Dengan kepala yang terus menoleh kesana kemari Alde melangkahkan kakinya. Bermodalkan ingatan dan alamat yang tertulis di balik kartu nama yang ia terima, Alde Mencari rumah yang seminggu lalu ia tinggalkan bersama Nyla dengan harapan untuk kembali lagi ke sana. Bertanya pada orang-orang di sekitar yang sekiranya lebih mengetahui daerah ini dan akan mengarahkannya pada tempat yang tepat.
"Permisi." sapa Alde dari luar pagar rumah setinggi dada pada seorang wanita berumur yang sedang menyirami tanaman di halaman rumahnya. "Boleh aku bertanya sesuatu?"
Mendengar sapaan Alde, wanita itu segera mematikan keran air yang tehubung pada selang dan berjalan mendekatinya. "Ya, ada apa nona?"
"Maaf nek saya ingin bertanya, apa kau tau alamat ini?" sambil tersenyum ramah Alde menyodorkan secarik kartu nama yang ia pegang pada nenek itu. Membiarkannya membaca alamat yang tertera jelas di sana.
"Oh, kau mau ke rumah kakek Ios?"
'Kakek Ios? Apakah itu nama panggilannya?' batin Alde bingung.
"Kalau rumah kakek Ios ada di di bagian ujung jalan. Kau tinggal lurus saja dari jalan ini lalu belok ke kiri, jalan terus hingga mentok dan kau akan menemukan rumah kecil miliknya."
Memahami arahan yang diberikan oleh sang nenek, Alde segera menganggukkan kepalanya. "Terima kasih untuk penjelasannya nek." ucapnya senang.
Nenek tersebut menyunggingkan sebuah senyuman ketika melihat wajah ceria Alde. "Kau lebih manis ketika tersenyum seperti ini." tangannya sudah terulur untuk menyibakkan surai hitam Alde yang menutupi sebagian wajah tirusnya.
Diberikan pujian secara tiba-tiba membuat Alde tersipu malu. Sangat jarang ada orang yang mau memuji wajahnya. Hanya almarhum sang kakek seorang yang selalu melakukannya.
"Nenek juga cantik. Apalagi dengan jepit kupu-kupu yang manis itu." ucap Alde. Balik memuji sang nenek yang saat ini sudah tertawa senang.
"Ah... coba saja cucuku membawa pacar sebaik dan semanis dirimu..."
Alde hanya bisa tersenyum ketika mendengarnya. Merasa jika telah menyita waktu sang nenek terlalu lama, ia memutuskan untuk menyudahi percakapan mereka. "Nek," panggilnya. Alde merogoh isi dari kantung plastik yang ia bawa. Mengeluarkan tiga buah apel dari total sepuluh apel yang tadi ia beli di toko buah dan memberikannya pada sang nenek. "Anggap saja sebagai rasa terima kasihku dan bayaran karna telah menyita waktumu."
Kedua alis sang nenek terangkat tinggi ketika melihat apel merah yang sudah berada di tangannya.
"Tapi—"
Sesaat sebelum sang nenek bisa mengeluarkan penolakannya Alde sudah terlebih dahulu berlari pergi dari sana.
"Terima kasih ya nek!" jeritnya dari jauh, hanya mau menoleh tanpa mau berhenti berlari.
Melihat itu, sang nenek hanya bisa menghela nafas lalu tersenyum.
"Kalau saja cucuku memiliki jodoh seperti dirimu."
Mengikuti arahan yang sudah diberikan, Alde melangkahkan kakinya sesuai dengan jalur yang ada. Ketika tiba di ujung jalan ia segera berbelok ke arah kanan. Tanpa henti ia terus berjalan, mencari rumah yang menjadi tujuannya namun, entah mengapa ia tak kunjung menemukannya.
.
"Benar kan jalannya ke arah sini?" gumamnya ketika ia merasa mulai berputar-putar di tempat yang sama.
Sebenarnya arahan dari sang nenek sudah benar. Hanya karna Alde yang tak bisa membedakan kanan dan kiri saja membuatnya terus berputar pada tempat yang salah dalam waktu yang lama.
