"Aldeeee!!!"
Sekencang mungkin Nyla berlari ke arah Alde, memeluk erat sahabatnya yang terkejut karna jeritan melengkingnya.
"Kau baik-baik saja kan? Tidak ada yang terluka kan? Tidak ada yang sakit?" tanyanya bertubi-tubi, membuat Alde tersenyum karnanya.
"Aku baik-baik saja Nyla." jawabnya.
"Kau yakin?" tanya Nyla lagi, memastikan.
Alde menganggukkan kepalanya.
"Karna temanmu sudah datang berarti bagian ku sudah selesai." ucap tiba-tiba Bian yang sedari tadi diam memperhatikan interaksi antar kedua wanita itu. Nyla yang baru menyadari kehadirannya hanya bisa melongo tanpa berkata apa-apa. "Ini untuk biaya transport dan makan siang kalian yang seperti kujanjikan tadi." tangannya mengulurkan beberapa lembar uang yang membuat kedua bola mata Nyla terbuka lebar selebar lebarnya.
Awalnya Alde hanya memperhatikan uang itu. Hingga ketika Nyla hendak mengambilnya, disitulah Alde menampik keras tangannya. "Maaf, aku hanya menerika kalimat 'Terima Kasih' yang tulus saja." jawabnya sambil tersenyum manis.
Bian yang untuk pertama kalinya mendengar seseorang mengatakan kalimat sarkasme padanya hanya bisa menatap Alde dengan ekspresi terkejutnya.
"Semoga nenek cepat sembuh. Kalau begitu, aku dan temanku permisi untuk pergi." lanjutnya acuh lalu menyeret Nyla untuk melangkah pergi dari sana.
"Kau sudah gila Alde, menolak uang sebanyak itu!"
Senyuman miring tersungging di wajah oval Alde. "Aku tak perlu uang dari orang seperti itu. Aku masih bisa bekerja untuk menghasilkannya sendiri."
"Tapi kau bisa membayar tagihan tempat tinggalmu untuk bulan depan dengan uang itu."
Langkah Alde terhenti. Apa yang dikatakan oleh Nyla ada benarnya juga. Dengan nominal uang sebesar itu ia bisa membayar biaya sewa tempat tinggalnya untuk sebulan kedepan dan makan enak. Memang... penyesalan selalu datang terakhir.
"Mau kembali lagi mengambil uangnya?" tanya Nyla ketika melihat raut penyesalan dari wajah Alde.
"Tidak!" tegasnya sebelum kembali berjalan dan meninggalkan Nyla.
"Eh, Alde! Tunggu!" jeritnya bergegas mengejar Alde yang sudah menghentikan taksi.
Diperjalanan pulang Nyla sibuk menanyaan detil kronologi yang menyebabkan Alde bisa sampai dibawa paksa oleh ambulans menuju rumah sakit. Memintanya untuk menjelaskan tiap detil kejadian yang ia alami hingga bisa bertemu Pak Bian.
"Jadi... nenek yang menunjukkan arah rumah Kakek yang menolong kita itu adalah neneknya Pak Bian?"
Alde menganggukkan mantap kepalanya.
"Hahaha benar-benar kejadian yang absurd..." ucap Nyla masih tak bisa mempercayai apa yang baru saja Alde ceritakan. Akan tetapi, mau tidak mau ia tetap harus mempercayainya. Apalagi setelah melihat sosok Pak Bian yang mengantar Alde keluar dari rumah sakit.
"Pak supir, aku turun di sini saja." Alde menepuk bahu sang supir yang duduk di hadapannya.
"Baik nona." jawabnya.
Nyla mengedipkan matanya beberapa kali, "Kau mau ke mana?" tanyanya.
Alde tersenyum, ia mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar taksi dan memberikannya pada Nyla. "Mengunjungi Kakek Ios." jawabnya lalu melangkah keluar ketika taksi berhenti di pinggir jalan.
