Ramai tak pernah sepi meskipun malam datang dengan larut yang hampir tiba. Hawa dingin semakin kuat merambah dan menusuk masuk melalui celah kancing mantel milik Luna Theresia Skye. Gadis itu berjalan tegas. Menyusuri setiap trotoar jalanan sembari sesekali tatapannya berkeliling. Ruko-ruko kecil berjajar apik di bahu jalanan. Lampu menghias menjadi daya tarik tersendiri untuk para pengunjung datang menyambanginya. Suasana malam seperti ini yang Luna suka. Meskipun ramai, namun tak terlihat kotor dan berdesak. Amsterdam bukan kota mati dan tak akan pernah mati. Jantung Negara Belanda ini adalah pusatnya orang beraktivitas. Malam bukan menjadi penghalang, pagi datang menjadi penyambut hari dengan sinar surya yang tegas menghangatkan bumi.
Luna menyukai tempat tinggalnya, hanya saja ia tak menyukai keadaannya. William adalah satu-satunya peneman hari. Selepas berpamitan di depan bangunan kantornya, Luna merasa sepi. William akan pergi. Tidak, ia akan pulang ke rumah orang tuanya. Meskipun hanya satu minggu berjalan, namun tetap saja Luna tak bisa menahan sepi selama itu.
Ia benar-benar akan sendirian. Eva dan Barend mungkin akan datang mampir ke rumahnya di akhir pekan, ingat hanya akhir pekan. Hari-hari biasa akan dimulai dengan cara yang biasa pula.
Manik matanya indah menyorot tepat pada satu bangunan. Layaknya seperti kafe kecil namun menjual wine dan semacamnya. Luna tersenyum. Baiklah, waktu dan suasana yang tepat untuk ia habiskan dengan segelas wine atau apapun itu. Asalkan mampu membuat hatinya sedikit lega selepas perpisahannya dengan William sore tadi.
Ia berjalan mendekat. Masuk ke dalam kedai bergaya klasik dengan lampu remang yang menghiasi. Di sisi dinding ada ukiran kecil bermotif abstrak. Dua lampu gantung ada di setiap meja pelanggan yang tertata rapi memenuhi ruangan. Suasana yang damai, tenang, dan tak ramai. Bangunan ini diapit oleh dua toko besar, namun pesonanya tak benar bisa menarik orang yang ada di luar sana. Jika dibandingkan, tempat ini lebih redup dan lebih kecil dari bangunan-bangunan yang lainnya.
Seseorang menyapa Luna. Tersenyum manis sembari membungkukkan badannya ringan. Ia menawarkan tempat untuk gadis itu. Menunjuk ke sisi meja kosong yang ada di tengah ruangan. Tawaran datang padanya untuk menghantar Luna sampai ke tempatnya sekarang ini. Pelayanan yang bagus. Memperhatikan kepuasan pelanggan dengan cara penyambutan yang hangat. Tak heran, sebab di sini jumlah pelanggan bisa dihitung dengan jari jemari yang terbuka.
"Aku akan menghantar—"
"Tidak. Aku bisa memilih tempat sendiri." Luna menyahut. Ikut melemparkan senyum manis di atas paras cantiknya. Memang bagi sebagian orang pelayanan seperti ini amat sangat dibutuhkan. Nyaman dan merasa disanjung juga dihormati, semua akan bahagia dengan itu. Akan tetapi untuk Luna, terkadang pelayanan yang seperti itu sangat mengganggu.
Si pelayan menganggukkan kepalanya. Sigap mengeluarkan kertas kecil bersama pena untuk diserahkan pada Luna. "Kau bisa menulis pesanannya di sini. Panggil aku jika membutuhkan sesuatu," susulnya dengan senyum ramah. Kembali tubuh kerempeng itu membungkuk. Penuh kesopanan meninggalkan Luna di tempatnya.
Ia kembali menyapu setiap bagian ruangan. Di sisi bangunan, ada satu ruang kecil dengan sekat kaca buram. Seseorang ada di dalamnya. Sendirian sedang melepas lelah dengan beberapa botol minuman beralkohol. Anehnya, perawakan itu sedikit tak asing untuk Luna. Masa bodoh! Ia datang bukan untuk mengenali orang-orang yang ada di sini. Datangnya kemari adalah untuk menutup hari dengan hati yang berseri.
