"Terima kasih telah mengantarku sampai tempat kerja."
Alde melompat turun dari bangku belakang sepedah Elio. Saat ini mereka sudah sampai di depan restoran yang menjadi tempat kerja paruh waktu Alde. Restoran yang cukup ramai dan sering di datangi oleh pelanggan di sekitarnya.
Sebenarnya Alde tak ingin merepotkan Elio seperti ini. Jauh-jauh pria itu menggoes sepedanya dari taman tempat mereka makan bersama hingga akhirnya tiba di tempat kerjanya saat ini. Akan tetapi, walau pun sudah ditolak berkali-kali, dengan kekeras kepalaannya pria itu bersikukuh ingin mengantarnya. Memaksa Alde untuk menaiki sepedanya dan duduk diam di belakangnya.
"Kau akan bekerja di restoran ini sampai jam berapa?" tanya Elio.
"Biasanya sih sampai jam dua belas malam."
Kedua alis Elio terangkat. "Itu terlalu malam untuk wanita sepertimu pulang sendirian."
"Tidak papa, aku sudah terbiasa kok." jawab Alde santai.
Elio membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu namun, entah mengapa ia mengurungkannya.
"Setelah ini kau mau pulang?" kali ini Alde yang bertanya. Dan pertanyaan itu dijawab anggukkan oleh Elio. "Kalau begitu tunggu sebentar di sini!" titah Alde sebelum tiba-tiba berlari masuk ke dalam restoran, meninggalkan Elio sendirian di luar.
Beberapa menit Elio menunggu hingga akhirnya Alde kembali memunculkan sosoknya. Dengan segera ia menghampirinya sambil membawa sebotol minuman dingin di tangannya. "Ini untukmu." Alde menyodorkan botol minuman dingin tersebut pada Elio. "Sebagai ucapan terima kasih karna sudah repot-repot mengantarku ke sini." lanjutnya.
Dengan senyuman lebar yang terkembang di wajahnya Elio menerima minuman tersebut. "Terima kasih, kau tau saja kalau aku haus." ucapnya senang, lalu tanpa menunggu lebih lama lagi ia segera meneguk setengah isi dari botol tersebut.
Melihat bagaimana Elio meneguk cepat minuman tersebut membuat Alde tersenyum. Ia bersyukur karna telah mengikuti intuisinya. Setidaknya minuman yang ia berikan bisa meringankan sedikit rasa lelah Elio kan?
Merasa jika sudah tak ada apa pun lagi yang harus di katakan, Alde memutuskan untuk pamit. "Kalau begitu, aku duluan ya." Dan ketika Alde sudah membalikkan tubuhnya untuk melangkah pergi tiba-tiba saja Eliobmenggenggam lengannya, menahannya untuk tak pergi.
"Tunggu!"
Alde menoleh, "Ada apa Elio?" tanyanya bingung.
Elio merogoh tasnya. Ia mengeluarkan sebuah pena lalu segera menarik tangan Alde untuk menuliskan sesuatu di telapak tangannya.
Ketika menyadari apa yang ditulis oleh Elio kedua alis Alde terangkat, "Loh, ini..."
"Hubungi aku jika ada apa-apa." ucap Elio setelah selesai menuliskan nomor ponselnya di telapak tangan Alde.
Melihat bagaimana deretan nomor itu tertulis berantakan di telapak tangannya membuat kekehan tiba-tiba saja lolos dari mulut Alde. "Kau bisa memintaku menyimpannya di ponsel kan?"
Ekspresi wajah Elio yang baru menyadari jika ia bisa melakukan hal itu membuat kekehan Alde berubah menjadi tawa. Baru pertama kali ia menemukan pria seperti ini dalam hidup dua puluh tahunnya. Benar-benar orang yang sangat langka.
"Aku akan menyimpan nomornya dengan baik." ucap Alde ketika tawanya mereda. "Kalau begitu aku masuk dulu ya. Hati-hati pulangnya." pamit Alde sekali lagi. Untuk kali ini Elio tidak menahannya. Pria itu sudah melambaikan tangannya yang juga dibalas oleh Alde sembari berjalan pergi.
