Damian menatap langit-langit kamarnya. Hatinya resah. Pikirannya berkelana menyeberangi lautan ketidakpastian. Pria yang baru saja merebahkan kasar tubuh jangkungnya di atas ranjang empuk miliknya itu kini mendesah kasar. Helaan napas menjadi penutupnya. Damian gundah, gulana, dan gelisah. Melihat Luna menatih tubuh seorang pria yang tak asing untuknya seakan menjadi tamparan paling menyakitkan untuk Damian hari ini. Memang, Tuan Ge adalah calon bosnya minggu depan. Tak ada yang salah dan melarangnya kalau bertemu dengan sang bos demi mendekatkan diri dan memposisikan tempat yang pas untuk dirinya nanti. Damian mengenal baik siapa itu Luna, begitu juga sebaliknya. Pertemanan mereka tak hanya sebatas saling sapa dan memberi dukungan untuk menghadapi masa depan yang sulit. Damian Edaurus mengenal baik peringai gadis berambut pendek itu. Luna bukan gadis 'jalang' yang suka menjilat bosnya sendiri. Ia bermain secara profesional dalam menghadapi dunia.
Damian hanya resah, sedikit rasa cemburu ada di dalam hatinya. William Brandy memang bukan saingan yang berat untuk dirinya. Pria itu hanya pengangguran bernasib baik. Si pencandu alkohol yang gila akan wanita cantik. Jika Damian tega dan mau, ia bisa menyingkirkan William Brandy sekarang juga. Ia hanya mengulur waktu. Duduk di sisi Luna dan mengamati keadaan yang ada adalah cara Damian untuk menjaga hati gadis yang ia sukai. Ia tak ingin Luna terluka selepas mengetahui apapun tentang kekasih hatinya yang ia tak ketahui sebelumnya. Hati gadis itu sangat lembut dan tipis. Jika sesuatu meniup dan menghantamnya, mungkin saja Luna Theresia Skye akan jatuh dan tumbang.
"Damian, are you sleeping?" Suara lirih menyela dirinya. Gagang pintu ditekan dengan perawakan kurus tinggi berkuncir kuda datang membawakan teh hangat untuk Damian malam ini.
Manik mata itu indah menghias. Menyapu setiap bagian ruang kamar yang sedikit berantakan. Damian memang tergolong rapi dalam menjaga penampilan dan sikapnya. Anggun bak seorang pangeran dari negeri dongeng adalah caranya bersikap, akan tetapi jangan salah kalau ia hanyalah seorang manusia laki-laki biasa. Kumuh dan kotor adalah caranya membiarkan kamar pribadinya begitu saja.
"Astaga! Kau betah tidur di kandang babi?" Mira menyela. Meletakkan satu nampan yang ada di genggamannya bersama dengan secangkir teh yang masih mengepulkan asapnya di udara. Damian mencegah. Menarik pergelangan tangan Mira untuk duduk di sisi ranjangnya. Bukan hanya Damian yang lelah, namun juga sang adik. Mira anak siswa di sebuah sekolah menengah atas, tugas yang menumpuk tentu menjadi beban hidupnya sekarang ini. Malam bukan waktu yang pas untuk membersihkan kamar sang kakak.
"Duduklah. Kita bisa menghabiskan malam yang tenang sekarang ini." Damian membujuk. Tersenyum ramah senantiasa ingin memberi kenyamanan untuk sang adik. Damian mencintai Mira, sebagai adiknya. Hanya Mira yang bisa mengerti perasaannya. Baik buruk hari Damian selalu ia bagikan pada sang adik. Akan tetapi untuk Luna, ia ingin memendamnya sendirian.
"Katakan jika ada masalah. Barang kali aku bisa membantu." Mira berbicara. Menarik secangkir teh yang meninggalkan kulacino di atas permukaan nampan kayu tempatnya berada sebelum ini. Menyodorkan itu pada Damian dengan penuh kehati-hatian. Bagi Mira, Damian sudah seperti ayahnya. Memang segala fasilitas yang ia dapatkan hanya berasal dari uang sang papa, namun untuk kasih sayang dan kehangatan juga rasa nyaman ia hanya bisa mendapatkan itu dari Damian Edaurus.
