Alde menatap bingung pintu masuk taman hiburan di depannya. Helm yang saat ini sudah ia lepas dan berada di dalam genggamannya diambil oleh Elio dan ditaruh di atas jok motor oleh sang pemilik.
"Ayo." ajak Elio.
Dengan segera Elio menyeret Alde, mengajak Alde untuk masuk ke dalam sana. Namun, ketika mereka berjalan, hal yang aneh Alde dapati. Bukan mendekati pintu masuk, Elio malah menyeretnya terus berjalan melewatinya.
"Loh, kita mau ke mana?"
"Masuk ke dalam taman hiburan." jawab enteng Elio.
"Huh? Tapi kita sudah melewati pintu masuknya."
Elio menoleh, ia tersenyum pada Alde. "Sudah ayo ikuti aku saja!"
Tak lama mereka tiba di sisi pagar harmonika yang tak tertutup semak, pembatas antara area taman hiburan dan area luar. Alde yang masih belum mencurigai apa pun hanya diam menunggu, memperhatikan sekitarnya yang cukup sepi. Hingga ketika Elio melompat memanjat bagian pagar tersebut, ia pun terkejut.
"Kau- apa yang kau lakukan?!" bisiknya dengan nada panik pada Elio.
"Masuk ke dalam taman hiburan, memangnya kenapa?"
Jawaban itu membuat Alde mengedipkan matanya kencang berkali-kali. Ia benar-benar tak bisa mengikuti pola pikir pria di hadapannya.
"Ini kan ilegal!"
"Lalu?" tanya balik Elio.
Alde menggaruk kasar kulit kepalanya yang tak gatal. "Kau tak boleh melakukan ini! Lagipula bagaimana kita bisa bermain semua permainan di dalam jika kita tak punya cap dan gelang tiketnya?"
Elio tertawa. "Sudahlah, cepat naik dulu saja." ia mengulurkan tangannya pada Alde.
"Aku tidak mau." tolak Alde tegas sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Ayolah, tanganku sudah pegal nih." ucap Elio berusaha membujuk Alde.
Alde melirik ke arah Elio, "Tapi kau harus mengantarku ke suatu tempat setelah ini,"
"Kemana pun kau mau pergi, aku pasti akan mengantarmu." jawab Elio yang membuat Alde akhirnya mau menyambut uluran tangannya.
Dengan bantuan Elio, susah payah Alde naik ke atas pagar. Beruntung, rok tile yang ia kenakan tidak mempersulitnya, membuatnya bisa turun kembali ke atas tanah dengan selamat.
"Lalu, setelah ini apa?" tanya Alde.
Elio merogoh tas yang ia bawa. Mengeluarkan sebuah benda yang seperti cap kecil dan menoleh ke arah Alde, "Tanganmu."
Alde tanpa curiga mengulurkan tangannya ke arah Elio, dan setelahnya ia mendapatkan sebuah cap taman hiburan dan gelang tiket tanpa membayar sama sekali.
"Ka-kau, ini—" Alde terbata-bata.
"Karna kita sudah punya tiket dan bukti masuk, ayo kita main." tanpa ragu Elio menyeret Alde untuk mulai berbain di taman hiburan itu. Mengajaknya bersenang-senang.
Awalnya Alde enggan. Ia takut, jika mereka tertangkap ia akan dimasukkan ke dalam penjara karna tuduhan masuk tanpa ijin—yang notabene memang benar— namun, ketika dengan santainya Elio mengajaknya menaiki wahana-wahana yang ada, ia mulai bisa menikmatinya.
"Kalau wajahmu kaku kau akan segera ketahuan." bisik Elio ketika mereka baru menaiki wahana ketiga mereka, roller coaster.
Alde yang mulai panik segera merogoh tasnya untuk mengeluarkan sebuah cermin dan mengecek ekspresi wajahnya. Elio yang melihat itu pun tertawa.
"Kau ini, benar-benar..." bisiknya lembut tanpa bisa Alde dengar.
Ketika roller coaster mulai bergerak, Alde kembali menaruh cerminnya ke dalam tas. Ia berpegangan erat pada safety belt roller coaster, merasa sedikit takut dengan ketinggian tempatnya berada saat ini. Semakin lama posisinya berada semakin menanjak tinggi, jauh dari permukaan tanah, dan itu membuatnya gugup.
"Kau takut?"
Pertanyaan yang seakan-akan mengejek itu membuat Alde menoleh ke sampingnya. Ia melihat wajah Elio yang saat ini sedang meremehkannya.
"Aku tidak takut." bantah Alde. Memang benar ia tidak takut. Hanya saja... karna sudah lama tidak menaiki permainan seperti ini ia jadi sedikit gugup.
Kekehan lolos dari mulut Elio "Hanya penakut yang memeberikan alsan."
Alde yang kesal karna diremehkan mengerutkan dahinya. Kedua alisnya sudah menyatu, hendak membantah tuduhan pria di sampingnya namun, roller coaster yang tiba-tiba saja sudah menukik turun membuatnya terkejut dan terdiam.
"Aaaaah mamah!!!" jeritan itu sangat kencang. Alde yang berada di sampingnya segera menoleh.
Dengan wajah pucat pasi ia melihat jika Elio berteriak, hampir menangis ketika roller coaster yang mereka kendarai berbelok dan berputar dengan kencang. Rasa kesal yang sebelumnya Alde rasakan menghilang, digantikan dengan sebuah tawa kencang.
"Jangan tertawa!" jerit Elio disela-sela rasa takutnya, suaranya sudah bergetar.
