Jam tangan yang Alde kenakan menunjukkan jika saat ini sudah pukul dua siang. Karna kelas Bian tak ada ia jadi tidak memiliki urusan lagi di kampus. Karna Elio masih ada kelas, mau tak mau ia harus berpisah dengan Elio setelah mereka menghabiskan makan siang mereka. Padahal sebenarnya ia masih ingin menghabiskan waktu dengannya.
Bis yang ditunggu sedari tadi akhirnya datang. Dengan segera Alde menaikinya dan duduk pada salah satu bangku yang kosong. Ia melihat jika saat ini awan mendung sudah menutupi matahari. Entah mengapa ia merasa jika suasana pada hari ini cukup sepi. Apa karna Bian tidak ada makanya ia merasa seperti itu?
Menempuh dua puluh menit perjalanan menggunakan bus, Alde akhirnya turun di salah satu halte. Tepat ketika ia menjajakan kaki di atas tanah, disaat itu pula hujan turun. Beruntung, ia membawa payung kuning lipat miliknya, membuatnya tak usah khawatir dengan air yang perlahan-lahan membasahi sekitarnya.
Bermodalkan aplikasi peta pada ponselnya Alde mulai melangkahkan kakinya sesuai dengan jalur yang ditunjukkan. Seharusnya sekarang ia sudah tidak tersesat lagi. Seharusnya.
Manik coklat jernih menolehkan kepalanya kesana kemari dan tersenyum ketika melihat rumah yang menjadi patokannya. Dengan senyuman lebar terkembang di wajahnya Alde segera berlari mendekati rumah tersebut dengan membawa harapan jika ia mungkin bisa bertemu dengan sang pemilik. Namun, langkahnya tiba-tiba saja berhenti ketika melihat banyak sekali kenadaraan yang terparkir di rumahnya.
"Apa di rumah Nenek sedang ada acara keluarga?" gumamnya. "Lebih baik aku kunjungi setelah pulang dari rumah Kakek Ios saja."
Tanpa menoleh Alde melanjutkan perjalanannya. Ia kembali memperhatikan penunjuk jalan pada ponselnya. Seharusnya, tak jauh dari sini adalah rumah Kakek Ios. Tapi kenapa, ketika ia tiba, ia hanya melihat sebuah tanah kosong? Tanah kosong yang sama seperti beberapa hari yang lalu.
Alde menggaruk bingung kepalanya. Seharusnya saat ini ia berhadapan dengan rumah Kakek Ios. Tapi kenapa tidak ada?
Ketika manik coklat jernihnya menangkap seorang wanita yang dikira berumur tiga puluhan keluar dari rumahnya untuk membuang sampah, cepat-cepat Alde segera menghampirinya.
"Permisi Bu, saya ingin bertanya."
Ibu itu mengernyitkan dahinya. "Mau bertanya apa? Kau siapa?" tanyanya ketus.
"Maaf sebelumnya jika saya mengganggu Ibu. Saya Alde, Saya—"
"Cepatlah, hujan sudah turun semakin deras!" potong sang Ibu, kesal karna merasa jika perkataan Alde malah bertele-tele.
Setelah menelas perasaannya, Alde kembali melanjutkan perkatannya. "Saya mau bertanya dengan rumah yang sebelumnya berada di rumah Ibu. Rumah itu kemana ya? Kenapa sekarang hanya tanah kosong?"
"Oh rumah itu? Sudah diratakan dengan tanah?"
Huh?
"Entah itu empat hari atau seminggu yang lalu, Kakek yang tinggal di sana jatuh sakit. Orang-orang yang sepertinya keluarga dari kakek itu datang dan membawanya pergi. Lalu di malam yang sama sebuah bulldozer datang dan meratakan rumah kakek itu." lanjut sang Ibu.
Seketika kedua bola mata Alde terbelalak. Tak percaya dengan apa yang saja baru ia dengar.
"Sudah ah, lebih baik kau segera pulang, hujan sudah semakin deras." ucap Ibu itu sebelum berbalik masuk ke dalam rumahnya.
Alde terdiam di tempatnya. Masih berusaha mencerna informasi yang baru saja ia dapatkan.
Apa yang dia maksud dengan diratakan? Kakek Ios sakit? Dan ia dibawa pergi?
Bersamaan dengan itu kilatan petir menyambar dan suaranya bergemuruh dengan kencang hingga sanggup menggetarkan kaca jendela di setiap rumah yang ada. Mereka yang dengarnya sudah terlonjak kaget, kecuali Alde yang saat ini menatap kosong jalan di hadapannya.
