Chereads / Öde / Chapter 22 - 21

Chapter 22 - 21

Alde yang saat ini tengah terbaring di atas kasur menatap jemari kelingkingnya. Ia memperhatikan benang merah yang saat ini sudah terikat pada jari tersebut. Tanpa ia sadari benang tersebut sudah muncul. Hanya terikat, tidak ada helaian yang berterbangan atau apa pun itu.

"Apa aku sudah bertemu dengan jodohku?" tayanya, pada diri sendiri.

Kalau memang benar seperti itu, berarti...

Alde segera menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin berpikir, pun berekspektasi jika Elio adalah orang yang ditakdirkan untuknya. Ia tidak ingin melakukannya. Akan tetapi...

Getaran pada ponsel yang tergeletak di atas nakas mengejutkannya. Alde segera bergerak untuk menggapainya. Ia melihat jika sebuah pesan sudah memasuki benda elektronik tersebut. Pesan dari Elio yang dengan mudah memunculkan senyuman pada wajahnya.

[Apa kau sudah tidur?]

Dengan segera Alde membalas pertanyaan tersebut.

[Belum, bagaimana denganmu?]

[Kalau aku sudah tidur, aku tidak akan mengirimmu pesan kan?]

Jawaban itu membuat Alde menyadari seberapa bodoh pertanyaan yang sebelumnya ia kirimkan, dan tawa pun lepas dari mulutnya.

[Maaf :( ] balasnya.

[Haha santai saja] jawab Elio.

[Ngomong-ngomong, maaf karna tak bisa mengantarmu ke tempat yang ingin kau kunjungi. Tiba-tiba saja kondisi kakek ku memburuk] lanjutnya.

[Tidak papa, kita bisa melakukannya di lain waktu, kau tidak udah memikirkan hal itu.]

[Terima kasih]

Terdapat jeda di antara mereka. Alde diam. Ia bingung, haruskah ia melanjutkan percakapan atau—

[Maaf menggagu mu malam-malam. Lebih baik kau segera tidur.]

Alde tersenyum.

[Aku tidak merasa terganggu, malahan aku merasa senang.] balasnya tanpa sadar. Dan ketika ia menyadarinya, cepat-cepat Alde kembali mengeti, [Senang karna ada teman yang bisa ku ajak bicara.]

[Oh, haha]

Hanya itu yang Elio kirimkan.

[Kalau begitu aku akan tidur, selamat malam Elio.]

[Selamat malam, Alde.]

Ia pikir percakapan mereka sudah selesai di sana, hingga sebuah pesan masuk terakhir kali untuk malam ini tiba-tiba saja kembali menghampirinya. Membuat ponselnya kebali bergetar.

[Terima kasih untuk makan sore nya. Seperti biasa, sangat enak :) ]

Alde terkekeh. Dengan perasaan yang saat ini terasa ringan ia membalasnya.

[Sama-sama.]

Dan percakapan pun akhirnya benar-benar terputus.

Alde menjatuhkan ponselnya ke atas kasur. Ia memandang langit-langit kamarnya sebelum kembali memperhatikan jari kelingking kanannya.

"Aku tidak ingin berharap, tapi..."

Dengan segera ia memiringkan tubuhnya. Alde menyembunyikan wajahnya di balik bantal. Sebelum ia memejamkan matanya dan benar-benar tertidur, diam-diam wanita muda itu berkata di dalam hatinya,

'Semoga saja, dia memang orang yang di takdirkan untukku.'

---

Keesokan paginya, ketika ia tengah berjalan menuruni tangga untuk pergi ke kampus, seseorang dari belakang tiba-tiba saja menyenggol bahunya. Alde hampir saja terjatuh jika ia tidak dengan sigap berpegangan pada dinding di sampingnya.

"Kau tak apa-apa?" tanyanya pada wanita yang saat ini tengah membereskan baju-bajunya yang tumpah dari dalam tas yang tak tertutup dengan benar dan berserakan di atas tangga.