"Eh? Loh? Tunggu dulu—"
Alde menutup pintu taxi, melambaikan tangannya pada Nyla yang entah mengatakan apa di dalam mobil yang sudah melaju pergi.
"Nah sekarang..."
Alde merogoh tasnya untuk mengeluarkan ponsel pintar miliknya, membuka maps dan mulai melangkah menuju rumah Kakek Ios yang alamatnya sudah ia simpan di dalam map penunjuk jalan otomatis tersebut.
Dua jam menit Alde berjalan, melewati jalur yang ditunjukkan oleh maps. Seharusnya dengan aplikasi muthakhir ini Alde tidak perlu merasa tersesat lagi. Seharusnya seperti itu.
Seharusnya...
"Ini di mana...?" gumam Alde ketika hanya melihat tanah kosong yang saat ini berada di hadapannya.
Seharusnya ia sampai di depan sebuah rumah kecil sederhana, tapi kenapa yang ia temukan malah...
"Astaga, kenapa menemukan satu rumah saja sesulit ini!" desis Alde kesal, mengusak kasar kepalanya, tak peduli jika hal tersebut malah rambutnya berantakan.
Di setiap kelebihan pasti ada kekurangan. Walau Alde cukup pintar memecahkan tiap soal yang diberikan oleh dosen-dosennya, tapi jika tak bisa membedakan kanan dan kiri adalah penyiksaan tersendiri untuknya. Terlebih jika harus mencari alamat seperti ini.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Alde menjongkokkan tubuhnya, menyembunyikan wajah frustasinya dibalik kedua kakinya.
Di tengah-tengah dirinya yang sedang berusaha mencari jalan keluar, tiba-tiba saja sebuah sepedah yang dikendarai oleh seseorang berhenti di samping Alde.
"Loh, Alde? apa yang kau lakukan di sini?"
Sapaan itu membuat Alde menolehkan kepalanya. Kedua alisnya terangkat ketika melihat siapa sosok yang berada di atas sepedah tersebut. Manik coklat jernihnya bertabrakan dengan manik hitam gelap yang berada di balik kacamata tebal itu, membuatnya seketika mengingat siapa gerangan pria yang saat ini tersenyum ke arahnya.
"Elio?!" serunya.
Sang pemilik nama menganggukkan kepalanya. "Kenapa kau berjongkok di sini? Kau kehilangan sesuatu?" tanya Elio lagi. Setelah menstandarkan sepedanya ia segera mendekati Alde dan berjongkok di sampingnya. "Mau kubantu mencarinya?"
Cepat-cepat Alde menggelengkan kepalanya dan berdiri. "Tidak! Aku tidak kehilangan apa pun!" ucapnya.
Elio ikut berdiri. "Lalu?"
Alde menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Sambil menyembunykan wajahnya yang memerah ia mencicit, "Aku... tersesat."
Kedua alis Elio terangkat. "Memangnya kau mau ke mana?"
Alde segera membuka layar ponselnya yang terkunci, memperlihatkan alamat yang dituju pada Elio.
Elio membaca alamat tersebut. Awalnya ia menoleh ke arah Alde, memperhatikan sosoknya sebelum akhinya berkata, "Ini... sangat jauh dari sini...."
Seketika harapan Alde untuk memberikan makanan buatannya pada Kakek Ios pupus. Masalahnya, saat ini hari sudah cukup sore dan Alde tak yakin jika makanan yang ia buat dapat bertahan hingga malam.
"Jangan murung seperti itu, kau pasti bisa mengunjunginya lain waktu." Elio menepuk punggung Alde lembut, berusaha menghiburnya.
Alde menoleh ke arah wajah Elio yang ceria. Helaan nafas lolos dari mulutnya. Mau bagaimana lagi, salahnya juga yang tak bisa segera datang mengunjungi Kakek Ios. Kalau sudah seperti ini mau bagaimana lagi?
