Alde menghela nafasnya. Sudah hampir dua jam ia menunggu di depan kampus. Manik coklatnya bergerak kesana kemari memperhatikan sekitarnya, berharap jika ia takkan bertemu dengan sosok yang tidak ia inginkan. Namun apa yang ia harapkan? Tiba-tiba saja sebuah mobil sedan BMW berwarna hitam berhenti tepat di hadapannya. Salah satu kaca mobil yang berada di dekat Alde terbuka dan dari dalam ia bisa mendengar sebuah suara yang tanpa sadar membuat bola matanya memutar.
"Lama menunggu?"
Sebisa mungkin ia menyunggingkan senyuman terbaik yang ia punya. Alde membungkukkan tubuhnya untuk menyapa Bian dari kaca mobil yang terbuka dan melihat jika saat ini pria itu duduk di hadapan kemudi.
"Sangat. Lama." jawab jujur Alde sambil terus tersenyum.
Bukannya merasa bersalah, Bian malah mengacuhkan kalimat Alde. Ia memberi isyarat menggunakan kepalanya dan berkata, "Cepat masuk." titahnya.
Jujur saja, jika Bian bukanlah dosennya mungkin saat ini Alde sudah memukul kepalanya menggunakan tas berisikan kotak bekal kosong di tangannya. Akhirnya dengan penuh perasaan terpaksa Alde membuka pintu mobil. Ia duduk di bangku belakang, sengaja melakukan itu karna enggan jika harus bersampingan dengan Bian.
"Kau pikir aku supirmu?" ucap Bian ketika melihat Alde yang duduk santai di bangku belakang mobilnya.
Dengan menahan emosi Alde tersenyum. Ia lalu kembali keluar, menutup pintu mobil Bian cukup kencang sebelum pindah ke bangku bagian depan.
"Kau mau merusak mobilku?" tanya Bian ketika Alde sudah kembali masuk dan memasang sabuk pengamannya.
Karna kesal akhirnya Alde sudah tak lagi bisa menahan emosinya, "Astaga Pak! Mobil ini sudah dirancang untuk menahan benturan kencang, jadi tidak mungkin bisa rusak semudah itu." jawabnya, menatap Bian sambi menekukkan kedua alisnya ke dalam.
Kekehan lolos dari mulut Bian. Ia mulai kembali memperhatikan jalan di hadapannya dan akhirnya mulai melajukan mobi. "Ya siapa tau kan?"
Alde mendengus. Ia sudah terlalu malas jika harus meladeni Bian terus menerus dan akhirnya memutuskan untuk diam selama perjalanan.
Dalam perjalanan Alde berusaha menebak kemana mereka pergi. Ia melihat jika arah perjalanan mereka cukup familiar di mata Alde. Lampu merah tempat ia menemukan Nenek Bian pingsan, beberapa bangunan tinggi di tiap pinggir jalan, lalu... gedung rumah sakit.
"Kau sudah tau kemana kita mau pergi?" tanya Bian tiba-tiba, seakan-akan bisa membaca apa yang saat ini Alde pikirkan.
Alde masih tetap diam. Ia beberapa kali mengedipkan manik coklat jernihnya, berusaha memastikan jika rumah sakit yang ia lihat saat ini sama dengan rumah sakit tempat Nenek Bian berada. Dan ketika ia yakin jika rumah sakit tersebut adalah rumah sakit yang sama, disitulah Alde menyadari ke mana Bian membawanya saat ini.
Ketika mobil yang mereka tumpangi telah terparkirkan di basement rumah sakit, Alde dan Bian segera melangkah turun. Keduanya berjalan menuju lift yang berada tak jauh dari mobil yang diparkirkan. Dan ketika tiba dihadapannya, Bian segera menekan tombol naik.
"Nenek yang memintaku untuk membawamu kemari. Dia bilang dia ingin melihatmu lagi." Bian menjelaskan tanpa diminta. Alde menolehkan kepalanya ke arah pria di sampingnya. Manik coklat jernih bertabrakan dengan manik kelabu. Ia terkejut ketika menyadari jika Bian ternyata telah menatapnya sedari tadi, membuatnya segera memutus pandangan dan berlari masuk kedalam lift ketika pintu lift terbuka.