Alde segera berjongkok untuk membantu wanita itu. Jika bukan karna menyenggolnya, barang-barang wanita itu pasti tidak akan berserakan sepertin ini.

"Maafkan aku, jika ada yang rusak akan aku—"

Kalimat Alde terhenti. Maniknya saat ini menatapp lurus wajah wanita di sampingnya.

"Kau, wajahmu, apa kau baik-baik saja?!"

Terlihat dengan jelas luka lebam yang cukup besar pada wajah wanita itu. Dan tidak hanya di wajah, di sekujur leher dan lengannya pun terdapat luka yang sama. Lebam yang sudah berwarna ungu kehitaman, seperti sebuah luka lama yang hanya dibiarkan seperti itu.

Wanita itu tidak menjawab. Dengan kasar ia merebut bajunya yang masih berada dalam genggaman Alde dan memasukkannya ke dalam tas sebelum berlari pergi meninggalkannya.

"Aku harap ia baik-baik saja." gumam Alde ketika melihat tubuh rampingnya yang dengan cepat menjauh dan menghilang di balik kelokan jalan.

Melanjutkan perjalannya yang sempat terhenti, Alde segera bangkit dari jongkoknya dan kembali melangkah. Menggunakan angkutan umum—yaitu bus—ia berangkat.

Pagi ini lalu lintas tidak terlalu ramai. Kendaraan-kendaraan pribadi belum banyak bertebaran, membuat lalu lintas yang di lalui oleh Alde cukup lenggang. Dengan tenang ia duduk di salah satu kursi kosong di sebelah jendela, memperhatikan matahari yang sudah memunculkan sosoknya di ufuk timur.

"Apa kau memang suka bepergian sepagi ini?"

Pertanyaan yang terdengar tepat di samping telinganya membuat Alde seketika menoleh. Sesosok pria berpakaian rapih sudah duduk di sebelahnya. Manik kelabu dan coklat jernih saling bertabrakan. Pria itu menatap lurus ke arah wajah Alde yang saat ini memperlihatkan jelas seluruh isi hatinya.

"Pak Bian?"

Yang disebut menganggukkan kepalanya. "Apa kau memang orang yang cuek dengan sekitarnya?"

Alde yang tak menangkap maksud dari pertanyaan Bian hanya menjawab, "Iya...?"

Dan jawaban itu pun membuat sang pria tertawa, "Kau memang benar-benar sesuatu, Alde."

"Apa maksud Bapak?"

"Bukan apa-apa," balas Bian yang tiba-tiba saja berdiri dari kursinya. "Lebih baik kita segera turun jika tidak ingin melewati pemberhentian kita." lanjutnya sambil melangkah pergi, meninggalkan Alde yang menyadari jika sejak tadi ia sudah sampai di halte dekat kampus.

Cepat-cepat Alde segera melangkah turun, mengejar Bian yang sudah menunggunya sambil tersenyum.

"Ayo jalan." ucap pria itu, mengabil langkah maju terlebih dahulu.

Alde bertanya-tanya. Kenapa Bian tiba-tiba saja muncul di sampingnya? Kenapa pria itu mengajaknya bicara? Dan kenapa, tiba-tiba saja ia terlihat... lebih ramah dari biasanya?

Merasa jika Alde tidak mengikutinya, Bian segera berhenti dan menoleh ke belakang. "Kau tidak mau bergerak dari sana?"

"O-oh, iya." sahut Alde, terbata-bata. Dengan segera ia berlari kecil menghampiri Bian dan mulai melangkah di sampingnya.

"Kau." panggil Bian yang tentunya di tujukan pada Alde.

Alde merespon, "Ya, Pak?"

"Um... itu... kau..."

Entah mengapa Bian tiba-tiba saja terlihat tidak nyaman. Berkali-kali pria itu mengusap tengkuknya dan menjauhi tatapan Alde. Seperti kesulitan mengatakan sesuatu, dan itu membuat Alde menatap aneh pria itu.