Setelah melihat sosok Alde menghilang di balik pintu belakang restoran Elio memutuskan untuk segera menancapkan sepedahnya pergi dari sana. Kaca mata yang sedari tadi ia gunakan segera dilepas, memperlihatkan jelas manik gelap segelap langit malam saat ini. Raut wajah yang sebelumnya penuh senyuman sudah menghilang, digantikan dengan wajah datar dan mata yang dingin. Sepedah yang ia kendarai ia belokkan masuk ke dalam sebuah gang sepi dan gelap. Dengan tenang ia terus menggoseh sepedanya menuju sisi lain gang, tidak merasa khawatir jika seseorang akan menyergapnya tiba-tiba dari balik kegelapan. Dan ketika manik hitamnya menangkap sebuah mobil hitam mewah yang terparkirkan di sisi luar gang yang lain, Elio segera menghentikan sepedahnya.
"Anda sudah datang tuan?" seorang pria berjas hitam dengan terburu-buru keluar dari dalam mobil. Ia segera mengambil alih sepedah dan tas Elio, lalu mempersilahkan sang tuan untuk segera masuk ke dalam mobil.
Setelah mendudukkan dirinya dengan nyaman di bangku belakang Elio segera memberi perintah pada sang supir, "Pulang." hanya satu kalimat itu saja yang keluar dari dalam mulutnya dan dengan segera sang supir menurutinya.
Helaan nafas lolos dari mulut Elio. Memikirkan kejadian dimana ia menuliskan nomornya di atas telapak tangan Alde dan bukannya meminta wanita itu untuk memasukkan nomornya pada ponsel benar-benar membuat Elio terkekeh. Baru kali ini ia melakukan hal bodoh, dan lagi di hadapan seorang wanita. Elio mengusak gemas surai hitamnya. Berusaha menyembunyikan rona di kedua pipinya.
"Benar-benar..."
---
Dari jam lima hingga jam dua belas tengah malam Alde bekerja. Ia melayani pelanggan, membersihkan tiap meja yang kotor atau sudah selesai digunakan oleh pelanggan, mengembalikan piring kotor ke dapur, mengepel lantai yang kotor, bahkan ia pun tak menolak jika harus membersihkan toilet sekali pun. Semua itu ia lakukan demi mengejar target bayaran bulan ini.
"Alde, bisa kau bantu aku melayani tamu yang baru datang?" ucap salah seorang pegawai restoran yang sibuk memebrikan kertas pesanan pada bagian dapur. Memang, jam jam makan malam seperti ini selalu membuat mereka para pekerja kewalahan menerima pelanggan yang terus berdatangan tanpa henti.
Alde yang kebetulan saat ini baru selesai mengeluarkan bahan makanan dari kulkas segera berlari melesat menuju bagian para pelanggan berada. "Iya, akan segera kulakukan!" jawabnya senang.
Dengan segera ia menghampiri seorang pria yang saat ini duduk sendirian di depan mejanya. Pria itu terlihat sangat fokus melihat menu yang berada di hadapannya sampai-sampai Alde tak bisa melihat wajahnya karna tertutup oleh menu.
"Permisi Tuan, ada yang bisa saya—"
Kalimat Alde terhenti ketika manik coklatnya bertabrakan dengan manik kelabu milik pria itu.
"Loh, kau, kenapa kau bisa di sini?" tanya pria itu ketika melihat sosok Alde berada di sampingnya.
"Aku bekerja di sini Pak Bian. Nah sekarang, anda mau memesan apa Pak?" tanya Alde, sebisa mungkin ia melayani pria di hadapannya dengan baik.
Ya, yang saat ini menjadi pelanggan yang dilayani oleh Alde memang benar Bian. Lagipulan, siapa lagi orang yang memiliki manik kelabu langka sepertinya? Di seluruh kampus, bahkan di seluruh kota sekali pun Alde ragu jika ada orang lain selain Bian yang memiliki manik bak permata seperti ini.
Bian menatap Alde dengan jeli, meneliti sosoknya sesaat sebelum akhirnya kembali memandang menu di hadapannya. "Apa yang bisa kau rekomendasikan dari semua makanan ini?"
