Alde menutup dua buah kotak bekal yang telah ia isi dengan makanan buatannya, merasa puas dengan hasil kreasinya yang tak kalah jauh dari restoran tempat ia bekerja paruh waktu. Dengan bahan seadanya ia berusaha membuat makanan seenak mungkin, tak ingin mengecewakan Kakek Ios ketika pria paruh baya itu mencicipinya.
"Oh, harus segera pergi!" gumamnya ketika melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh.
Dengan sedikit terburu-buru Alde memasukkan dua bekal yang tadi sudah ia siapkan ke dalam totebag. Tak lupa ia mengambil tas berisikan buku-buku pelajaran dan beberapa benda penting lainnya sebelum berlari menuju pintu keluar.
Setelah mengunci dan memastikan jika pintu benar-benar tertutup rapat, Alde segera melangkah pergi. Rok tutu berwarna pink pucat yang ia gunakan berkibar ketika angin tiba-tiba saja berhembus, menerpa seluruh tubuh mungilnya.
"Apa hari ini akan hujan?"
Alde berhenti melangkah, ia menoleh ke arah langit. Awan gelap sudah berkumpul di atas sana, siap menjatuhkan tangisnya kapan saja.
Menyadari jika ia sudah menghabiskan waktu terlalu lama hanya untuk memperhatikan langit, dengan segera Alde kembali melanjutkan langkahnya. Ketika menuruni tangga, ia tak sengaja menabrak seorang yang menaiki tangga. Beruntung tabrakan itu tidak terlalu keras hingga membuat sebuah kecelakaan. Hanya tubuh Alde saja yang sedikit limbung dan membuatnya harus berpegangan pada dinding.
"Ck!" decihan lolos dari mulut pria yang ditabrak. Wajah memerah karna terlalu banyak mengkonsumsi alkohol menoleh, menatap Alde yang saat ini hanya diam ditempatnya. "Mengganggu." ucapnya acuh sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu rumahnya yang berada tepat di sebelah pintu rumah Alde, meninggalkan Alde yang sedari tadi menahan nafasnya karna takut.
Ketika pria itu sudah jauh dari jarak pandang, dengan segera Alde meloloskan hembusan nafas lega. Ia benar-benar beruntung bertemu pria itu ketika dalam mood yang baik. Jika tidak, mungkin sebuah makian yang membuat seluruh penghuni bangunan apartemen keluar sudah tersebur ke arahnya.
Getaran ponsel yang berada di dalam tas menyadarkan Alde. Sesegera mungkin ia kembali melangkah keluar dari bangunan apartemen sederhana tersebut sembari mengeluarkan ponselnya yang tak kunjung berhenti bergetar.
"Halo?" jawab Alde pada panggilan yang ia terima.
"Aldeee Kau di manaa?" itu suara Nyla, terdengar sangat nyaring dari sebrang panggilan.
"Aku sedang di jalan, kenapa?"
"Kelas Pak Bian sudah mau di mulai, kau di mana!"
Seketika kedua alis Alde mengkerut dalam, "Hah? Apa maksudmu?"
"Aku sudah mengirimkan chat kalau kelas pak Bian dimajukan, apa kau tidak membacanya?"
Buru-buru Alde segera mengecek kembali chat yang dimakusd Nyla. Dan benar saja, wanita itu sudah memberikannya info perihal dosen killernya yang memajukan jadwal pelajarannya menjadi jam sepuluh, tiga puluh menit sebelum Alde terlambat.
"Cepat kau kemari sebelum dia datang!"
"Iya, aku akan segera ke sana." sahut Alde.
Setelah panggilan terputus Alde segera melangkahkan kakinya secepat yang ia bisa menuju halte bus. Dan ketika ia tiba di sana, bus pun juga datang. Dengan sedikit terburu-buru ia menaiki kendaraan yang dapat mengangkut banyak orang itu, duduk di kursi kosong paling depan sambil berharap jika ia tidak akan terlambat.
Getara pada ponselnya lagi membuat Alde segera memperhatikan benda elektronik di tangannya. Nyla kembali mengeriminya pesan, mengatakan jika ia sudah memasuki kelas dan menyiapkan tempat di sampingnya.
Helaan nafas lega ia keluarkan. Jika sudah begini Alde hanya tinggal harus menunggu bus tiba di depan halte kampusnya lalu ia lari sekencang yang ia bisa untuk menuju kelas. Seharusnya seperti itu. Namun, kemacetan yang tiba-tiba saja menghadang bus yang ia tumpangi membuat raut wajah Alde memucat.
"Permisi Pak, di depan ada apa ya? Kenapa macet sekali?" tanya Alde pada supir bus yang berada tak jauh dari kursinya.
"Sepertinya di depan ada kecelakaan Nona, karna itu lalu lintas menjadi padat." jawab sang supir bus membuat jantung Alde berdegup kencang.
"Apa ini akan memakan waktu yang lama?"
"Sepertinya iya."
Oke. Alde segera bangun dari kursinya. Ia membayar tarif bus miliknya sebelum melesat turun dari kendaraan tersebut. Dengan sekuat tenaga ia melangkahkan kakinya sekencang yang ia bisa, menobos kerumunan orang yang memenuhi trotoar jalanan karna memperhatikan korban kecelakaan.
"Permisi, aku mau lewat, permisi." ucap Alde.
Namun, ketika ia hendak meninggalkan kerumunan itu, manik coklat jernihnya tanpa sengaja menangkap sosok yang cukup ia kenali terbaring tak sadarkan diri di atas brankar yang akan di angkat ke dalam ambulance. Seorang nenek yang kemarin berbincang ringan dengannya. Di rambutnya masih tersemat jepit kupu-kupu yang sama dengan yang kemarin Alde lihat.
