Chereads / Öde / Chapter 25 - 24

Chapter 25 - 24

"Terima kasih untuk makan sorenya."

Bian yang saat ini tengah sibuk menyupir menolehkan kepalanya ke samping, "Lain kali kau yang mentraktirku ya."

Alde tersenyum, "Tentu," jawabnya. "Kalau Bapak tidak punya uang, atau Bapak sedang sedih, Bapak bisa datang kepadaku dan menagihnya." lanjutnya.

"Kalau begitu, aku tidak akan ragu-ragu ketika memintanya."

Alde menganggukkan kepalanya. "Tapi jangan di tempat mahal seperti tadi ya, aku tidak memiliki uang sebanyakmu."

Bian tersenyum.

Saat ini mereka berada dalam perjalan menuju rumah sakit. Setelah puas mengisi perut dengan makanan enak kedunya memutuskan untuk mengunjungi Nenek yang masih dirawat di rumah sakit. Awalnya hanya Bian saja yang mau pergi ke sana. Tapi, ketika Alde mendengarnya dengan penuh paksa ia ingin ikut.

"Sudah lama aku tidak mengunjungi Nenek." itu yang ia ucapkan ketika Bian menanyakan alsannya.

Selama perjalanan Alde memilih untuk memperhatikan jalan dari balik kaca jendela. Banyak sekali manusia yang berkegiatan walau langit sudah menguning. Ada yang baru pulang kerja, ada yang baru mau berangkat kerja, dan masih banyak lagi.

"Kau tidak ada pekerjaan hari ini?" tanya Bian memecah keheningan di antara mereka.

Alde menggelengkan kepalanya. "Karna tidak ada, makanya aku bisa mengunjungi Nenek."

Bian menganggukkan kepalanya.

"Aku ingin bertanya."

"Apa itu?" respon Alde, kali ini ia menoleh untuk menatap Bian.

"Apa kau tidak punya teman?"

Salah satu alis Alde terangkat, "Punya."

"Siapa? Wanita berambut brunette itu?"

Alde menganggukkan kepalanya.

"Kau yakin berteman dengannya"

"Memang kenapa?"

"Tidak, hanya saja..."

Kalimat yang terhenti di tengah-tengah itu membuat Alde sedikit penasaran. Memangnya ada apa dengan Nyla? Kenapa Bian terlihat seperti sedang menahan kalimatnya?

Ketika ia hendak menyuarakan pertanyaannya, tiba-tiba saja mobil sudah terlebih dahulu berhenti. Alde menolehkan kepalanya kesana kemari, menyadari jika ternyata mereka telah tiba di depan gedung rumah sakit.

"Ayo turun." ajak Bian yang sudah melepas sabuk pengamannya dan membuka pintu, membiarkan seorang pegawai parkir mengurus mobilnya.

Cepat-cepat Alde segera menyusulnya. Ketika ia turun, ia melihat jika Bian sudah menunggunya.

"Tidak ada yang tertinggal?"

Alde menggelengkan kepalanya, "Tidak ada."

Jawaban itu membuat Bian segera melanjutkan langkahnya. Alde mengikuti dari belakang.

Menyadari jika langkahnya terlalu cepat untuk Alde, pelan-pelan Bian mulai memperlambatnya.

"Apa nenek sudah membaik?"

"Sudah," jawab Bian. "Hanya perlu pemantauan sebelum diperbolehkan pulang."

Dengan menggunakan lift mereka akhirnya tiba pada lantai di mana kamar sang Nenek di rawat.

"Eh, aku lupa membawa sesuatu untuk Nenek." ucap Alde ketika mereka hampir tiba.

"Tidak usah." ucap Bian. Ia berhenti di depan sebuah pintu kamar yang diyakini adalah kamar sang Nenek. "Melihat mu datang saja dia sudah senang kok."

Dan benar saja, ketika mereka masuk, dengan wajah yang sangat cerah sang Nenek menyambut mereka.

"Alde, apa kabarmu?"

Dengan erat Alde memeluk sang Nenek.

"Aku baik Nek, kabar Nenek sendiri bagaimana?"

"Aku sudah sangat sehat." jawab wanita yang seluruh rambutnya sudah memutih itu.

Setelah pelukan mereka terlepas barulah Bian datang di antara mereka dan duduk di ujung ranjang rawat sang Nenek.

"Kenapa kau baru membawa Alde lagi sekarang?" tanya sang Nenek pada cucuknya.

"Dia sibuk." jawab singkat Bian.

Mendengar jawaban singkat itu sang Nenek menatap gemas Bian. Walau begitu ia tak terlalu menggubrisnya. Tatapannya kali ini beralih pada Alde yang sudah mendudukkan diri di atas kursi kosong di samping kasur.

"Kau sudah makan Nak Alde?"