"Ayo naik!" ucap Alde buru-buru dengan suara yang terdengar gugup.
Ketika Bian sudah masuk Alde segera menekan tombol lantai yang akan mereka hampiri dan pintu pun mulai kembali tertutup. Entah mengapa, Alde tiba-tiba saja merasa canggung. Di dalam lift yang saat ini mereka tumpangi hanya ada mereka berdua. Ia kembali melirik ke arah Bian yang ternyata masih menatap lurus ke arah dirinya.
"Umm... kenapa Bapak terus menatap ke arah saya?" akhirnya Alde memberanikan diri untuk bertanya.
"Aku hanya ingin melakukannya."
Jawaban yang sangat gamblang itu membuat Alde merasa malu. Jika saja saat ini rambut hitamnya tak teruai mungkin saja Bian sudah menyadari seberapa merah wajah Alde saat ini. Alde benar-benar tidak terbiasa dipandang seperti ini. Santa tidak nyaman, seakan-akan pria itu hendak mengorek sesuatu yang berada di dalam dirinya.
Saat pintu lift terbuka dengan terburu-buru Alde segera berlari melesat keluar terlebih dahulu. Ia tak peduli dengan Bian yang tertinggal di belakangnya, yang ia inginkan saat ini hanyalah meredakan rasa panas yang terasa pada wajahnya.
Alde menghentikan langkahnya di depan sebuah kamar yang terpampang nama 'Ny. Enisse' di samping pintu. Ia menarik nafas dan menghembuskannya. "Permisi." ucap Alde pelan sembari membuka pintu salah satu kamar rawat setelah mengetuknya beberapa kali.
"Oh, akhirnya kau datang juga." ucap sang Nenek ketika melihat sosok Alde berdiri di ambang pintu. "Cepat masuk kemari nak." lanjutnya sembari melambaikan tangan, mengisyaratkan Alde untuk mendekatinya.
Malu-malu Alde melangkah masuk. Ia mendekati sang Nenek dan memberi salam padanya. "Apa kabar nek?"
"Sangat baik." jawab wanita paruh baya itu penuh senyuman. "Bagaimana denganmu?"
Alde menganggukkan kepalanya, "Aku pun baik." jawabnya. "Nek, maaf kalau aku tidak membawa apa-apa kemari."
"Tidak papa, Aku sudah senang kau datang kemari." balasnya dengan wajah penuh senyuman.
Ketika Alde dan Nenek sedang bercengkrama, tiba-tiba saja Bian datang memecah suasana.
"Hmph, cucunya datang saja tidak pernah dia mengatakan itu." celetuknya.
"Hei, sudah kewajibanmu merawat nenek yang sakit." jawab sang Nenek tak mau kalah.
Keduanya membuang muka secara bersamaan sambil mendengus. Alde yang melihat itu tertawa kecil.
"Aduh, maaf memperlihatkan kejelekan kami. Nak Alde ingin minum apa?" tawar sang Nenek, berusaha mengalihkan topik.
"Tidak usah repot-repot Nek."
"Eh tidak usah malu-malu seperti itu." sang Nenek menoleh ke arah Bian. "Bian, cepat belikan Alde minuman ke bawah."
"Astaga Nenek, Aku—"
"Sudah sana cepat pergi. Dan juga belikan dia beberapa kue di perjalananmu kembali kemari." potong sang Nenek, enggan mendengar alasan Bian.
Dengan pasrah Bian membalikkan tubuhnya. Ia berjalan pergi keluar dari kamar rawat, meninggalkan Alde hanya berdua dengan Nenek.
"Maafkan perilaku dia yang seperti itu ya." Nenek memegang tangan Alde, menuntunnya untuk duduk di atas kursi di samping kasur rawatnya. "Aku tau jika ia membawamu kemari dengan paksa tanpa mengatakan apa pun."
Alde hanya bisa tersenyum ketika mendengar kalimat itu.
"Minuman dan kue itu permintaan maafku padamu." lanjutnya sambil mengedipkan salah satu matanya pada Alde.
Alde merasa tak enak, tapi di satu sisi yang lain ia juga merasa puas. Kapan lagi ia bisa melihat Bian seperti ini? Ini adalah sebuah hal yang sangat langka baginya.
Sambil menunggu Bian kembali, sang Nenek mulai bertanya-tanya pada Alde.
