Chereads / IMPERFECT CEO / Chapter 35 - 35. To Fancy Someone

Chapter 35 - 35. To Fancy Someone

Tak ada yang boleh menyalahkan seseorang atas rasa cinta yang ia miliki. Pada siapapun rasa itu ditujukan, katakan padanya dengan tegas bahwa itu adalah sebuah anugerah besar dari Sang Maha Kuasa. Nikmati saja mau kemana alur itu pergi. Melangkah lah jauh ke depan bersama dengan dorongan hati berdasar atas rasa yang sedang menyelimutinya. Rasa yang ada di dalam hati seseorang adalah cara terbaik untuk membuat hidup lebih bermakna setiap detiknya. Ketika seseorang tak punya rasa itu, hidupnya akan hampa dan kosong. Setiap detik yang dilalui hanya akan terasa begitu menjenuhkan saja.

Tak ada yang salah ketika menaruh rasa cinta pada seseorang. Semua benar hanya saja waktu yang datang di saat yang tidak tepat. Damian merasakan hal itu. Mencintai Luna sekarang ini bukan sebuah kesalahan hanya saja waktu yang keliru. Damian menyimpan rasanya dengan baik. Persahabatan yang menutupi kedok cintanya pada sang gadis membuat dirinya harus menyimpan banyak luka. Melihat Luna bahagia, tentu membuatnya ikut bahagia. Akan tetapi melihat Luna menderita dan terdesak oleh keadaan, tentu menjadi luka tersendiri untuk Damian Edaurus.

Pria yang selalu rapi dengan sisir rambut klimis mengarah ke belakang untuk menampilkan seratus persen dahinya itu kini berjalan tegas. Menyusuri setiap trotoar jalanan yang berada di bahu jalan raya. Ada satu tempat tujuan yang ingin dikunjungi olehnya petang ini. Sebuah tempat di mana banyak orang sakit menaruh harapan untuk kembali sehat dan hidup. Rumah sakit pusat kota. Di sana Damian akan bertemu dengan nenek tercinta. Mengidap penyakit kanker otak benar-benar membuat wanita tua itu merasakan sakit setiap detik dalam hidupnya.

Damian membawa banyak barang sekarang ini. Bunga kesukaan sang nenek dengan buah segar yang menjadi penemuannya. Ia akan menginap untuk satu hari di sana. Sebab kuliah akan libur besok pagi.

Seseorang kini menjeda langkah yang ia ambil. Dari kejauhan mata Damian tegas memotret perawakan gadis cantik berpostur tubuh ramping nan jenjang. Rambut pendek dengan tas selempang kecil itu seakan menjadi ciri khas tersendiri oleh seorang Luna Theresia Skye. Pria itu tersenyum ringan. Manik matanya masih fokus dengan langkah kaki yang dipercepat. Luna sedang menunggu jalanan senggang untuk memberi dirinya celah sekarang ini. Ia baru saja kembali dari tempat singgahnya sementara.

"Luna!" Ia memanggil. Tegas berlari untuk menjangkau posisi gadis yang ada di depannya sekarang ini. Yang dipanggil hanya menoleh. Tak berbicara, namun tersenyum manis hingga membuat kedua sisinya menggembung.

"Habis dari suatu tempat?" Damian menyela. Ikut tersenyum manis membalas apa yang diberikan Luna untuk dirinya sebelum ini. Gadis itu mengangguk-angguk ringan. Kini melirik apa yang ada di dalam genggaman tangan Damian.

"Mau pergi ke suatu tempat?" tanyanya menimpali.

"Ke rumah sakit. Aku akan menginap di sana selama satu hari." Pria itu menyahut. Kini berdiri sejajar dengan Luna sembari menatap lampu hijau menyala.

"Nenekmu sudah membaik?"

Damian menggeleng. "Usianya semakin rentan. Jadi kami tak akan kecewa jika Tuhan menjemputnya."

Luna menghela napasnya kasar. Tak salah apa yang dikatakan oleh Damian barusan itu. Sebuah penyakit yang diturunkan oleh semesta pada usia tua, seakan menjadi alasan terbaik untuk menamatkan hidup seseorang. Luna pernah merasakan kehilangan. Seseorang yang ia cintai pad masanya meninggalkan Luna dan memilih hidup bersama gadis lain. Akan tetapi Luna paham, kalau apa yang dirasakan oleh Damian sekarang ini lebih dari apa yang dirasa olehnya dulu.