"Hei, apa kau lapar?"
Elio mengangkat kedua alisnya, pertanyaan yang tidak pernah ia harapkan untuk ditanyakan padanya. "Hmm... aku belum makan dari siang sih."
"Baiklah, kalau begitu..." Alde menyodorkan totebag berisikan makanan miliknya pada Elio. "Ini untukmu."
Melihat bekal yang disodorkan padanya Elio segera mengambilnya. Ia memperhatikan bekal tersebut lalu beralih pada wajah Alde. "Ini...?"
"Bekal makan siang, kau habiskan saja." ucapnya. "Karna aku masih ada urusan aku perg—"
Belum sempat Alde membalikkan tubuhnya dan menyelesaikan kalimatnya, Elio sudah terlebih dahulu menggenggam tangannya dan menahannya untuk tak pergi.
"Tunggu dulu." ucapnya.
"Ya?"
"Ini bekal untuk dua orang kan?"
Alde menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Aku tak suka jika harus makan sendiri," lanjut Elio. "Maka dari itu, kau temani aku makan."
Manik coklat jernih Alde mengedip cepat beberapa kali. "Huh?"
"Sudah ayo ikut!" seret pria itu, menyuruh Alde untuk duduk di bangku belakang sepedahnya.
"Tu- tunggu dulu!"
Elio tak mendengar protesan Alde. Dengan penuh semangat ia menancapkan maju sepedahnya, membawa mereka pergi entah ke mana.
"Kau mau membawaku ke mana?!"
Tak ada jawaban dari sang pengemudi membuat Alde memanyunkan bibirnya. Dua kali berturut turut ia diabaikan oleh dua pria yang berbeda. Sebenarnya Alde kesal, namun karna sudah terlanjur diseret ia akhirnya hanya bisa menghembuskan napas pasrah.
Hembusan lembut angin yang tiba-tiba menerpa wajah membuat Alde merasa nyaman. Tanpa sadar ia sudah berpegangan pada pinggang Elio dan menyandarkan kepalanya pada punggung pria itu. Lelah yang sebelumnya ia rasakan pun sudah menghilang, digantikan oleh sebuah kenyamanan yang cukup asing untuknya.
"Kita sudah sampai!"
Bersamaan dengan itu sepedah yang ditumpangi oleh Alde berhenti, menyadarkannya dari perbuatan yang telah ia lakukan. Cepat-cepat Alde segera melepas pegangannya dari pinggang Elio dan duduk tegak. Walau begitu wajah meronanya tak bisa ia sembunyikan dari tatapan pria itu.
"Hm? Kenapa? Apa kau kepanasan?"
Alde menggelengkan kepalanya. "Tidak!" ia segera turun dari sepedah Elio dan membalikkan tubuhnya. "Ayo cepat kita makan!" lanjutnya sembari berjalan pergi, meninggalkan Elio yang terkekeh melihat kelakukan aneh Alde.
Saat ini mereka tiba di salah satu taman yang cukup sepi. Hanya ada beberapa anak kecil yang bermain, dan mereka berada cukup jauh dari Alde dan Elio.
"Di sini saja bagaimana?"
Elio menunjuk sebuah tempat yang berada di bawah sebuah pohon yang daunnya cukup rimbun. Terlihat cukup nyaman untuk mereka tempati.
"Boleh." jawab Alde.
Elio menyandarkan sepedahnya pada bagian lain dari pohon dan ketika ia melihat Alde yang hendak mendudukkan dirinya di atas rerumputan dengan segera Elio menghentikannya, "Tunggu!" cepat-cepat pria itu merogoh isi tasnya dan mengeluarkan sebuah syal berwarna biru gelap yang akan ia jadikan alas mereka duduk. Syal tersebut terlihat cukup besar dan panjang untuk ditempati oleh mereka berdua. Dan ketika Elio selesai menyiapkan barang-barang tersebut, ia akhirnya mempersilahkan Alde untuk duduk. "Silahkan duduk, nona." ucapnya seperti sedang melayani tamu restoran.
