Chereads / Öde / Chapter 12 - 11

Chapter 12 - 11

Sudah tiga puluh menit sejak nenek pak Bian keluar dari ruang ugd dan dipindahkan ke dalam ruang rawatnya. Di dalam ruang rawat kelas VVIP ini Alde duduk di atas kursi di samping kasur, memperhatikan sang nenek yang sedang tertidur dengan tenang.

"Apa dia sudah bangun?"

Alde menoleh, mendapati Bian yang sudah berjalan masuk ke dalam ruang rawat sembari membawa amplop coklat—yang entah berisi apa—di tangannya. Dengan segera Alde berdiri dari kursi tempat ia duduk, "Dia masih tidur," jawabnya. "Dokter bilang kondisinya sudah stabli, tapi masih perlu dipantau lagi." lanjutnya.

Bian menganggukkan kepalanya. Ia mendudukkan dirinya di atas kursi yang sebelumnya Alde tempati lalu menggenggam erat tangan sang nenek yang belum sadarkan diri.

"Benar-benar..." ucapnya dengan suara bergetar. "..kapan kau akan berhenti membuatku khawatir?"

Alde tak mengatakan apa pun. Ia hanya memperhatikan pria yang saat ini kedua bahunya bergetar, seperti sedang menahan tangis. Untuk pertama kalinya ia melihat dari sosok lain dari pria yang biasanya selalu ditakuti oleh seluruh mahasiswanya itu.

Jujur saja, Alde paling tidak tega melihat orang yang terpuruk seperti ini. Ketika ia hendak mengulurkan tangannya untuk menenangkan Bian, ponsel yang sebelumnya sudah ia taruh di dalam tas tiba-tiba saja berbunyi nyaring. Membuat sang pemilik terkejut, begitu pula dengan Bian yang duduk di sampingnya.

"Maaf, aku akan segera mengangkatnya." ucap Alde buru-buru sembari berlari keluar. Meninggalkan Bian yang hanya memperhatikan kepergiannya.

Di luar, Alde segera merogoh isi tasnya untuk mengangkat panggilan yang berasal dari Nyla. Menjauhkan ponselnya dari telinga ketika mendengar jeritan panik wanita itu yang sangat nyaring.

"Kau saat ini di mana Alde!"

"Tenang dulu Nyla." ucap Alde berusaha menenangkan sahabatnya. "Aku baik-baik saja."

"Lalu, kalau kau baik-baik saja kenapa kau bisa di rumah sakit?!"

"Ceritanya panjang, akan kujelaskan nanti."

"Baiklah." helaan nafas yang lolos dari mulut Nyla terdengar dari sebrang panggilan. "Ngomong-ngomong, kelas pak Bian--"

"Dibatalkan, benar?" potong Alde.

"Bagaimana kau tau?"

"Karna... dia saat ini ada di sini bersamaku."

"..."

Terdapat jeda di antara mereka, membuat Alde bingung jika panggilan sudah terputus atau belum. Hingga ketika Nyla tiba-tiba saja menjerit, membuat Alde yakin jika panggilan mereka belum terputus.

"Kau bohong!"

"Aku tidak bohong."

"Berikan aku bukti kalau begitu."

Alde memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Terkadang sifat Nyla yang seperti ini membuatnya cukup agak jengkel. "Bukannya aku tidak mau memberikan bukti, hanya saja keadaannya—"

Kalimat Alde terputus. Ponsel ditangannya tiba-tiba saja diambil secara paksa oleh seseorang dari belakangnya, membuatnya segera menolehkan kepalanya untuk melihat siapa gerangan sang pelaku. Dan ketika ia melihat jelas sosoknya, kedua bola mata coklat jernih Alde terbelalak.

"Kau temannya..." Bian melirik ke arah Alde.

"Alde, Pak Bian." jawab Alde.

"Temannya Alde, bisakah kau jemput temanmu di sini?"

"Tunggu dulu Pak—"

Ketika Alde hendak memprotes Bian sudah terlebih dahulu menaruh telapak tangannya dihadapan wajah Alde. Membuat wanita itu menghentikan seluruh gerakan juga ucapannya. Untuk beberapa saat Bian terus berbicara dengan Nyla sebelum akhirnya mengatakan, "Ya, aku dan Alde akan menunggu kedatanganmu." dan mematikan panggilannya. "Pulanglah setelah temanmu datang. Aku akan membayar biaya transportasi kalian." lanjutnya sembari mengembalikan ponsel Alde.

"Tapi Pak, aku—"

"Bian?" panggilan yang terdengar cukup lemah itu memotong kalimat Alde. Keduanya yang saat ini beridiri di depan pintu kamar rawat yang terbuka segera menoleh ke dalam.

"Nenek!" jerit Bian. Dengan segera kembali berlari masuk ke dalam. "Kau sudah sadar? Apa yang kau rasakan saat ini? Apa ada yang sakit?" cecarnya tanpa henti.