"Aku tidak bisa, aku- huph! Ahahahaha!"
Karna takut, Elio menggapai apa pun yang bisa ia pegang. Tak peduli apa itu, yang penting ia bisa menggenggamnya seerat mungkin dan tak mau melepaskan.
Di tengah-tengah itu, tawa Alde tiba-tiba saja terhenti. Ia menundukkan kepalanya. Mendapati jika saat ini Elio sudah menggenggam tangannya erat. Sangat erat hingga membuat sebuah desiran hangat tanpa sadar sudah mengalir memenuhi hatinya.
Alde tersenyum. Ia membalas genggaman Elio lalu mengangkat tangannya, mengajak Elio untuk menikmati wahana yang saat ini melintasi seluruh jalurnya dengan kencang. Memutar, menukik, bahkan membalikkan tubuh mereka seperti sedang mengocok-ngocok isi perut mereka.
"Ini sangat mengasikkan!!"
"Aaah tidak! Ini tidak asik!!"
Jeritan yang sangat bertolak belakang dari keduanya. Alde sedikit keheranan dengan pria di sampingnya. Kenapa ketika menaiki wahana ini ia ketakutan, tapi ketika mengendarai motor pria itu sangat liar?
Hanya ada satu alasannya.
Elio takut ketinggian.
Ketika mereka turun, Alde membantu Elio untuk berjalan menuju bangku kosong terdekat. Ia memberikan pria itu minum dan bertanya, "Apa kau baik-baik saja?"
Dan tentu, jawaban Elio sudah bisa kalian tebak.
"Tidak, aku tidak baik-baik saja."
Alde terkekeh, dan kekehan tersebut membuat Elio menatap kesal Alde.
"Seharusnya kau bilang kalau kau takut." balas Alde dengan nada yang sama ketika Elio mengatakannya di atas roller coaster.
"Aku tidak takut!" bantah Elio. "Aku hanya belum siap saja." lanjutnya.
"Kalau begitu," Alde menunjuk ke arah wahana terbesar di taman hiburan ini. "Ayo kita naik bianglala."
Saat itu juga wajah Elio yang sudah pucat semakin memutih.
"Bagaimana?" tanya Alde lagi, memastikan.
Sebenarnya Elio ingin membantah. Tapi, harga dirinya sebagai laki-laki akan tercoreng jika ia menolak tawaran tersebut. Dan pada akhirnya, ia menerima tantangan tersebut. "Ayo!"
Selama mengantri, Elio terus menerus menelan ludahnya. Dahinya pun sudah berkeringat tanpa henti, seakan-akan ia sedang berada di tempat yang panas walau sekitarnya terasa sejuk karna langit yang mendung.
"Masih ada kesempatan untuk mengurungkan niat kok." ucap Alde.
Elio yang merasa tersidir mendengus kencang, "Aku ingin menaikinya, jadi kenapa aku harus mengurungkan niat?"
Alde mengedikkan bahunya. "Kalau begitu jangan menangis ya ketika kita sudah naik."
Elio mendengus. "Siapa yang akan menangis? Kau mungkin yang akan menangis." ucapnya meremehkan.
Namun, ketika mereka sudah menaiki wahana tersebut Elio malah mendempeti Alde. Tanpa mau melepas pegangannya pada lengan Alde, pria itu duduk tepat di sampingnya. Tak mau memberikan jarak di antara mereka sedikit pun.
"Kau bisa duduk di sebrang kan?" usul Alde namun, dengan keras Elio tolak.
"Tidak, jangan bergerak!" protes pria itu ketika merasakan kapsul bianglala yang mereka tempati sedikit bergoyang.
"Itu hanya angin." balas Alde.
Tetap saja, Elio tidak mau jika mereka bergerak dan membuat goyangan tak berarti pada kapsul mereka.
Alde menghela nafas. Ia menatap langit yang semakin lama semakin terlihat sejajar dengan pandangannya, hingga...
"Elio, lihat."
Elio menoleh, ia mengikuti arah pandang Alde. Kedua manik obsidiannya terpaku ketika ia melihat langit senja yang ditunjuk oleh Alde. Sangat memukau, seperti sedang melihat keindahan sebuah lukisan. Bahkan lebih indah lagi.
"Aku benar-benar senang," ucap Alde, tersenyum ke arah Elio. "Terima kasih, Elio karna telah memperbaiki hari ku."
Elio tak menjawab. Ia hanya menatap Alde dalam diam. Entah mengapa, ketika melihat wajah yang terterpa cahaya oranye hangat itu terbesit keinginan untuk menyentuhnya. Mengelus wajah itu dengan lembut, merasakan kehangatannya, dan...
"Terima kasih sudah menikmati wahana ini, tolong berhati-hati ketika kalian turun."
Suara yang muncul ketika pintu kapsul bianglala terbuka mengejutkan keduanya. Cepat-cepat Alde segera berdiri dan turun dari sana. Ia tidak mau menolehkan lagi kepalanya pada Elio yang saat ini sudah menatap tajam pegawai yang mengganggu waktu mereka. Ia takut, jika Elio akan melihat wajah meronanya dan menyadari... debaran yang saat ini sudah berdetak kencang di dadanya.
Di saat yang bersamaan, sebuah cahaya remang muncul di tangan kanan Alde. Karna terlalu fokus pada perasaannya saat ini, ia tidak menyadari jika saat ini sebuah benang merah sudah muncul mengikat erat pada jari kelingkingnya. Benang merah pembawa takdir hidupnya sudah muncul.