Perlahan ia mulai membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi. Dibawah guyuran hujan deras itu Alde melangkah pelan. Ia bingung. Harus kemana ia mencari kakek Ios?
Tunggu.
Sambil terus melangkah Alde merogoh tasnya. Ia mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Itu kartu nama milik Kakek Ios. Disana tertera nama, alamat rumahnya dan sebuah nomor. Cepat-cepat Alde segera mengetikkan nomor tersebut di ponselnya dan menghubunginya. Sekali dering, dua kali, hingga suara operator tiba-tiba saja terdengar.
'Nomor yang anda tuju tidak dap—'
Alde mematikan panggilannya. Sekali lagi ia mencoba, namun sama, panggilannya teralihkan pada operator.
Alde menghentikan langkahnya. Ponsel yang sebelumnya tertempel di samping telingnya turun. Seharusnya, ketika ia pulang setelah mengantar Nenek ke rumah sakit ia segera kemari, seharusnya ketika ia pulang dari taman hiburan dan Elio tidak bisa mengantarnya ia segera kemari sendirian, seharusnya, seharusnya...
"Kalau kalian datang hanya untuk menanyakan warisan sebaiknya kalian tidak usah datang!!"
Jeritan itu membuat kepala Alde tertoleh. Ia melihat jika saat ini ia sudah berada disamping rumah Nenek. Tanpa sadar sudah melangkahkan kakinya ke sini.
"Jika kalian kemari bukan untuk bertemu dengan Nenek, lebih baik kalian tidak usah pulang!"
Suara itu...
Alde mendekati rumah Nenek. Ia membuka pintu pagar dan melangkah masuk tanpa permisi. Di sekitaran rumah Nenek terdapat banyak sekali karangan bunga dan itu membuat perasaan Alde tak enak.
"Jika di hari kematian Nenek kalian malah hanya menanyakan warisan lebih baik kalian tidak usah datang sama sekali!"
Apa... yang dia maksud dengan itu? Siapa... yang meninggal?
Tak mempedulikan sopan santun lagi Alde segera menerobos masuk. Dan ketika ia masuk ia benar-benar terkejut saat melihat sebuah peti yang berada di tengah ruang tamu.
"Siapa kau!" bentak salah satu dari banyaknya orang yang berada di dalam rumah itu. Seketika semua perhatian tertuju pada Alde.
Alde yang sudah tak peduli segera mendekati peti tersebut. Dan tak bisa kalian bayangkan betapa syoknya ia saat ini. Di sana, di dalam peti itu, tubuh Nenek terbaring. Ia terlihat seperti sedang tertidur, dan tidak memiliki niatan utuk membuka matanya lagi.
"Ne-Nenek...?"
Manik coklat jernih itu sudah digenangin oleh air mata.
"Ke-kenapa... kau..."
"Siapa wanita ini? Cepat usir dia!"
Bersamaan dengan itu, salah seorang pria paruh baya mendekati Alde dan menarik kasar tangannya, berusaha melemparnya keluar rumah. Namun,
"Lepaskan dia!"
Bian mendorong tubuh pamannya dan menarik Alde kedalam pelukannya.
"Jangan berani-beraninya kau menyentuhnya lagi." sebuah geraman sudah terdengar lolos dari dalam mulutnya, membuat sang paman mendecih dan berjalan mundur dengan wajah jengkel.
Alde menatap Bian. Ia menatap wajahnya yang saat ini terlihat sangat berantakan. Mata yang sembab, rambut yang acak-acakan. Sangat berbeda dengan sosok yang biasanya selalu tampil rapih.
"Lebih baik kalian semua pergi." ucap Bian pada semua yang berada di sana.
Namun karna tak ada yang bergerak dari tempatnya emosi Bian kembali tersulut.
"Kubilang pergi!!" bentaknya.
Akhirnya, satu per satu semua mulai melangkah keluar dari dalam rumah. Menyisakan Alde dan Bian berdua saja di sana.
Ketika semua pergi, tiba-tiba saja Bian jatuh terduduk. Alde yang melihat itu panik.
"Pak! Bapak baik-baik saja?!"
Bian tak menjawab. Ia tak sanggup. Air mata sudah mengalir jatuh dari wajahnya. Dan sudah jelas, jika saat ini Bian tidak baik-baik saja.
Alde menggigit bibir bawahnya. Melihat Bian yang hancur seperti ini menyakiti hatinya. Pria yang biasanya selalu penuh akan harga diri itu sudah tidak ada, digantikan dengan sosok seorang cucu yang menangis karna kehilangan neneknya.
Perlahan Alde mulai mendekati Bian. Ia merentangkan kedua tangannya dan memeluk pria itu. Membiarkannya menangis didalam pelukannya.