"Aku hanya merasa bersalah pada nenek karena harus meninggalkan dirinya sendirian lagi." Damian beralasan. Mulai menyeruput teh hangat dengan campuran madu dan sedikit gula itu kemudian ber-ah ringan untuk mengekpresikan lega yang ia rasakan.
Bibirnya mulai mengecap. Cita rasa sempurna seduhan teh celup dengan aroma madu yang manis. Rasa teh rumahan ini tak bisa diduakan oleh apapun.
"Kenapa tak buka kedai teh saja? Pasti banyak yang menyukai teh buatanmu, Mira."
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Kau selalu saja begitu!" Mira berdecak kesal. Melipat kedua tangannya tepat di atas perut datarnya sekarang ini.
"Memangnya aku harus berkata apa lagi? Aku sedih karena nenek. Hanya itu," tuturnya kembali meletakkan secangkir teh di atas meja.
"Tentang seorang gadis?" Mira menebak asal. Tak ingin kehilangan perubahan raut wajah sang kakak, gadis itu terus memberi sorot matanya untuk Damian.
"Gadis apa maksudmu—"
"Yang ada di dalam foto." Mira menunjuk tepat mengarah pada rekam gambar yang diambilnya bersama Luna Skye. Di sana bukan hanya Damian yang bahagia, namun juga Luna. Liburan pertamanya dengan Luna sangat berkesan hingga sekarang ini.
"Siapa namanya?"
"Luna. Luna Theresia Skye," jawab Damian tak menjeda. Pria itu kembali tersenyum manis. Menatap sang adik dengan penuh makna. Mira bukan hanya pandai menghibur, ia juga pandai masuk ke dalam hati seseorang. Tentu, Mira adalah gadis yang patut untuk diberi banyak cinta.
"Kau menyukainya?" Mira menebak. Tersenyum evil untuk sang kakak.
"Jangan asal berbicara."
"Mudah untuk ditebak." Mira menyahut. Hidup bersama Damian sebagai sepasang saudara tentu hal yang menjadi dasar dirinya mengenal baik sang kakak. Mira sangat beruntung sebab tak semua memiliki kakak yang baik seperti Damian. Hubungan sepasang saudara kandung pun tak selamanya baik seperti ini. Kadang kala, gunung yang didaki, laut yang diseberangi, dan jurang yang dilalui terlalu tinggi juga terlalu dalam untuk menggapai garis finish-nya. Hubungan yang baik misalnya.
"Kau bahkan tak pernah memasang foto kita kalau sedang berfoto bersama, tapi kau memasang wajah gadis yang bahkan tak pernah datang ke rumah. Ponselmu hanya berisi panggilan dengan nama yang sama. Kau pikir aku tak tahu?" Mira melirik benda pipih yang tergeletak di tengah ranjang. Sesekali ia tersenyum kemudian menatap Damian yang baru saja menghela napasnya berat.
"Benar! Aku menyukainya!" Ia menyentak. Sedikit kesal sebab Mira pandai mempermainkannya sekarang.
"Kenapa harus diam-diam seperti ini. Melihat responnya padamu, setidaknya ia sedikit menyukai kehadiranmu."
Damian menggelengkan kepalanya. Ia tahu bagaimana Luna itu. Gadis itu memang menyambutnya dengan baik, akan tetapi sebagai seorang sahabat dan teman berjuang bukan sebagai kekasih ataupun tambatan hati. Luna akan menjauh darinya kalau tahu tentang perasaannya ini. Alasannya cukup sederhana, Luna tak nyaman dengan Damian.
"Dia sudah memiliki kekasih. Sama seperti kisahmu," tukas Damian menyahut.
"Benarkah?" Gadis itu membulatkan matanya. Sempurna ia memberi respon pada apa yang dikatakan oleh sang kakak sekarang ini.
"Bagaimana kisah kita bisa sama seperti ini?" Mira tertawa. Menunjuk tepat ke arah wajah Damian yang baru saja memincingkan matanya tegas.
"Kau tertawa?"
"Hm. Ini sangat lucu."
Damian berdecak. Menatap Mira penuh ketidakpercayaan. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Perasaan ini sangat mengganggu."
"Nikmati. Kalau tak bisa lupakan," ucap gadis itu menutup pembicaraan. Melupakan perasannya pada Luna? Itu sama dengan menaburkan garam di atas permukaan samudera.
... To be Continued ...