Ara membuka matanya perlahan kepalanya terasa sakit seperti tertusuk ribuan jarum. Beberapa gambar silih berganti muncul dalam ingatannya semakin lama semakin jelas. Sekarang ia mengerti kenapa ia tidak ingat apapun dan merasa asing dengan keluarganya sekarang. Tapi merasa akrab dengan beberapa orang yang baru di jumpainya, karena mereka sebelumnya memang saling mengenal. Ara menghela nafas berat raut wajahnya kecewa dan sedih.
Ara ingat bagaiaman keluarga sebelumnya memperlakukannya itu karena ia hanya anak yang tidak di inginkan. Mungkin karena itu juga Kak Alden membuatnya mati di sana dan membawanya pergi jauh. Lalu siapa dia? Bagaimana dengan bunda dan kakak yang selalu menjaga dan menyaynginya sepenuh hati itu? Apakah mereka benar-benar keluarga kandungnya?
Ara terbaring menatap langit-langit kamar inapnya dengan tatapan kosong. Sekarang ia ingat semuanya, kenangan sebelum kecelakaan itu yang membuatnya hilang ingatan. Haruskah ia berterima kasih pada kakak kedua nya itu karena telah mendorongnya lagi hingga membuatnya kembali mengingat masa-masa yang telah ia lupakan dulu.
Ara tidak meragukan kasih sayang bunda dan kakaknya Kimi. Tapi ia ingin tahu kebenarannya waktu ia kecil kenapa ia sampai terdampar di panti asuhan dan di adopsi oleh orang lain. Lalu apa hubungannya dengan ibu angkat dan keluarga kandungnya, kenapa semuanya seolah di rahasiakan.
Suara pintu mengalihkan perhatian Ara, ia buru-buru memejamkan mata pura-pura tidur. Langkah kaki perlahan mendekati ranjang ia tidak tahu harus bagaimana memperlakukan Arka, haruskah seperti sebelum ia hilang ingatan atau setelah ia hilang ingatan.
"Hei.. Kapan kau bangun..".
Mendengar suara itu bukan milik dari orang yang ingin ia hindari Ara perlahan membuka matanya dan tersenyum lebar pada Ezhar.
"Kau menangis?".
Pertanyaan Ara membuat pemuda tampan itu terkejut hingga wajahnya terlihat lucu.
"K-kau.. Bangun! Syukurlah! Tunggu sebentar aku panggilkan dokter!".
Ara menahan tangan Ezhar lalu menggeleng "Aku baik-baik saja! Hanya sedikit pusing!".
"Kau sungguh baik-baik saja? Tidak ada yang kau lupakan atau sesuatu yang lain?".
Ara terkekeh, dalam hati ia bergumam... Tidak ada yang aku lupakan tapi aku mengingat semuanya.. Semua yang telah aku lupakan sebelumnya.
"Kau sendirian?"
Ezhar mengangguk "Aku pikir di sudah di sini?".
"Kapan aku boleh pulang? Rasanya sangat bosan di sini!". Ara mulai mengeluh.
"Hei, jangan jadi anak bandel! Bertahanlah dua hari lagi!".
Ara merengut "Itu artinya liburanku jadi tertunda!".
"Kau bisa datang lagi kapan pun kau mau!".
Kepala Ara tertunduk sedih sambil bergumam "Entah kapan lagi aku bisa datang ke sini?".
"Kenapa?".
Gadis itu menghela nafas lalu menatap Ezhar dengan senyum lebar "Bukan apa-apa! Hanya akan sangat sibuk setelah ini!".
❄❄❄
"Ara... Ara... Ara!"
Ara tersentak dan mengangkat wajahnya menatap Ezhar yang duduk di hadapannya. "Kenapa?"
"Kau melamun lagi?" tanya Ezhar dengan nada menuduh walaupun seulas senyum kecil terukir di bibirnya.
"Tidak" sahut Ara dan menyesap susu coklatnya yang ternyata sudah dingin. Sudah berapa lama mereka duduk di kafe ini? Entahlah.
Semenjak dua hari lalu ia di perboleh kan pulang oleh dokter dengan syarat istirahat yang baik dan minum obat dengan teratur. Dan selama dua hari itu pula ia berusaha menghindari Arka dan bersembunyi di kafe dekat kos bersama sahabatnya Ezhar pemuda yang menurut nya baik tapi penuh rahasia.
"Akhir-akhir ini kau sering melamun," tambah Ezhar sambil mengamati Ara dengan tajam "Kau tidak mendengar kata-kataku tadi, bukan?"
Ara mengabaikan pertanyaan Ezhar "Apa yang kau katakan tadi?" ia balas bertanya.
Ezhar menyandarkan punggung ke sandaran kursi "Hari ini Arka menelpon lagi dia bertanya apa kau sedang bersamaku! Aku harus menjawab apa padanya, kau tidak memberiku penjelasan tiba-tiba menghindarinya seperti dia adalah pembawa sial! Sebenarnya apa yang terjadi padamu!"
