penampilan bisa sangat menipu." gumam Alde yang didengar oleh pria itu.

Pria itu tertawa, "Bagus untuk menyamar bukan?"

"Sangat!" jawab Alde, seketika membuat pria itu tersenyum.

"Aku tidak bisa lama-lama di sini. Kau tak usah berterima kasih, anggap saja ini balasan karna baju kemarin."

"Tunggu!"

Pria yang sudah membalikkan tubuhnya untuk melangkah pergi itu segera menolehkan kepalanya, kembali menatap Alde tepat di manik mata.

"Namamu, siapa namamu?"

"Elio." jawab pria itu.

Tanpa ragu Alde mengulurkan tangannya, "Namaku Alde. Salam kenal Elio."

Elio yang melihat itu dengan senang hati menjabat tangan mungil yang tergantung dihadapannya. "Salam kenal Alde." jawabnya.

Entah mengapa, ketika Elio menyentuh tangannya, Alde merasakan sesuatu yang ganjil mulai muncul di hatinya. Manik hazel itu menatap lurus ke arah manik obsidian yang juga menatap ke arahnya, saling bertabrakan dan terkunci satu sama lain.

"Elio!"

Panggilan itu membuat sang pemilik nama menolehkan kepalanya, memutus pandangan dari Alde.

Ketika Elio melihat seseorang pria berumur tiga puluh tahun yang berada di ambang pintu keluar gedung dengan ekspresi wajah tak tenang menatapnya ia segera mengingat tujuan awalnya yang terlupakan.

"Ah, aku sudah tak bisa mengulur waktu lagi. Kalau begitu, sampai jumpa lagi Alde."

Sambil tersenyum Alde menganggukkan kepalanya. Jabatan tangan mereka akhirnya terputus dan Elio pun berlari pergi.

"Sampai bertemu lagi." bisik Alde, memperhatikan bagaimana punggung pria itu perlahan mulai menjauh darinya sebelum akhirnya memutuskan untuk membalikkan tubuhnya dan kembali ke dalam ruang kesehatan.

Tanpa disadari olehnya, seutas benang merah yang samar tiba-tiba saja muncul, mengikat di jari kelingking Alde sebelum akhirnya menghilang lagi tanpa jejak.