Alde yang menganggap itu lucu tertawa. Dengan segera ia mendudukkan dirinya di atas syal milik Elio, lalu di susul dengan sang pemilik yang mendudukan diri di sebelahnya.
"Kau suka sayur?" tanya Alde sembari membongkar bekal yang sudah ia buat.
"Apa pun yang kau berikan akan aku makan." jawab jujur Elio. "Aku bukan orang yang pemilih kok." lanjutnya sembari tersenyum jenaka.
Alde tersenyum, ia memperlihatkan masakan yang sudah ia persiapkan sejak pagi. Tumis sayur, daging lada hitam, dan juga telur dadar gulung.
"Maaf hanya bisa memberikan makanan sederhana."
Elio menoleh, "Tidak papa, sudah dapat makanan gratis saja aku sangat senang." jawabnya senang.
Tanpa ragu Elio segera mengambil sendok dan menyuap makanan tersebut ke dalam mulutnya. Ia terkejut ketika merasakan rasa yang cukup menggugah sekeranya. "Enak!" ucapnya sembari memasukkan lagi makanan yang lain ke dalam mulutnya.
"Pelan-pelan makannya." ucap Alde sembari memberikan botol berisikan air putih miliknya pada Elio, takut jika pria itu tersedak.
"Haaf, sehenarnha ahu suhah mehahan lahar hari hahi." Elio berbicara dengan mulut yang penuh.
Alde yang tak mengerti hanya bisa mengerutkan dahinya. "Huh?"
Merasa jika mulutnya terlalu penuh Elio segera mengunyah makanannya lalu menelannya. "Sebenarnya aku belum makan dari pagi."
Kedua alis Alde terangkat tinggi.
'Bukankah ia bilang ia tidak makan dari siang?'
Melihat ekspresi wajah Alde, Elio segera melanjutkan kalimatnya. "Aku bukan orang yang suka makan. Biasanya aku hanya makan sedikit, itu pun jika aku ingat. Tapi..." Elio menatap bekal di tangannya, "... entah mengapa ketika aku mencicipi makananmu nafsu makan ku bangkit. Dan tiba-tiba saja tanpa sadar mulutku sudah penuh dengan makanan milikmu."
Alde tersenyum. Baguslah jika ada orang yang menyukai masakan buatannya. "Kalau begitu, apa kau mau aku buatkan bekal setiap hari?"
"Tidak usah, aku tak ingin merepotkanmu." tolak Elio.
"Eh, aku tidak keberatan kok. Lagipula aku senang jika ada orang lain yang memakan makananku selain diriku."
Elio berpikir sesaat lalu kembali bersuara. "Tapi aku akan membayar bahan makanannya ya."
"Loh, tidak usah."
"Aku tak mau menerima makanannya secara gratis. Setidaknya biarkan aku membayar bahan makanannya."
Alde terdiam sesaat, berpikir untuk menyetujuinya atau tidak. Dan akhirnya ia pun menyerah, tak mau memperpanjang masalah makanan ini dan menganggukkan kepalanya. "Uuuh baiklah kalau begitu." sepakat Alde. Ternyata Elio adalah orang yang cukup sulit untuk diajak bernegosiasi.
"Makanannya boleh kuhabiskan?" tanya Elio, ketika ia sudah tak sabar untuk melahap masakan Alde lagi.
Dengan segera Alde menganggukkan kepalanya. Bahkan ia memberikan separuh nasi miliknya. "Makanlah yang banyak."
Tanpa di suruh pun Elio akan melakukannya. Dengan penuh semangat ia melahap semua makanan yang berada di hadapannya, membuat Alde tersenyum senang karnanya.
Memiliki seseorang untuk menemaninya makan ternyata cukup menyenangkan.