Ketika semua mata kuliah di hari ini sudah selesai, Alde berencana mengajak Nyla untuk pulang bersama dengannya. Membantunya untuk kabur dari Bian. Hampir setengah jam ia berdiri di depan kelas Nyla, menunggunya keluar. Dan ketika manik coklat jernihnya menangkap sosok sahabatnya yang akhirnya melangkah keluar dari dalam kelas, ia pun segera memanggilnya.
"Nyla!"
Dengan berlari kecil Alde menghampiri wanita yang telah berhenti melangkah dan menoleh ke arahnya.
"Ayo pulang bersamaku." ajak Alde, berharap jika wanita itu akan menganggukkan kepalanya. Namun...
"Maaf Alde, aku sudah ada janji, lain kali saja ya?"
Jujur saja, Alde kecewa ketika mendengar kalimat itu. Tapi, ia tak ingin memaksakan kehendak.
"Oh, begitu kah? Baiklah." jawab Alde sambil tersenyum.
Di tengah-tengah itu, tiba-tiba saja sebuah suara yang sangat Alde kenali terdengar. "Nyla kenapa kau diam saja? Ayo kita pergi."
Sang pemilik nama menoleh ke arah asal suara, "Iya, tunggu sebentar, Cisilia."
Kedua manik mata Alde membola ketika mendengar nama yang baru saja Nyla sebutkan. Ia melirik ke arah Cisilia yang saat ini menatapnya dengan senyuman lebar.
"Sudah dulu ya, Cisilia sudah memanggil."
Tanpa bisa membalas, Alde memperhatikan punggung Nyla yang menjauh. Ia menatap sahabatnya yang saat ini tengah berbincang ria dengan wanita yang kemarin baru saja menghinanya di depan umum. Keduanya terlihat sangat dekat, sangat akrab...
Alde menggigit bibir bawahnya. Ia segera membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi dari sana. Dengan terburu-buru ia melangkah, tak mempedulikan sekitarnya dan menundukkan kepalanya hingga tanpa sengaja menabrak sesuatu yang keras di tengah jalan.
"Kau tidak papa?"
Suara ini.
Alde segera mengangkat kepalanya yang tertunduk hanya untuk mendapati Bian yang saat ini sudah berdiri di hadapannya. Pria yang paling ingin ia hindari malah muncul di hadapannya.
"Aku tidak papa kok Pak." jawab Alde, berusaha menyembunyikan perasaannya saat ini.
Salah satu alis Bian terangkat. Tiba-tiba saa, tanpa permisi ia menggenggam lengan kanan Alde dan menariknya pergi.
"Tunggu dulu Pak, kau mau mebawaku ke mana?"
"Makan."
"Ta-tapi—"
Saat ini, hampir seluruh mata yang berada di lorong kampus tertuju pada Alde. Ia paham. Saat ini mereka penasaran. Jarang sekali Bian berlaku seperti ini di lingkungan kampus. Berinteraksi dengan murid saja ia jarang, apa lagi menggenggam tangannya. Alde yang tak suka menjadi pusat perhatian mulai merasa tak nyaman dengan perhatian itu.
"Pak, lepaskan tanganku."
"Tidak." jawab tegas Bian.
"Ta-tapi Pak."
Tanpa mau berhenti melangkah atau pun melepaskan genggamannya, Bian terus berjalan. Ketika mereka keluar dari gedung semakin banyak mata yang tearah padanya. Alde semakin merasa tak nyaman. Sebisa mungkin ia menundukkan kepalanya dan menyembunyikan wajahnya dengan poni.
"Cepat masuk." titah Bian ketika mereka sudah tiba di depan mobil Bian.
Cepat-cepat Alde segera memasuki mobil Bian. Setidaknya, di dalam mobil ia bisa merasa sedikit lega karna cukup tertutup.
"Sabukmu." ucap Bian.
"Ya?" tanya Alde tak paham.
Tiba-tiba saja Bian bergerak mendekat ke arah Alde. Alde yang terkejut tanpa sadar sudah berhenti bernafas. Saat ini jarak wajah Alde dan Bian hanya tinggal sejengkal. Hidung mereka pun hampir bersentuhan satu sama lain. Ketika pria itu mengulurkan tangannya Alde menutup kedua matanya, berpikir jika pria itu akan melakukan sesuatu padanya.
"Jangan pernah lupa untuk memakai sabukmu ketika menaiki mobil."
Huh?
Alde membuka kedua maniknya. Bian sudah kembali duduk di atas kursinya dan menyalakan mesin mobil.
"Ada apa?" tanyanya ketika melihat wajah bingung Alde.
"Ti-tidak! Bukan apa-apa!" seru Alde, panik. Wajahnya sudah memerah karna malu.
Ia pikir Bian akan melakukan sesuatu yang tidak senonoh padanya. Tapi ternyata itu hanya pemikirannya saja.
"Kita mau ke mana?" tanya Alde setelah ia bisa mempebaiki kembali ekspresi dan menghilangkan rona di wajahnya.
"Makan." jawab singkat Bian.
Alde sebenarnya kesal dengan jawaban itu, tapi ia masih bisa menahannya. "Iya aku tahu, tapi kita mau makan ke mana?"
"Sudah kau tidak usah banyak tanya."
Alde melirik sebal Bian. Ia berpikir, kenapa tuhan bisa menciptakan pria seperti ini? Apa tuhan tidak salah membuat manusia? Orang menyebalkan seperti ini kenapa bisa-bisanya diciptakan?
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah hotel yang cukup mewah. Alde mengerjapkan matanya ketika melihat gedung tinggi yang sepertinya akan mereka masuki sebentar lagi.