"Pak Bian kenapa? Bapak ingin ke kamar kecil? Ingin ku temani ke sana?"

"Sembarangan kau kalau bicara ya!" protes Bian. Ia menatap Alde dengan kedua alis yang menukik ke bawah.

"Habis Bapak bicaranya tidak jelas. Ah um ah um terus."

Mendengar itu Bian segera berdeham lalu kembali berbicara "Kau, baik-baik saja?"

Karna bingung Alde pun memiringkan kepalanya. "Maksud Bapak?"

"Kemarin, kau pergi dengan kondisi yang... um... seperti itu." ucapnya dengan suara kecil pada dua kalimat akhir.

Ah... sekarang Alde mengerti.

"Apa karna ini Bapak sengaja menaiki bus yang sama denganku?"

Bian yang tidak pernah menyangka akan ditanya seperti itu kelabakan. "Ti-tidak, a-aku hanya kebetulan menaiki bus yang sama denganmu! Itu saja."

"Tapi Bapak memiliki mobil kan? kenapa harus repot-repot menaiki bus?"

"Mobilku- mobilku rusak."

"Iya kah? Perasaan kemarin kulihat mobil bapak baik-baik saja."

Saking bingungnya hendak menjawab apa lagi Bian hanya membuka dan menutup mulutnya tanpa adanya suara yang keluar, dan itu tentunya membuat Alde tertawa.

"Kenapa malah tertawa?"

"Tidak, hanya saja, kau terlihat lucu." jawab jujur Alde.

"Lucu? Apanya yang lucu?"

Alde tersenyum. "Bapak yang ingin bertanya, memastikan jika aku baik-baik saja, tapi karna kau takut menyakiti perasaanku kau malah seperti orang yang kebingungan."

Bian tidak bisa membantah kalimat itu. Ia memang benar-benar bingung tadi. Takut, ketika mebahas kejadian kemarin malah menyinggung Alde dan tanpa sadar menyakitinya.

"Aku baik-baik saja kok, Bapak tidak usah khawatir." Alde mengangkat tangannya dan membuat tanda peace di samping wajahnya.

"Baguslah kalau begitu." jawab singkat Bian sebelum mempercepat langkahnya.

Alde yang melihat itu tersenyum. "Loh, itu saja? Bapak tidak mau menghiburku?" ucapnya sambil mengejar Bian.

"Untuk apa? Kau kan sudah baik-baik saja."

"Tapi aku masih merasa cukup sedih." sebenarnya Alde tidak serius ketika mengatakan itu. Namun, ketika melihat sikap Bian yang cukup manis ini membuatnya malah semakin ingin menggodanya.

"Kalau begitu... selesai jadwal kelasmu hari ini tunggu aku."

"Hm? Nenek ingin aku mengunjunginya?" tebak Alde.

Bian melirik Alde sesaat sebelum kembali menatap jalan di hadapannya, "Tidak," ucapnya. "Aku mau mengajakmu makan."

Jawaban yang tidak terduga itu membuat langkah Alde terhenti. "Kau... serius?"

Bian ikut menghentikan langkahnya. Ia menolehkan kepalanya. "Kau pernah melihat aku tidak serius dengan perkataanku?"

"Tidak, bukan seperti itu."

"Kenapa? Kau memintaku untuk menghiburmu kan?" tanya Bian lagi.

"Iya tapi... sudahlah." pasrah Alde. Ia tidak mau pergi dengan Bian, tadi itu ia hanya bercanda. Lebih baik pulang kuliah nanti ia kabur saja duluan sebelum pria itu mencarinya.

"Jangan kabur. Kalau kau kabur aku akan mencarimu walau itu artinya aku harus mengelilingi dunia sekali pun." ucap Bian tiba-tiba membuat wajah Alde memucat seketika.

Tidak seharusnya ia bermain-main dengan pria di hadapannya. Dan sekarang, ia menyesalinya.