"Semuanya enak kok, tingal Bapak sukanya makanan apa?"
"Hmm..." Bian berpikir sesaat. Ia membolak balikkan tiap lembar menu yang ada di tangannya sebelum akhirnya menunjuk ke suatu makanan. "Aku mau ini."
Kedua alis Alde terangkat. Memang, jika kau punya banyak uang kau bisa membeli apa pun yang kau mau walau pun harganya mahal. "Baik, lalu apa kau menambahkan sesuatu lagi?" tanya Alde setelah menulis makanan yang Bian tunjuk.
"Aku juga mau ini, ini, ini, dan... ini juga."
Alde mengedipkan matanya beberapa kali. Ia menatap Bian seakan-akan menatap sesuatu yang aneh.
"Kenapa tidak di tulis?" tanya Bian ketika menyadari tangan Alde tak bergerak sama sekali.
"O-oh! Iya, akan segera ku catat." cepat-cepat Alde mencatat pesanan-pesanan yang ditunjuk oleh Bian. "Lalu, ada lagi yang lain?"
"Tidak, itu saja." ucapnya lalu menutup menu dan memberikannya pada Alde. "Tolong bungkus semuanya dan pisahkan satu menu pada plastik yang berbeda."
"Makanan yang mana yang mau anda pisah?"
"Mana saja, terserah kau. Sekarang cepat selesaikan pesananku."
"Baik, Pak!" ujar Alde yang segera berlari ke dapur untuk mengirimkan pesanan Bian pada koki.
Selesai melayani Bian, degan segera Alde melakukan pekerjaan yang lain. Ia tak memiliki waktu untuk bersantai. Masih banyak pelanggan yang harus di layani dan meja yang dibersihkan olehnya. Saking sibuknya Alde, ia sampai tak menyadari tatapan Bian yang selalu mengikuti gerak geriknya. Kemana Alde bergerak mata pria itu pasti selalu mengekorinya.
"Pesanan untuk meja 20!" seru seseorang yang bekerja di dapur pada orang mereka yang sedang melayani di luar.
Alde yang mendengar seruan itu menoleh. Itu adalah pesanan milik Bian. Tanpa berhenti menekan tombol pada mesin kasir ia berkata pada teman satu pekerjaannya yang baru selesai mengantai piring kotor ke dapur, "Tia, bisa kau layanin meja 20?"
Tia menganggukkan kepalanya. Dengan segera ia mengambil bungkusan berisi makanan milik Bian dan dengan segera mengantarkannya. Alde yang sudah terlalu sibuk tak sempat memikirkan hal lain. Saat ini ia hanya mau memfokuskan diri untuk bekerja. Melayani pelanggan dan membereskan semua pekerjaannya yang tersisa. Hingga tak terasa jika waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
Ketika jam kerjanya sudah selesai, Alde mengistirahatkan tubuhnya yang lelah di ruang karyawan. Ia duduk di atas salah satu bangku kosong yang ada di dalam ruangan tersebut sambil memijat lengannya yang pegal.
"Alde." panggil seorang karyawan wanita yang memunculkan kepalanya dari balik pintu. Karyawan yang sama dengan karyawan yang Alde minta bantuan untuk menggantikannya melayani Bian.
"Ada apa Tia?"
Tia berjalan masuk. Di tangannya terdapat sebuah keresek dengan merek restoran yang sama dengan restoran tempat ia bekerja saat ini. Dengan segera Tia memberikan keresek tersebut padanya. "Ini."
Alde yang bingung memiringkan sedikit kepalanya. "Apa ini?"
"Makanan."
Kekehan lolos dari mulut Alde, "Aku tau Tia. Maksudku, siapa yang memberikannya?"
"Pria di meja 20 yang memberikannya. Ia bilang ini untukmu." jawabnya.
'Pak Bian memberikan ini?'
Alde menerima keresek yang berisikan dua box makanan itu. Ia melihat jika terdapat secarik kertas yang tertinggal di dalamnya.
Terima Kasih
—Bian
Hanya itu yang tertulis. Senyuman muncul di wajah Alde.
"Ternyata dia punya sisi yang manis juga."