"Ayo turun." ajak Bian.
"Kau yakin mau makan di sini?" tanya Alde.
Bian yang sudah turun dari mobilnya menaikkan salah satu alisnya. "Memang kenapa?"
Alde yang juga sudah turun dari dalam mobil segera menghampiri pria itu dan berbisik tepat di samping telinganya, "Di sini kan mahal!"
"Lalu?"
Alde menatap bingung Bian, dan Bian pun menatap bingung Alde.
"Kau yakin mau mentraktirku di tempat semahal ini?" tanya Alde lagi, berusaha mengeluarkan logika dari dalam kepala pria yang lebih tua darinya itu.
"Makanannya enak, bukankah wajar jika mahal?"
Bukan itu yang Alde maksud.
Ketika keduanya menjajakkan kaki di dalam hotel, seorang pelayan menghampiri mereka.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu Tuan?" tanya pelayan pria itu dengan senyuman ramah di wajahnya.
"Aku mau makan, siapkan meja untukku dan dia." jawab Bian santai.
Pelayan pria itu menganggukkan kepalanya. "Silahkan ikuti saya tuan."
Bian mengikuti pelayan itu. Alde yang bingung hanya bisa mengintil di belakang mereka. Untuk tiba di restoran hotel itu mereka harus menggunakan lift karna restoran itu berada di lantai paling atas.
"Kau yakin, mau makan di sini?" lagi, Alde mempertanyakan hal itu pada Bian.
Bian menghela nafas. "Iya, aku mau makan di sini." jawabnya.
"Tapi aku—"
Pintu lift yang terbuka membuat kalimat Alde terputus.
"Silahkan Tuan, Nona." ucap pelayan yang sudah terlebih dahulu turun dan menahan pintu lift dengan tangannya, mempersilahkan mereka untuk turun dari lift.
Buru-buru Alde segera turun, diikuti Bian di belakangnya. Dituntun oleh sang pelayan, mereka pun akhirnya tiba di restoran. Keduanya diantar menuju meja yang berada di sebelah jendela, membuat Alde bisa menyadari seberapa tingginya mereka saat ini.
"Kau mau makan apa?" tanya Bian yang sudah membuka-buka buku menu di hadapannya. Menyadarkan Alde dari lamunannya.
Buru-buru Alde mengambil menu yang tersedia di depannya. Yang bisa ia lihat dari menu itu hanya makanan makanan dengan bahasa asing yang belum pernah ia cicipi sebelumnya.
"Um... kau mau makan apa Pak?" tanya balik Alde.
"Aku pesan wagyu sirloin, pasta, dan chicken salad." ucap Bian pada pelayan yang sudah menunggu pesanan mereka. "Kau mau apa, Alde?"
"Aku sama saja." jawab Alde.
Sang pelayan menganggukkan kepalanya mengerti. Ia mengambil menu dari tangan Bian dan Alde sebelum pergi untuk menyampaikan pesanan mereka pada koki di dapur.
Alde menoleh ke jendela di sampingnya. Ia melihat hiruk pikuk kota dari tempatnya berada.
"Mungkin, kalau kita melihatnya saat malam hari akan terlihat indah."
Bian menatap sosok Alde yang berada di hadapannya. "Mau kemari lagi saat malam hari?"
"Eh?"
"Kubilang, kau mau kuajak kemari lagi ketika malam hari?" tanya Bian lagi pada Alde yang saat ini sudah menatapnya.
Alde sebenarnya cukup ingin melihat suasana malam kota dari atas sini. Namun, mengingat jika tempat ini sangat mahal membuatnya memutuskan untuk menahan keinginannya.
"Tidak." jawabnya.
"Kenapa?"
"Aku tak mau menghabiskan uangmu hanya untuk malihat pemandangan malam kota dari atas sini."
Jawaban itu membuat Bian terkekeh. "Kau pikir uangku sedikit?"
"Aku kan hanya tidak ingin membebani ekonomi mu saja." balas Alde dengan bibir yang mengerucut ke depan.
Bian menopang dagunya di atas telapak tangan, "Pertama kalinya aku bertemu orang sepertimu."
"Tentu saja," Alde tersenyum sambil memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Aku ini orang yang cukup langka kau tahu."
Ditengah-tengah pembicaraan itu, sebuah cahaya matahari yang menembus jendela menyinari Alde, membuat sosoknya terlihat berkilauan. Manik kelabu Bian yang menangkap kejadian itu terpaku, tak bisa lepas walau barang sedetik pun.
Apakah seorang manusia bisa terlihat menawan seperti ini?
Tanpa sadar Bian mengulurkan tangannya. Ia hendak menyentuh wajah Alde jika saja sebuah suara tidak mengejutkannya.
"Permisi, pesanan Anda." ucap pelayan yang tiba-tiba datang membawakan pesanan Bian dan Alde.
Bian yang tersadar dari lamunannya segera menarik mundur tangannya dan membuang muka. Ia berdeham lalu berkata, "Silahkan makan duluan, aku mau ke kamar mandi."
Dengan terburu-buru tanpa menoleh sekalipun ia segera bangkit dari kurisinya dan berlari menuju kamar mandi. Bian menyalakan salah satu keran washtafel yang berada di dalam sana dan mencuci wajahnya dengan air dingin. Mau ia lakukan berapa kali pun, rasa panas pada wajahnya tak kunjug menghilang. Malahan, semakin ia mengingat sosok Alde semakin panas wajah dan tubuhnya di rasa. Pertama kalinya Bian di buat seperti ini dan...
"Pertama kalinya aku merasakan sesuatu yang seperti ini."