Alde menyusul ke dalam, melihat jika sang nenek yang sebelumnya masih terlelap saat ini sudah sadar dan menatap sayu satu-satunya cucu miliknya.

"Aku baik-baik saja, kau tidak usah khawatir." jawabnya dengan nada lembut. Tangan kanannya yang terpasang selang infus terulur, menggapai wajah Bian yang saat ini terlihat cukup penuh akan kesedihan dan kekhawatiran.

"Jangan bohong." balas bian tak percaya. Secara, ia baru saja diinformasikan oleh dokter jika neneknya terkena gejala stroke ringan.

"Aku berkata jujur" sang nenek tersenyum. Ia mengusap lembut pucuk kepala Bian.

Merasa jika kehadirannya malah hanya akan menggagu, Alde memutuskan untuk segera pergi tanpa sepengetahuan kedua orang dihadapannya. Ia berbalik dan mulai melangkah pergi. Namun...

"Oh, kenapa kau pergi dengan terburu-buru nona?"

Suara itu membuat tubuh Alde menegang. Langkahnya terhenti. Ia menggenggam erat totebag miliknya, menarik nafas sedalam mungkin sebelum akhirnya memutuskan untuk berbalik dan memperlihatkan wajah penuh senyuman miliknya.

"Apa kabar nenek?"

Kedua alis sang nenek terangkat tinggi. Ia menatap Alde lekat-lekat sebelum akhirnya berkata, "Kenapa kau bisa di sini?!"

Alde memperlihatkan deretan gigi putihnya. Menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Panjang ceritanya hehe..."

"Astaga nak, apa aku merepotkan mu ketika aku tak sadar?"

"Tidak! Aku tak pernah merasa di repotkan kok. Jangan berpikiran seperti itu." jawab Alde cepat sembari menggelengkan kepalanya.

"Ah... aku pun belum berterima kasih atas apel yang kau berikan saat itu." senyuman muncul di wajah sang nenek, membuat kerutan di wajahnya cantiknya semakin jelas. "Terima kasih, apelnya sangat manis dan enak."

Alde tertawa. "Itu hanya apel murah yang kubeli di toko buah."

"Tapi tetap, aku sangat menyukainya." balas sang nenek ramah.

Ditengah-tengah itu, Bian yang sedari tadi hanya menyimak percakapan keduanya akhirnya memutuskan untuk angkat suara. "Kalian... saling mengenal?"

Sang nenek menganggukkan kepalanya. "Dia wanita manis yang aku ceritakan pada mu itu loh."

"Yang mana?" tanya Bian, tak bisa mengingat cerita yang dimaksud sang nenek.

Decihan kecil lolos dari mulut sang nenek. "Makanya, ketika orang tua berbicara kau seharusnya mendengarkan. Bukannya sibul mengerjakan pekerjaanmu itu."

"Tapi pekerjaanku itu cukup penting nenek." jawab bian, merasa tak adil jika ia disalahkan.

"Kalau pekerjaanmu sangat penting, kenapa kau tidak menikahi pelerjaanmu saja?"

"Nenek!"

Kekehan lolos dari mulut Alde. Lagi, ia menemukan sisi lain dari Bian yang tak pernah ia sangka. Jika ia menceritakan hal ini pada Nyla wanita itu pasti tidak akan mempercayainya.

Ditengah-tengah argumentasi antara cucu dan nenek itu, ponsel Alde kembali bergetar. Ia mendapat pesan jika saat ini Nyla sudah sampai di depan rumah sakit, menunggunya untuk menemuinya.

"Umm... maaf, sepertinya aku harus segera pergi." ucap Alde, membuat Bian dan sang nenek menoleh ke arahnya.

Awalnya Bian hanya ingin mengucapkan salam perpisahan saja pada Alde dan memberikan uang transportasi seperti janjinya. Namun, ketika neneknya dengan penuh paksaan menarik tangannya yang hendak merogoh saku celana dan memberi isyarat dengan dagu untuk menyusul Alde yang sudah berjalan keluar. Akhirnya, dengan penuh keenggan dan berat hati ia melakukannya. Menuruti permintaan merepotkan dari nenek yang sangat ia sayangi.

"Tunggu! Alde!"

Panggilan itu membuat sang pemilik nama memperlambat langkahnya dan menoleh. "Kenapa Pak?" tanyanya.

Bian yang sudah berjalan di samping Alde menjawab. "Biar ku antar."

Alde tak suka jiak ia merepotkan orang. "Tidak u—"

"Sst!" Bian menaruh jari telunjuknya di depan bibir Alde sebelum wanita itu sempat melayangkan protes ke arahnya. "Sudah jalan saja." lanjutnya sembari mendahului Alde. Meninggalkan wanita yang saat ini hanya bisa terdiam dan menatap punggungnya yang menjauh.

Seharusnya Alde itu bukan orang yang mudah terpancing emosinya. Namun sifat bian yang sedari tadi membuat keputusan untuknya tanpa menanyakan persetujuannya benar-benar...

"Membuatku sangat jengkel..."