Luna memilih tempat di pojok ruangan. Jauh dari pintu masuk utama. Gadis itu memilih menyingkir dari pusat perhatian. Tempat duduk sofa kecil ini sedikit nyaman. Berada tepat di sisi jendela besar yang menghadap ke luar ruangan. Ia mengerjap dengan ringan. Melipat bibirnya dengan sesekali mendesah ringan. Tak menyangka kalau Luna akan berakhir dengan malam yang sepi seperti ini. Di tengah keramaian ia berada, namun hati dan pikirannya sedang kosong.
Luna mulai menatap secarik kertas kecil di depannya. Mengambil satu pena kecil dan mulai menuliskan apa-apa saja yang ingin dipesannya untuk menemani malam.
PYAR! Suara nyaring menyita perhatiannya. Luna yabg baru saja ingin memulai untuk menulis kini bangkit. Tepat di bilik khusus dengan sekat kaca buram darah menetes dari atas meja. Pria berjas biru tua yang ads di dalamnya mulai bangkit. Beberapa pelayan datang menghampirinya.
Luna bangkit. Ikut berjalan mendekat. Gadis itu kini mulai mengenalinya. Yang duduk dengan posisi tangan menopang dagu itu adalah Tuan Ge Hansen Joost. Pria yang akan menjadi bosnya Senin depan.
" Are you okay?" Seorang pelayan menyela. Mendorong tubuh Luna untuk sedikit bergeser agar memberinya celah masuk ke dalam.
Pria yang dilempari pertanyaan hanya diam. Tak berkutik di tempatnya.
"Haruskah aku memanggil seseorang untuk menjemputmu? Kau sepertinya mabuk berat." Pelayan itu mengimbuhkan. Kini Luna yang tadinya hanya diam menonton, mulai bereaksi. Ia menerobos masuk ke dalam. Menyela kerumunan pelayan yang ada di sekelilingnya. Tuan Ge benar-benar terlihat kacau. Tiga botol besar alkohol sudah ditegurnya habis. Bahkan jikalau ia tak sengaja menyenggol satu botol besar di sisinya itu, mungkin saja empat botol adalah rekornya malam ini.
"Aku mengenalnya. Biar aku yang mengurus ini," tutur Luna dengan lembut. Senyum manis mengembang di atas paras cantiknya sekarang. Menatap satu persatu pelayan yang kini diam sejenak. Mungkin sedikit tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh gadis itu. Akan tetapi mau bagaimana lagi? Ge akan sangat merepotkan jika tak ada Luna sekarang.
"Kau benar mengenalnya?" Seseorang memastikan.
"Hm. Dia boss-ku." Luna menyahut. Membungkukkan badan untuk memberi penghormatan.
"Baiklah. Kau hanya perlu membawa pria ini, kami yang akan membersihkan pecahan kacanya."
Luna menganggukkan kepala. Mengerti akan interuksi pelayan yang kini mulai memutar langkah dan pergi keluar dari bilik ruangan. Ia menatap Tuan Ge. Pria yang sudah tepar tak mampu berlaku apapun sekarang ini. Sedikit lemah, jikalau dihitung banyak botol yang sudah dihabiskan oleh Tuan Ge.
Luna terbiasa melihat pria yang tahan dengan lima atau enam botol minuman beralkohol. Baru kali ini ia melihat seseorang yang sudah ambruk hanya dengan empat botol saja.
Gadis itu duduk tepat di sisi Tuan Ge. Menatap tetesan darah yang keluar dari telapak tangannya. Sigap Luna mengambil kain kecil yang ia bawa di dalam tas selempang miliknya. Perlahan namun pasti, rasa ragu nan canggung mulai menyelimutinya. Luna tak pernah menyentuh Tuan Ge sebelumnya. Bahkan ujung jarinya sekalipun. Ia tak pernah terjebak dalam situasi seperti ini sebelumnya. Bersama dengan pria yang sudah lemah keadaannya.
Luna meraihnya. Tangan pria ini sangat dingin. Luka goresan ada di atas telapak tangannya. Luna membalutnya. Perlahan sebab tak mau menambah rasa sakit yang dirasa oleh Tuan Ge. Pria itu bangkit. Tersadar kala tatapan lensa seorang gadis mengenai permukaan mata indahnya.
Tanpa aba-aba, Tuan Ge memeluk hangat tubuh Luna.
... To be Continued ...