Walau begitu, ia masih belum putus asa. Alde terus berjalan untuk mencari rumah sang kakek yang masih tertanam jelas di dalam memorinya, merasa jika ia sudah tak jauh lagi dari sana. Namun, bukannya menemukan rumah sang kakek, Alde malah menemukan sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.
"Sudah kubilang untuk tidak mengacak-acak tong sampah rumahku kan?!"
Bentakan yang terdengar dari jauh itu membuat manik coklat jernih Alde mengarah pada dua pria yang saat ini tengah bersitegang di pinggir jalan. Ia melihat jika ada seorang pria berumur empat puluhan dengan perut buncit yang sedang memarahi seorang kakek bertubuh agak bungkuk. Kakek yang sama dengan orang yang telah menyelamatkan nyawa Nyla dan Alde seminggu yang lalu.
"Maafkan aku Pak, aku tidak ingin mengacak-acaknya hanya ingin melihat apakah ada kardus yang bisa aku ambil atau—."
"Tidak ada sampah untukmu, sudah sana cepat pergi!" potongnya dengan nada tiggi yang sama sebelum mendorong tubuh ringkih sang kakek dengan tangan gendutnya. Jika bukan karna gerobak yang berada di belakangnya, mungkin saat ini sang kakek sudah jatuh tersungkur di atas aspal jalanan.
Tanpa mengatakan apa pun kakek itu segera menyeret gerobaknya pergi, tak ingin memperbesar masalah. Namun, merasa masih belum puas, pria berperut buncit itu tiba-tiba saja menendang gerobak sang kakek kencang hingga terguling hingga membuat semua kardus dan botol plastik bekas yang sudah ia kumpulkan susah payah jatuh berserakan ke jalanan.
"Dasar pemulung." desis angkuh pria gendut itu sebelum berjalan masuk ke dalam rumahnya. Meninggalkan sang kakek yang sudah mulai mengumpulkan kembali kardus dan botol bekas yang berserakan tanpa mengatakan apa pun.
Alde yang sudah tak tahan lagi segera berlari mendekati sang kakek. Dengan wajah yang sudah memerah karna menahan amarah ia membantu sang kakek untuk mengangkat kembali gerobaknya lalu membantunya memunguti barang-barang. "Kenapa kakek hanya diam saja?"
Sang kakek yang saat ini sudah menatap kehadiran Alde tersenyum. "Tidak papa, kakek sudah terbiasa."
Jawaban itu membuat Alde menggigit kencang bibir bawahnya. "Tapi itu bukan hal yang harus dibiasakan."
Kedua alis sang kakek terangkat. Ia kembali menatap Alde yang kini sudah mengangkat tumpukan kardus bekas terakhir.
"Pekerjaan kakek memang bukanlah pekerjaan yang bagus, tapi bukan berarti kakek harus menerima ketika direndahkan seperti itu." lanjutnya sembari membantu sang kakek berdiri lalu mulai berdiri di bagian depan gerobak. "Ayo kek, biar aku bantu menarik gerobaknya."
Balasan yang tak pernah sang kakek perkirakan untuk keluar dari mulut seorang wanita muda di hadapannya. Sang kakek hanya diam ketika melihat Alde yang sudah berjalan menyeret gerobaknya. Alde yang merasa jika tidak ada yang mengikutinya segera berhenti melangkah dan menoleh ke belakang. "Kakek kenapa diam saja?"
"Aku akan segera ke sana." ujar sang kakek cepat, lalu segera berjalan menyusul Alde.
Keduanya berjalan beriringan, dengan Alde yang bersikeras untuk menyeret gerobak sang kakek sendirian, melarang pria paruh baya itu untuk membantunya walau hanya mendrongnya dari belakang sekalipun.
"Apa kau tidak lelah?"
"Pekerjaan ringan seperti ini adalah hal yang mudah untukku." jawab Alde sembari tersenyum riang walau peluh sudah membasahi wajahnya. "Sekarang, kita mau ke mana? Apa kakek mau mencari kardus-kardus lagi? kalau iya, aku akan mem—"
"Karna hari sudah sore, lebih baik kita segera pulang saja" potong sang kakek tiba-tiba.
Alde menganggukkan kepalanya. Dituntun oleh sang kakek, mereka akhirnya tiba pada rumah kecil yang seminggu lalu Alde tinggalkan dengan niatan untuk kembali.
