Ketika mata kuliah sudah selesai dan dosen pengajar berjalan keluar kelas, Alde segera memasukkan buku dan semua peralatan tulisnya ke dalam tas selempang berwarna kuning miliknya. Ia lalu mengambil totebag yang ia taruh di samping kursinya dan mulai berjalan pergi. Kalian penasaran apa isi totebag itu? Totebag itu berisikan tiga tumpuk bekal yang sudah Alde siapkan sejak subuh. Yap, bekal makan siang khusus untuk Elio. Bisa dibilang ini adalah rasa terima kasihnya pada pria itu karna telah membantunya merawat luka bakar pada tangannya.
"Aku harap ia juga menyukai makanan ini." bisiknya sambil tertawa kecil.
Ketika baru melangkahkan kakinya beberapa langkah ke depan, tiba-tiba saja Alde merasakan jika tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan tanpa ada yang bisa mencegahnya dengan keras ia menghantam lantai di bawahnya.
"Aah..." rintih Alde. Dengan bersusah payah sambil menahan rasa sakit pada tubuh bagian depannya ia sedikit bangkit untuk menoleh ke belakang, melihat apa yang sudah menyandung kakinya hingga membuatnya jatuh seperti ini.
"Ups, maaf, aku tak sadar jika kakiku terulur keluar dan membuatmu tersandung." suara seorang wanita dengan nada mengejek terdengar. "Kau bisa berdiri sendiri kan? Tanganku terlalu lemah untuk membantumu kembali berdiri." lanjutnya itu sambil tersenyum remeh ke arah Alde.
Karna tak mau menjadi perhatian publik lebih lama lagi Alde segera bangkit dengan sendirinya. Ia menepuk rok tile berwarna khaki mliknya yang kotor karna debu dari lantai. Beruntung kotak bekal yang ia bawa adalah kotak bekal yang penutupnya bertipe grip, jika tidak mungkin semua isinya sudah berserakan kemana-mana dan mengotori seisi kelas. "Tidak papa, aku baik-baik saja kok, Cisilia." ucapnya sambil tersenyum. Ia lalu mengangkat kepalanya dan menatap wanita berambut sebahu yang saat ini berdiri di hadapannya. "Kakimu yang tersandung olehku tidak papa kan?" tanyanya balik.
Cisilia mendengus. "Sepatuku kotor karna kau, bisa kau bersihkan?"
Alde tersenyum. Ia merogoh saku cardigan rajut putih gading yang saat ini ia kenakan dan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk diberikan pada Cisilia, "Maaf aku hanya punya segini, jika biaya cuci sepatunya kurang kau boleh memintanya padaku lagi. Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan aku pergi." ucapnya lalu segera melangkah pergi dari sana.
Melihat beberapa lembar uang bernominal kecil di tangannya, Cisilia tertawa. "Iya ya, kau hanya punya uang segini. Tidak mungkin kau bisa membayar biaya cuci sepatuku yang mahal ini dengan semua uang yang kau miliki. Bodohnya aku meminta pada orang miskin sepertimu."
Langkah Alde terhenti. Ia meremat kencang totebag yang ia pegang. Cisilia berjalan mendekati Alde. Ia mengangkat tangan yang memegang uang ke atas kepala Alde lalu membiarkan uang itu jatuh berserakan menjatuhinya.
"Lain kali aku akan mengingat untuk menerima permintaan maaf mu saja." ucap Cisilia tepat di samping telinga Alde sebelum melangkah pergi.
Merasa tak nyaman berada di dalam kelas yang sama dengan Alde, mereka yang sebelumnya memperhatikan dari samping segera melangkah pergi dari sana, lebih memilih untuk meninggalkan Alde sendirian ketimbang harus ikut campur. Helaan nafas lolos dari mulut Alde. Ia berjongkok untuk memunguti uang yang tergeletak di sekitar kakinya. Dan ketika sepasang sepatu pantofel hitam berhenti di depannya, Alde berhenti bergerak.
"Kenapa kau diam saja?"
Suara berat yang tiba-tiba saja terdengar membuat Alde mendongakkan kepalanya. Ia melihat jika saat ini Bian sudah berdiri tepat di hadapannya. Sambil mengapit beberapa buku tebal di lengannya, manik kelabu pria itu menatap lurus ke arah wajah Alde, membalas tatapan manik coklat jernihnya.