"Bagaimana kalian bisa saling mengenal?"
"Dia adalah salah satu dosen di kampusku Nek." jawab Alde.
"Oh, jadi dia adalah salah satu dosenmu." sang nenek menganggukkan kepalanya, lalu ia kembali bertanya. "Apa dia mengajar dengan baik?"
Senyuman manis kembali muncul di wajah Alde "Iya." jawabnya. entah itu adalah sebuah kejujuran atau bukan.
Bian kembali dengan membawa dua minuman berbeda jenis dan sebuah kotak berisikan beberapa potong kue untuk Alde. Ia mengambil Americano dingin miliknya dan memberikan chocho frappe pada Alde.
"Dari mana kau tau aku suka minuman manis?"
"Intuisi saja." jawab Bian santai. Sambil menyedot kopinya melalui lubang sedotan ia berjalan menuju kasur Nenek dan mendudukkan dirinya di ujung kasur. "Kebanyakan wanita suka yang manis-manis."
Alde cukup tersentuh. Memang, dibalik sifatnya yang sangat menyebalkan Bian itu adalah orang yang cukup baik. Hal ini mengingatkan Alde pada makanan yang ditinggalkan khusus untuknya oleh Bian kemarin.
"Pak Bian." panggil Alde.
Sang pemilik nama segera menatap Alde. "Hm?"
"Terima kasih, makanannya enak." lajutnya sambil tersenyum.
Bian menatap Alde sesaat sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Nenek yang tak mengerti apa pun segera menyikut lengan Bian, "Kenapa?" tanyanya.
"Bukan apa-apa." jawab Bian singkat.
Setelah berbincang lama, saling mengenalkan diri, mengakrabkan diri lebih baik lagi, Alde menyadari jika ia sudah menghabiskan waktu terlalu lama di rumah sakit. Ketika ia menoleh ke jendela langit sudah menggelap dan jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
"Sepertinya sudah terlalu malam." ucap Bian tiba-tiba.
Alde menoleh ke arah pria itu. Menatap dalam sosok yang saat ini sedang menatap keluar jendela.
"Aduh, kau benar. Lebih baik kau antar dia pulang sampai rumahnya Bian. Ini sudah terlalu larut untuknya pulang sendirian." setuju sang Nenek.
"Kalau begitu saya pamit Nek." ucap Alde segera berdiri dan memberi salam pada sang Nenek.
"Besok datang lagi ya Nak."
Alde tersenyum, "Kalau bisa datang aku akan datang." janjinya.
Nenek menganggukkan kepalanya. Ia melambaikan tangannya pada Alde dan Bian yang sudah berjalan keluar dari dalam kamar rawatnya. Keduanya berjalan beriringan menuju lift.
"Lebih baik antar saya sampai depan rumah sakit saja Pak, biar saya pulang sendiri menggunakan taksi."
Bian menoleh. Ia menatap Alde dengan salah satu alis yang terangkat. "Baiklah kalau itu mau mu." jawabnya santai.
Dengan menggunakan lift mereka tiba di lantai dasar. Alde berjalan mengikuti Bian dari belakangnya. Tidak terlalu banyak orang di sekitar mereka membuat Alde merasa jika lantai rumah sakit yang biasanya selalu ramai pada siang hari saat ini berubah menjadi cukup luas. Beberapa lampu dinyalakan untuk membantu pengelihatan mereka yang memendek karna kegelapan ketika melewati lobi rumah sakit, terutama untuk ruang UGD dan IGD yang terus terbuka selama dua puluh empat jam penuh.
Ketika mereka berada di depan pintu keluar, Bian menghentikan langkahnya. Ia membalikkan tubuhnya untuk menatap Alde yang berada di belakangnya."Aku akan mencari taksi untukmu, kau tunggu—"
"Alde?" seseorang memotong kalimat Bian.
Bian yang tak suka dipotong kalimatnya mengerutkan keningnya dan menatap asing sosok yang saat ini bediri di belakang Alde. Karna penasaran, sang pemilik nama segera mengikuti arah pandang Bian.
Manik coklat jernih bertabrakan dengan manik hitam segelap langit malam. Sadar jika ia mengenal siapa pemilik manik tersebut, kedua alis Alde terangkat tinggi.
"Elio?"