" Ayo masuk, tinggalkan saja gerobaknya di depan rumah."
Menuruti arahan sang kakek, Alde segera meninggalkan gerobaknya di depan rumah dan berjalan masuk. Tak lupa, ia pun mengambil keresek berisikan apel yang ia bawa untuk ia berikan pada sang kakek juga totebag kesayangan miliknya.
"Duduklah."
Di ruang tengah yang menjadi satu dengan ruang tamu itu Alde mendudukkan dirinya di atas lantai beralaskan karpet tipis. Ia menunggu sang kakek yang saat ini sedang berkutat di dapur dan kembali dengan membawakannya segelas teh dingin.
"Kenapa kau kembali lagi kemari?"
Pertanyaan to the point itu membuat Alde segera memngingat tujuannya kemari. Ia segera merogoh totebagnya untuk mengembalikan baju-baju milik cucu sang kakek yang sebelumnya ia dan Nyla pakai ketika meninggalkan rumah ini juga memberikan keresek berisikan apel merah yang ia bawa dari awal ia meninggalkan toko buah
"Aku ingin mengembalikan ini."
Sang kakek menerima baju yang dikembalikan oleh Alde. Namun, ketika ia melihat isi dari keresek yang juga diberikan oleh Alde, "Aku merasa jika aku tidak meminjamkan ini padamu."
Kekehan kecil lolos dari mulut Alde. "Itu sebagai rasa terima kasihku." jawabnya, "Maaf jika hanya bisa memberikan itu."
Sang kakek tidak mengatakan apa pun. Ia berjalan pergi untuk menyimpan baju yang dikembalikan oleh Alde, setelah itu berjalan menuju dapur sembari membawa keresek berisikan apel merah.
Beberapa menit Alde menunggu, berpikir jika sang kakek tak suka dengan hadiah yang ia bawa. Hingga akhirnya pria paruh baya itu kembali sembari membawa piring berisikan potongan apel yang sudah bersih lalu duduk di hadapan Alde.
"Padahal hanya dengan ucapan terima kasih darimu saja sudah cukup. Tidak usah membuang-buang uang hanya untuk ini."
"Tidak kek, aku tidak pernah merasa telah membuang uang jika untuk berterima kasih."
Senyuman yang muncul di wajah sang kakek mempertegas keriput yang ada di wajahnya. "Kalau begitu, aku terima niat baikmu."
Ketika sang kakek mulai melahap apel yang ia bawa, Alde tersenyum senang.
"Bantu aku menghabiskannya ya." ujar sang kakek pada Alde yang sedari tadi hanya memperhatikan. Dan dengan senang hati wanita itu mulai ikut melahap apel yang tersedia di hadapannya.
Entah untuk berapa lama Alde berbincang bersama sang kakek, saling mempernalkan diri dan berbagi cerita ringan satu sama lain.
"Kakek, kenapa kakek di panggil kakek Ios? Panggilan yang cukup jauh dari nama asli kakek."
Senyuman di wajah Kakek Ios menghilang. Manik mata yang sebelumnya terlihat ceria sudah berubah, digantikan dengan mata yang penuh akan kerinduan pada seseorang.
"Itu panggilan untuk cucuku." ucapnya. "Panggilan yang sudah tidak bisa aku sebutkan lagi "
Merasa telah mengangkat topik yang cukup berat untuk Kakek Ios, Alde menggenggam erat tangannya. "Maafkan aku kek."
"Untuk?"
Berpikir jika sang Kakek tak ingin membuat ia merasa bersalah, Alde segera menggelengkan kepalanya. "Apa kakek tidak kesepian tinggal di sini sendirian?"
"Kau tak usah memikirkan hal seperti itu, kakek sudah terbiasa." jawab sang kakek dengan santai.
"Kalau begitu, apa aku boleh datang berkunjung lagi? Hitung-hitung untuk menemani kakek di sini." tanyanya agak ragu.
"Tentu. Aku akan sangat senang jika kau melakukan itu. Rumahku akan cukup ramai."
Betapa leganya Alde ketika mendengar jawaban itu. Ia yang mengira akan mendapat penolakan akhirnya bisa tersenyum.
"Kalau begitu, aku akan mengunjungi kakek sesering mungkin."