Elio mengangkat kedua alisnya.
"Huh?"
Menyadari apa yang baru saja ia katakan memiliki dua arti yang berbeda cepat-cepat Alde segera menggelengkan kepalanya. "A-aku tidak ada maksud lain. Aku hanya ingin berterima kasih padamu karna sudah mengantarku sampai rumah dengan keadaan... hangat." bisiknya di akhir kata, menyembunyikan raut malu yang sudah tercetak jelas di wajahnya.
Entah ekspresi Elio saat ini seperti apa, Alde tak bisa melihatnya karna terhalang helem full face miliknya. Namun, jawaban yang keluar dari mulut pria itu setelahnya membuat senyuman di wajah Alde terkembang seketika.
"Aku parkirkan dulu motorku, kau tunggu di depan pintu masuk apartemen."
Alde menganggukkan kepalanya. Dengan segera ia berlari kecil menuju pintu masuk apartemen dan menunggu Elio sesuai instruksi. Tak lama, pria jangkung pengguna kaca mata tebal itu akhirnya datang dan mengajak Alde untuk segera masuk.
"Di mana rumah mu?"
"Di lantai tiga." jawab Alde. "Maaf ya, karna tak ada lift jadi kau harus capek menaiki tangga."
"Kenapa kau yang harus meminta maaf? Seharusnya yang berkata seperti itu adalah sang pemilik gedung." sanggah Elio.
Tawa lepas lolos dari mulut Alde. "Aku takkan mampu membayar biayanya jika pemilik gedung mulai menginstall lift di gedung ini." ucapnya setengah bercanda dan setengah serius.
Tapi ketika Elio mendengarnya ia tak bisa tertawa seperti Alde. Pria itu hanya tersenyum dalam diam sambil menatap Alde yang tak sadar jika sedang di tatap.
"Kita sudah sampai."
Mereka berhenti tepat di depan pintu paling ujung di lantai tersebut. Alde merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah kunci miliknya yang terdapat gantungan kelinci berwarna pink dan mulai memasukkan kunci tersebut kedalam lubang kunci pada pintu di hadapannya. Ketika dua kali bunyi 'klik' terdengar cukup jelas, Alde pun akhirnya mulai membuka pintu rumahnya yang sudah tak terkunci dan berjalan masuk.
"Silahkan masuk."
Alde melepas alas kaki miliknya dan menaruhnya di dekat rak sepatu. Di belakang Elio mengikuti sebelum akhirnya menyusul Alde yang sudah berdiri di depan sofa untuk menaruh baran-barangnya di sana dan melepas jaket Elio yang ia kenakan untuk dikembalikan pada sang pemilik.
Apartemen ini bukanlah apartemen luas. Dari pintu masuk setelah melalui lorong pendek terdapat sebuah ruangan utama yang multi fungsi sebagai ruang tamu dan ruang keluarga berukuran empat kali tiga yang menyatu dengan dapur, satu pintu menuju kamar mandi, satu lagi pintu menuju kamar tidur, dan terakhir balkon yang dialihkan menjadi tempat untuk menjemur pakaian oleh Alde.
"Kau duduk dulu, biar aku membuatkan teh untuk menghangatkan dirimu." ucap Alde lalu melangkah untuk memanaskan air di dalam teko dan mempersiapkan dua gelas mug berisikan teh celup untuk Alde dan juga Elio.
Elio menurutinya. Ia menduduki sisi sofa yang masih kosong dan tak dipenuhi oleh barang-barang Alde. Manik obsidiannya bergerak kesana kemari untuk meneliti seisi ruangan tempatnya berada saat ini.
Tidak terdapat banyaknya interior membuat ruang tempatnya berada saat ini terasa cukup Luas. Hanya sebuah bufet tv yang tentu saja terdapat sebuah tv sederhana di atasnya, sofa yang saat ini di duduki oleh Elio, dan sebuah coffe table sederhana dihadapannya. Membuatnya berpikir jika rumah ini terasa cukup nyaman untuk ditinggali seorang diri.
Membicarakan perihal tinggal sendirian membuat Elio mengingat satu pertanyaan yang sedari tadi melekat erat di pikirannya.
"Apa kau tinggal terpisah dengan orang tuamu?"
Pertanyaan itu membuat Alde terkejut. Tangannya yang tengah menuang air mendidih dari dalam teko panas sedikit bergoyang dan tumpahannya tanpa sengaja mengenai tangan kirinya yang berada tepat di samping mug. Membuat kulit yang sebelumnya putih berubah merah seketika.
"Ah!" jeritan kecil lolos dari mulut Alde tanpa sadar.
"Kenapa?"
"Bu- bukan apa-apa." jawab Alde cepat.
Elio yang khawatir segera bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Alde. "Tanganmu kenapa?" tanyanya ketika melihat Alde segera menyembunyikannya.
"Tidak papa, hanya sedikit tersiram air panas saja." ucapnya sesantai mungkin agar tidak membuat Elio khawatir.
"Astaga!" mendengar itu, cepat-cepat Elio segera menarik tangan yang disembunyikan. Ia benar-benar terkejut ketika melihat jika hampir setengah dari kulit tangan Alde sudah berubah memerah karna terbakar. "Kenapa tidak kau dinginkan dengan segera?!"
Belum sempat Alde memberi respon Elio sudah terlebih dahulu menarik paksa tangannya. Ia membawa Alde mendekati bak cuci, membuka keran air untuk mendinginkan kulit yang tebakar.
"Kau punya salep untuk luka bakar?"