Sambil tersenyum Alde menjawab, "Sudah Nek."

"Masa sih?"

"Aku benar-benar sudah mak—"

"Sudah bersamaku di hotel." potong Bian tiba-tiba, membuat kedua wanita yang berada di dalam ruangan itu menoleh ke arahnya.

Kedua alis sang Nenek terangkat tinggi. "Kau mengajaknya makan?"

Bian menganggukkan kepalanya.

Sang Nenek segera menolehkan kepalanya ke arah Alde. "Apakah itu benar Alde?"

Alde yang bingung dengar reaksi sang Nenek hanya bisa menganggukkan kepalanya.

"Astaga, aku pikir kau sudah tak punya kesempatan untuk memberikanku cicit."

Kedua bola mata Alde seketika terbelalak. Wajahnya sudah memerah. Begitu pula dengan Bian. Pria itu sudah melompat berdiri dari atas kasur.

"Nenek ini mengatakan apa sih!" jeritnya panik.

"Loh, memangnya kenapa?"

"Kami hanya makan kok Nek, tidak ada yang lain." ucap Alde, berusaha menjelaskan.

"Tapi kalian makan berdua kan?" tanya sang Nenek sekali lagi, berusaha memastikan. "Jarang-jarang loh Bian mau mengajak seseorang makan, apalagi seorang wanita."

Alde melirik ke arah Bian yang saat ini hanya bisa menggaruk frustasi surai hitamnya. Wajahnya susah memerah hingga telinga. Pemandangan yang cukup langka untuk Alde dari pria lurus dan tegas seperti Bian.

"Kuharap kau bisa tahan dengan sifatnya yang seperti itu." ucap sang Nenek seperti tengah melepas cucu kesayangannya pada seseorang.

"Aduh Nenek, astaga, hentikan!" seru Bian sambil menahan malu.

"Kau ini kenapa sih? Aku kan mengatakan ini juga untuk kebaikanmu."

"Tapi hubungan kami bukan seperti... itu...." ucap Bian dengan nada kecil di akhir kalimat. Seakan-akan ada kekecewaan di sana.

Alde terkekeh. Melihat interaksi dua orang di hadapannya membuat sebuah perasaan hangat muncul di hati Alde.

"Nak Alde." panggil sang Nenek.

"Ya?"

"Aku titipkan Bian padamu ya."

Ada sebuah perasaan janggal ketika ia mendengar kalimat itu. Ia merasa jika kalimat itu sama seperti ketika Kakeknya akan pergi untuk selama-lamanya.

Apa Nenek akan pergi juga?

Alde tak terlalu ingin memikirkannya saat ini. Ia tak mau menjadi penghancur suasana.

"Tentu Nek." hanya itu yang bisa Alde katakan sambil tersenyum.

Bian menepuk jidatnya, "Jangan kau juga." ucapnya.

Alde tertawa, begitu pula dengan sang Nenek.

Melihat bagaimana dua wanita di hadapannya terus menggodanya tanpa henti, Bian memutuskan untuk balik badan dan melangkah pergi.

"Kau mau ke mana?" tanya sang Nenek.

"Merokok."

"Hei, sudah kubilang untuk berhenti!"

"Iya, setelah ini aku berhenti." ucap Bian sebelum melangkah keluar dan menutup kembali pintu kamar rawat.

Sepeninggal pria itu, sang Nenek tiba-tiba saja menolehkan kepalanya ke arah Alde. Ia menggenggam kedua tangan Alde. Genggamannya terasa sangat lembut dan hangat banginya.

"Alde," panggil sang Nenek tiba-tiba.

"Iya?"

Sebuah senyuman tipis muncul di wajah penuh keriput itu. "Bisa kau bantu aku untuk memastikan jika ia akan menepati janjinya?"

Terlihat sebuah siratan sendu di manik kelabu wanita tua itu. Alde sadar, jika saat ini wanita paruh baya di hadapannya sedang menahan sebuah rasa yang tak ingin ia perlihatkan di hadapan siapa pun. Dan tanpa mau menolak permintaannya, ia segera menganggukkan kepalanya.

"Tentu saja." jawabnya.

Dengan segera ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah pintu. Sebelum ia membuka pintu tersebut, ia kembali menoleh. "Kau mau menitip sesuatu saat kami kembali nanti?"

Sang nenek menggelengkan kepalanya. "Kembalilah setelah ia menghabiskan puntung rokok terakhirnya."

Alde menganggukkan kepalanya. Kali ini, tanpa menoleh lagi ia segera melangkah pergi, meninggalkan sang nenek sendirian.

Saat itu tidak ada yang tau jika ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka. Tidak akan ada yang tau, jika ini adalah percakapan terakhir mereka bersama sang Nenek, dan juga... janji terakhir yang dibuat oleh Bian pada sang Nenek.