"Kenapa kau tidak melakukan apa pun ketika wanita itu merendahkan mu?"
Alde yang saat ini tak ingin mengeluarkan emosinya memilih untuk diam. Ia memunguti seluruh uangnya yang dibuang oleh Cisilia sebelum bangkit dan memberi anggukkan kecil pada Bian, "Permisi Pak."
Tanpa menoleh Alde berjalan melewati Bian. Saat ini ia tak mau mempedulikan pria itu. Namun, tiba-tiba saja langkahnya dihentikan karna lengannya yang digenggam dari belakang.
"Hei kau."
Alde segera menoleh. Ia menatap datar wajah Bian, membuat pria itu sedikit terkejut karnanya.
"Ka-kau tidak papa?" tanya Bian sedikit terbata-bata.
Alde yang masih diliputi oleh beberapa emosi segera menarik kencang lengannya yang digenggam oleh Bian. "Aku baik-baik saja." jawabnya ketus lalu kembali melanjutkan langkahnya.
Bian terdiam. Manik kelabunya yang masih terpaku pada punggung Alde terus mengikuti sosoknya hingga akhirnya menghilang di balik belokan lorong kampus.
"Apa aku terlalu ikut campur?"
Semakin lama Alde melangkah, semakin cepat pula kakinya bergerak. Manik coklat jernihnya sudah berkaca-kaca diikuti dengan sebuah isakan.
"Apanya yang baik-baik saja?" ucapnya dengan suara bergetar dan senyuman sinis.
Ketika ia tiba di sisi gedung yang cukup sepi dan jauh dari keramaian, Alde menghentikan langkahnya. Ia menyandarkan bahunya pada dinding, menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan cairan yang sudah jatuh dari manik matanya.
"Loh, Alde? Apa yang kau lakukan di sini? Kelasmu sudah selesai juga?"
Alde tersentak. Ia tau siapa pria pemilik suara baritone yang bersal dari belakang tubuhnya itu. Cepat-cepat ia mengelap wajahnya yang basah dengan lengan sweater rajutnya, berusaha menghilangkan semua jejak yang tertinggal di sana. "Ah-uh- a-aku sedang beristirahat." jawabnya panik dengan suara parau.
"Begitu kah?"
Ketika Alde masih sibuk mengelap wajahnya, tiba-tiba saja bahunya di tarik dan tubuhnya diputar. Dengan manik yang pengelihatannya masih agak buram Alde melihat wajahnya. Rahang kotak yang tegas, hidung bangir, dan manik obsidiannya menatap lurus ke arah manik Alde yang basah.
"Elio, Jangan lihat." ucap Alde sambil membuang wajahnya dan menutupinya menggunakan kedua tangannya.
"Kenapa?"
Bibir berwarna plum itu digigit oleh sang pemilik.
"Kau tidak suka aku melihatmu dalam keadaan seperti ini?" tebak Elio.
Perlahan, Alde mulai menganggukkan kepalanya.
Elio menghela nafas. "Kau tidak lelah menyembunyikannya?"
Alde tak menjawab, membuat Elio kembali menghela nafasnya. "Kemari."
Dengan satu tarikan pria itu menarik Alde ke dalam dekapannya. Dengan lembut ia menepuk punggung Alde dan berkata, "Kalau kau mau menangis, menangis saja. Tidak ada orang selain aku di sini, jadi kau tidak usah khawatir."
Alde mengepalkan tangannya sekencang mungkin. Ia tak mau menangis, tapi... pelukan ini terlalu nyaman untuk disandari olehnya.
"Kenapa kau sangat baik padaku...?" tanya Alde disela-sela isakannya. Matanya sudah kembali basah oleh air mata.
"Hmm... karna aku peduli padamu?"
Jawaban yang cukup ambigu itu membuat Alde tertawa disela-sela tangisnya. "Apa maksudmu dengan peduli padaku?"
"Entahlah, mungkin aku mulai menyayangimu."
Senyuman di wajah Alde menghilang. Ia menguburkan wajahnya di dada Elio, menyembunyikan rona yang saat ini sudah muncul hingga mencapai telinganya. Dan di tenga-tengah itu juga, tanpa bisa didengar oleh Elio Alde berbisik,
"Jangan membuatku berharap seperti ini..."