Alde menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu tunggu dulu sebentar. Biarkan tanganmu di bawah pancuran air ini selama aku pergi." titah Elio sembari melangkah menjauh.
"Kau mau ke mana?" tanya Alde namun, tak sempat didengar oleh sang pemilik nama karna sudah terlebih dahulu melesat pergi.
Alde menghela nafasnya. Ia benar-benar telah membuat sebuah drama tak penting yang merepotkan orang lain seperti ini. "Dasar Alde bodoh. Tak sharusnya kau terguncang hanya karna pertanyaan itu kan?" ucapnya memarahi diri sendir.
Setelah mematikan keran air Alde segera mengelap tangannya yang basah dengan lap kering. Ia cukup berhati-hati ketika mengelap tangan yang terbakar karna gesekan kasar sedikit pun bisa membuatnya merasakan perih yang teramat sangat. Dan ketika ia hendak berjalan untuk mengambil pasta gigi di kamar mandi, Elio sudah kembali dengan nafas yang terengah-engah sambil memegang sebuah plastik putih bertuliskan salah satu logo apotik di tangannya.
"Apa masih sakit?" tanyanya sambil berjalan menghampiri Alde untuk melihat luka di tangannya.
"Tidak terlalu." jawabnya. Tapi memang itu yang ia rasakan saat ini.
Elio kembali menarik Alde, tapi kali ini lebih lembut. Ia mengajak Alde untuk duduk di atas sofa, lalu mengeluarkan seluruh isi kantung kresek yang bertuliskan logo apotik tersebut ke atas coffe table. Sebuah salep luka bakar, kain kasa dan beberapa ice gel pack.
"Seharusnya kau tidak usah repot-repot seperti ini. Hanya dengan pasta gigi—"
"Kulitmu malah bisa iritasi jika kau melakukan itu dan bahkan terkena infeksi." potong Elio yang sudah mulai mengoleskan salep pereda luka bakar ke tangan Alde.
"Tapi aku biasa menggunakan—"
"Sst sudah diam," potong Elio lagi. "Biarkan aku mengobati lukamu dengan tenang."
Alde memanyunkan bibirnya. Tangan kecilnya saat ini digenggam dengan erat oleh tangan besar milik Elio. Dari jarak sedekat ini ia dapat melihat dengan jelas seberapa fokusnya pria itu mengoleskan salep ke seluruh kulit yang memerah, memastikan jika tak ada bagian yang tertinggal sedikit pun.
Entah ini hanya halusinasi Alde saja atau bukan. Perlahan-lahan sebuah desiran hangat mulai memenuhi hatinya. Semakin lama semakin kencang hingga akhirnya desiran tersebut berubah menjadi debaran yang sanggup membuat Alde merasakan panas di seluruh wajahnya.
"Apa yang aku lakukan saat ini hanya pencegahan sementara. Jika besok masih terasa sakit walau sudah di beri salep dan dikompres coba datang ke rumah sakit untuk diperik—" kalimat Elio terhenti. Salah satu Alisnya terangkat ketika ia melihat setengah bagian wajah Alde, dari hidung sampai dahi sudah tertutup oleh ice gel pack yang Elio beli. "Kau kenapa?"
"Apanya?" tanya balik Alde sambil berusaha bersikap tenang dan menutupi perasaannya yang sudah tercetak jelas pada wajahnya saat ini.
Elio menatap aneh Alde. "Bukan apa-apa." balasnya. "Kalau begitu aku pamit pulang." lanjutnya sambil segera bangkit dari duduknya.
Alde yang mendengar itu cepat-cepat segera melempar ice gel peck yang menutupi wajahnya. Ia melihat Elio yang saat ini sudah berdiri dari duduknya dan melangkah pergi. "Loh, aku belum menghidangkan tehnya." ucapnya sambil mengikuti Elio menuju pintu keluar.
"Setelah kekacauan ini kau masih mau menyediakan teh untukku, hm?" tanya Elio yang hanya dijawab senyuman jenaka milik Alde.
"Hehe maaf ya merepotkanmu malam-malam begini." ucapnya. "Kalau begitu aku berjanji, jika kau kemari lagi aku akan menyediakan teh yang terbaik untukmu." lanjutnya sambil menaikkan jari kelingkingnya ke hadapan wajah Elio.
Elio pun tersenyum. Ia menganggukkan kepalanya dan mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingkin mungil milik Alde. "Aku tunggu teh terbaik milikmu."
Alde pun menganggukkan kepalanya.
"Segera kunci pintu rumah setelah aku pergi ya. Sampai jumpa besok." Elio melepas kaitan jari kelingkingnya dan mulai berjalan pergi. Sebelum ia menuruti tangga ia membalikkan tubuhnya untuk melambaikan tangannya pada Alde.
Alde yang melihat itu segera membalas lamabaian tangan Elio dengan senang. "Hati-hati di jalan." ucapnya yang hanya dibalas acungan jempol tinggi olehnya.
Setelah manik coklatnya tak lagi melihat sosok Elio, dengan segera Alde membalikkan tubuhnya untuk masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu. Tak lupa ia pun menguncinya sebelum berjalan menuju sofa dan mendudukkan dirinya di atasnya. Tak sengaja ia melihat salep luka bakar yang tergeletak di atas meja pendek di hadapannya dan mengambilnya. Mengamati benda tersebut sebelum akhirnya tersenyum dengan rona merah yang tanpa sadar sudah muncul dan menghiasi wajahnya.
"Dia benar-benar orang yang sangat baik."