Damian pernah bercerita padanya, kalau manusia tua yang disebutnya sebagai nenek itu adalah orang yang paling banyak memberikan cinta untuk dirinya di masa kecil. Damian mencintai neneknya, bahkan lebih dari kedua orang tuanya sendiri. Ia berasal dari keluarga kaya yang tak akan pernah kurang. Semua serba berkecukupan untuk Damian. Akan tetapi, kasih sayang orang tua tak benar ia dapatkan. Tak salah jika orang tua gila kerja untuk membahagiakan kedua anaknya. Toh juga, semua fasilitas bisa dinikmati olehnya sekarang.

Lampu hijau menyala. Suara dentingan lirih seakan menjadi garis awal untuk keduanya mulai berjalan kembali. Beriringan menyusuri setiap aspal bergaris putih sejajar yang menjadi pijakannya. Luna menatap Damian, begitu juga sebaliknya. Sejenak sama-sama tersenyum ringan untuk memberi suasana yang bersahabat kali ini.

"Bagaimana dengan William? Dia bekerja dengan baik?" Bukan pasal William yang benar ingin dibicarakan olehnya, namun Damian rindu suara Luna. Manis dan lembut. Ringan bersahaja penuh dengan rasa nyaman dan ketenangan kalau mendengar gadis itu berbicara. Cinta membutakan Damian. Membuatnya lupa bahwa ia hanya sebatas teman yang sedang menyimpan rasa pada kekasih orang lain.

"Aku baru saja membeli kue untuknya. Aku akan segera mampir ke tempat kerjanya setelah ini." Luna mempersingkat. Memamerkan barang bawaannya kali ini. Hanya diam, tersenyum, dan mengangguk ringan. Damian selalu melakukan itu kalau Luna terlihat bahagia dan lega.

"William tak membuat masalah lagi bukan?"

Luna menggelengkan kepala. Mengatupkan bibirnya sembari sesekali menggeleng ringan. "Semua berjalan lancar, Damian. Terimakasih karena selalu mengkhawatirkan William."

Bodoh! Siapa yang peduli pada brandal sialan itu? William? Luna mengatakan bahwa Damian mengkhawatirkan William? Tidak. Damian hanya memikirkan Luna saja. Jika William berbuat onar, maka Damian akan mendapati Luna dalam sebuah kesedihan. Bahkan sampai sekarang William masih ingat benar bagaimana Luna Theresia Skye menangis di dalam pelukannya. Tangisan itu memang tak kuat, hanya lirih dengan sesenggukan ringan yang menyela. Akan terapi bagi Damian sekecil apapun isak tangis itu tetap saja akan menciptakan luka tersendiri untuk dirinya.

Jalan sudah dilalui, kini langkah keduanya memelan dan terhenti di sisi bahu jalanan. Luna mengalihkan fokusnya. Menatap Damian yang kini diam sembari menunggunya untuk berbicara. Cukup lama tak ada suara. Luna hanya melirik apa yang dibawa olehnya. Sesekali gadis itu memang tersenyum. Sejenak berpikir apa kiranya yang pantas untuk dikatakan pada teman dekatnya ini?

Luna hanya bisa terus berkata baik untuk memberi semangat dan doa pada neneknya tanpa bisa datang dan menjenguk. Sibuk adalah alasan satu satunya yang gadis itu ucapkan. Membosankan jika ia masih mengatakan hal yang sama di tahun ini. Akan tetapi mau bagaimana lagi? Luna hanya mampu bersikap seperti itu.

"Sampaikan salam pada nenekmu. Katakan aku akan menjenguk kalau urusanku sudah selesai." Ia tersenyum mengakhiri kalimatnya.

"Tentu. Jangan sungkan untuk mampir sendiri. Kau tahu di mana tempat nenekku dirawat bukan?" sahur pria itu sama-sama memberi lengkungan bibir yang tajam.

Luna menganggukkan kepala. Menghela napasnya ringan sembari menatapnya teduh. "Aku pergi dulu. Sebelum William selesai bekerja," susulnya mengimbuhkan.

Damian tak berkata. Hanya mengangguk ringan sembari mengembangkan senyum manis bersahabat di atas paras tampannya. Luna pergi. Langkahnya tegas tak ada keraguan. Gadis cantik itu memang bodoh kalau ditelusuri dengan baik bagaimana kisahnya selama ini. Banyak yang menyukai Luna. Mengingat ia adalah primadona kampus yang cantiknya tiada tanding. Akan tetapi, demi pria brengsek seperti William, Luna mengabaikan semuanya. Bahkan mengabaikan perasaan Damian Edaurus.

.... To be Continued ...