"Nenek?!" ucapnya spontan.
Semua mata seketika menoleh ke arah Alde. "Nona, kau cucunya?"
Eh?
"Syukurlah kau sudah datang, ayo cepat kau naik ke dalam ambulans nona!"
Beberapa orang yang mengira jika Alde adalah cucu sang nenek segera menarik tubuh Alde dan mendorongnya untuk naik ke dalam ambulance. Tak mempedulikan wajah bingungnya yang terpampang jelas.
"Nona, aku tau kau panik, tapi tenanglah. Nenek anda akan baik-baik saja." ucap salah satu petugas yang berada di samping Alde.
Anggukkan Alde lakukan sebagai jawaban. Ia yang terlalu bingung tak bisa mengatakan apa pun untuk saat ini.
Ponsel yang kembali bergetar membuat pikiran Alde yang saat ini blank teralihkan. Dengan segera ia mengangkat panggilan dari Nyla. "Halo?"
"Kau di mana?" tanya wanita itu dari sisi lain.
"Aku sedang di ambulans."
"Hah? Kenapa bisa?!" taya Nyla lagi, nada kekhawatiran terdengar darinya.
"Aku tidak tau, tiba-tiba saja—" kalimat Alde terputus ketika pintu belakang ambulans terbuka. Ia melihat petugas yang tadi duduk bersebelahan dengannya sudah turun terlebih dahulu untuk menurunkan brankar tempat sang nenek terbaring. "Nanti dulu Nyla, aku akan mengabarimu lagi nanti." ucapnya sebelum akhirnya memutus panggilan sepihak.
Tanpa banyak bicara Alde mengikuti sang nenek yang dibawa masuk ke dalam rumah sakit. Walau pun ia tak tau apa yang telah terjadi, melihat kondisi nenek yang tidak memungkinkan untuk ditinggal sendiri olehnya membuat Alde menyerah akan urusan kampusnya.
"Nona, tolong tunggu saja di luar, urusan di dalam biar kami saja yang mengurusnya." ucap salah satu perawat yang menahan tubuh Alde untuk memasuki ruangan ugd ketika sang nenek di bawa masuk ke dalam sana.
"Oh, iya, baiklah." ucapnya dengan suara pasrah, hanya bisa terdiam di depan pintu ruangan ugd yang sudah tertutup.
Alde menghela nafas. Ia segera berjalan mendekati dinding dan bersandar di sana. Tak tau harus melakukan apa lagi sekarang. Yang bisa ia lakukan hanyalah menung—
"Dimana nenek ku?!" jeritan yang memenuhi seisi ruangan itu itu menarik perhatian Alde. "Dimana dia!!"
Seorang laki-laki tiba-tiba saja datang. Dengan wajah pucat ia berlari ke sana kemari untuk mencari sosok neneknya yang diberitahu berada di dalam ruang ugd. Dasi yang sebelumnya rapi sudah berantakan karna ditarik longgar oleh sang pemilik. Ketika manik kelabunya bertabrakan dengan manik coklat jernih milik Alde, disitulah pria itu mulai berlari cepat untuk mendekatinya.
"Kau!" ucap pria itu sembari memegang kedua lengan Alde ketika mereka saling berhadapan. Wajahnya yang sangat familiar itu cukup dekat hingga Alde bisa merasakan deru nafasnya yang pendek, "Apa kau wanita yang telah mengantar nenek ku kemari?"
Karna takut dengan tatapan tajam pria itu, Alde hanya bisa mencicit "Iya, Pak Bian."
"Lalu, bagaimana keadaannya?"
"A-aku tidak tau, d-dia baru di bawa masuk ke dalam." ucap jujur Alde, terbata-bata karna aura intimidasi yang diberikan oleh Bian.
Pria yang lebih tinggi dari Alde itu melepas genggamannya. Ia mengusak rambut rapihnya, menghel nafas sebelum akhirnya menjongkokkan tubuhnya. Melihat bagaimana pria yang selalu penuh dengan wibawa dan tegas terhadap mahasiswanya di dalam kelas itu terpuruk seperti ini membuat Alde merasa simpatik Ia segera mendekatinya. Dengan lembut mengelus punggungnya, berusaha mengurangi kekhawatiran pria itu.
"Aku yakin dia akan baik-baik saja."
Bian menoleh, menatap Alde yang saat ini sudah berjongkok juga di sampingnya. "Bagaimana kau bisa tau kalau dia akan baik-baik saja?"
Sebuah senyuman muncul di wajah Alde. "Karna dia masih ingin melihat cucunya bertemu dengan orang yang tepat."
Raut bingung muncul di wajah Bian. Pria berumur dua puluh delapan tahun itu menatap aneh Alde. "Kau—"
"Apa kalian wali dari nenek yang berada di dalam ugd?" ucap salah seorang perawat yang tiba-tiba saja datang dan memotong percakapan mereka.
Dengan segera Bian bangkit dan mendekati sang perawat. Sesaat, mereka sepertinya membincangkan sesuatu yang cukup serius, sebelum akhirnya keduanya melangkah pergi. "Ah, kau," langkahnya terhenti ketika masih mengingat kehadiran Alde. "Tolong tunggu nenek ku di sini, aku akan mengurus bagian administrasi dulu." lanjutnya sebelum menyusul perawat yang sudah berjalan jauh darinya dan meninggalkan Ade.
"Tapi pak—"
Bian tak mendengar suara Alde. Ia sudah berjalan terlalu jauh dan menghilang di balik dinding rumah sakit, meninggalkan Alde yang hanya bisa menghela nafas pasrah.