Ara menatap Ezhar hampa lalu mengangkat bahu.
Ezhar mendecakkan lidah melihat sikap sahabatnya "Keadaanmu tidak baik! Ayo kita pulang kau harus banyak istirahat!"
"Tidak!".
Ezhar menatap Ara terkejut lalu bertanya "Kenapa tidak!"
"Bosan!"
Ezhar lagi-lagi menghela nafas kali ini ia mengurut keningnya supaya pusing yang ia derita baru-baru ini sedikit berkurang.
"Aku.. Mungkin akan kembali dalam dua hari ini.."
Ara langsung menegakkan kepalanya menatap Ezhar serius "Kenapa tiba-tiba? Bukankah liburanmu masih panjang?"
Ezhar menghela nafas lagi untuk ke sekian kalinya ia menatap gelas minuman yang hampir kosong di atas meja lalu berkata "Yah, seharusnya kita menikmati masa muda dengan bahagia, bukan?" Ujarnya dengan suara tawa sumbang ia beralih menatap Ara "Tapi, tetap saja ada hal yang membuat kita harus dewasa sebelum waktunya! Apa aku benar?"
Ara terdiam ia mengerti maksud Ezhar, masalah keluarga terkadang memang sangat merepotkan. Ingin melarikan diri tapi kaki terjerat sejak lama dan membuatnya harus ikut terseret meskipun hati menolak. Ara tidak ingin bertanya lagi ia menatap Ezhar penuh simpati.
"Jika kau butuh teman bicara.. Kau tahu kemana harus menghubungi ku!"
Ezhar mengangguk pasti lalu sesaat kemudian ia menatap Ara tajam "Berapa lama lagi kau bisa bertahan!".
Ara terkejut. Tidak ada yang tahu tentang masalah itu kecuali ia sendiri dan dokter yang merawatnya selama ini. Bunda serta kakaknya saja tidak tahu bagaimana bisa Ezhar langsung tahu.
"Kau.."
Ezhar menyerahkan botol kecil pada Ara dengan wajah tertekan "Botol ini terlempar keluar dari tas mu waktu kau jatuh dari tangga!".
Ara menatap botol kecil di tangan Ezhar ia sudah mencarinya kemana-mana ternyata selama ini ada pada Ezhar. Ia mengambil botol kecil itu tangan nya bergetar "Siapa lagi yang tahu".
"Selain aku dan dokter tidak ada lagi!"
Ara menghela nafas lega ia mengenggam botol kecil itu erat-erat seakan-akan itu adalah harta berharga yang harus ia jaga dengan baik "Terima kasih.."
"Itu bukan jawaban!"
".... Dua tahun.."
Nafas Ezhar tertahan ia tidak tahu harus memperlakukan Ara seperti apa. Gadis itu sudah menyembunyikan penyakitnya sangat baik, rasanya ia ingin marah dan berteriak di depan wajah Ara tapi yang bisa ia lakukan hanya menghela nafas dan diam.
"Ya, awalnya aku juga tidak menyangka kalau ini akan terjadi, seharusnya itu masih bisa disembuhkan. Tapi karena satu kejadian membuatnya tersembunyi sampai aku sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain bertahan dengan ini" tunjuk Ara pada botol kecil yang sedang ia pegang.
"Bagaimana dengan pengobatannya?"
Ara tersenyum sedih "Aku menolak karena efek sampingnya akan membuatnya terlihat jelas!".
"Kau.. Apakah tidak ada semangat dalam dirimu untuk bertahan hidup sedikit saja!" geram Ezhar.
"Tentu saja Ada! Jika tidak kenapa aku harus minum obat ini terus menerus!"
"Obat itu tidak akan bisa bertahan lama! Semakin sering kau meminumnya efeknya kan berkurang perlahan-lahan!".
Ara terdiam. Benar. Semua yang di katakan Ezhar benar, sekarang ini tubuhnya semakin lemah dan mudah lelah, rambutnya juga perlahan-lahan mulai rontok. Tapi ia tidak ingin melakukan serangkaian pengobatan itu yang pada akhirnya ia tetap akan pergi.
"Aku akan bertahan! Setidaknya aku pernah mati satu kali jadi mati untuk ke dua kalinya tidak masalah untuk ku!"Ujar Ara santai.
Ezhar menatap Ara bingung "Apa yang kau katakan!"
"Bukan apa-apa!" Jawab Ara dan terkekeh, lalu ia kembali bertanya "Kapan kau akan kembali? Apa aku boleh ikut? Tidak ke rumahmu hanya sampai bandara saja! Aku juga harus kembali!"
Ketika mengatakan kembali mata Ara berbinar aneh membuat Ezhar terkejut. Ia belum pernah melihat gadis itu tersenyum dengan tatapan jahat sebelumnya.