"Aku mengatakan kau adalah ayah kandung dari Ovra."
Ge diam. Mematung tak banyak berekspresi. Semuanya terasa aneh sekarang. Aleta bukan wanita yang seperti itu. Ge bahkan tak pernah menyentuh tubuh Aleta dengan berlebihan. Melakukan hubungan suami istri di luar nikah dengannya bukan cara Ge mengekspresikan cintanya pada seorang Aleta Britt.
"Ceritanya panjang, Ge." Aleta kembali mengimbuhkan. Membuat Ge diam semakin tak mampu bersuara apapun lagi. Tak ada kata yang bisa diucapkan untuk Aleta. Di dalam otaknya, kosong. Benar-benar tak ada apapun yang terlintas. Bahkan Ge saja tak pernah melihat paras seorang gadis bernama Ovra.
"Saat itu aku sedang kalut. Setelah kau meninggalkanku waktu itu, aku benar-benar hancur. Mendengar pernikahanmu dengan Elsa tentu menjadi pukulan tersendiri untukku, Ge. Kau paham benar bagaimana aku mencintaimu bukan?" Aleta mempersingkat. Kini tatapan matanya tertuju pada permukaan kopi arabika yang ada di depannya. Asap itu mulai memudar. Hilang berbaur dengan oksigen di udara. Hening sejenak membentang. Tuan Ge memilih diam untuk menunggu Aleta benar menyelesaikan kalimatnya. Kala itu, bukan hanya Aleta yang hancur, namun juga dirinya. Berpisah dengan cinta pertama semasa duduk di bangku sekolah menengah atas bukan hal yang mudah. Sebagai seorang laki-laki tak pantas untuk Ge menangis dan merengek pada keluarganya.
Satu hal yang Ge pelajari dewasa ini, bahwa semakin dewasa kita, maka akan semakin banyak pula yang dilepas dan direlakan. Untuk membentuk pohon baru, terkadang kita harus mencabut dan membersihkan tempat dari pohon lama hingga ke akar-akarnya.
"Aku tahu kau juga merasakan itu, Ge. Aku melihat semuanya dari sorot matamu kala itu. Kau bahkan tak berbicara padaku untuk memutuskan hubungan kita. Semua terasa aneh dan tiba-tiba untukku."
Ge kini mendongakkan pandangan. Tak lagi menatap ujung jari jemarinya yang saling bertaut. Ge tersenyum aneh. Sesekali menautkan alisnya untuk menanggapi perubahan ekspresi di atas paras cantik awet muda milik Aleta Britt.
"Langsung ke point-nya, Aleta," ucap Tuan Ge memohon. Sayu nan teduh mengiring kalimat singkat yang lolos dari celah bibirnya.
"Aku tidur dengan seseorang hingga mengandung, Ovra. Ayah kandung Ovra ada di dalam jeruji penjara sekarang ini. Atas kasus pencucian uang dan kasus pembunuh." Singkat dan cukup untuk menenangkan suasana. Hati Ge bergejolak hebat kala mendengar itu semua. Ia tak menyangka bahwa wanita yang dulu amat ia cintai berada di dalam situasi yang sangat sukar dulunya. Benar kata pepatah, tak semua tangga bisa menghantarkan kita hingga sampai ke puncak dengan mulus. Terkadang menginjak pecahanan kaca, jatuh tersungkur, tersayat, bahkan hampir mati terbunuh perlu di alami untuk bisa merasakan bagaimana indahnya masa sekarang.
"Aku mengatakan bahwa mantan kekasihku dulu adalah ayah kandungnya. Ovra mengira kau adalah ayah kandungnya," susulnya dengan lirih.
Ge menghela napasnya kasar. Kembali menundukkan pandangan sembari kasar mengusap wajahnya. Semuanya kini terasa berat. Tak semudah seperti yang ia bayangkan. Jikalau harus menuruti Elsa untuk tetap diam dan menunggunya yang akan mengurus semua ini, Ge seharusnya tak ada di sini sekarang ini. Semua terjadi sebab sifat keras kepala yang ia miliki.
"Bagaimana? Kau masih ingin mengatakan semuanya?" Aleta memberikan penawaran. Ia menatap Ge dengan penuh makna. Aleta tak berharap untuk kembali masuk ke dalam lingkup hidup sang mantan kekasih. Ia bahkan tak ingin mendengar nama Ge Hansen Joost lagi dalam hidupnya. Ia cukup bahagia sekarang. Ovra tumbuh menjadi gadis yang baik. Meksipun terkadang ia mempertanyakan, benarkah Tuan Ge adalah ayah kandungnya?
"Kau punya penawaran yang bagus untuk itu?" tanya Ge menimpali.
"Manajer ku akan mengurusnya. Mungkin sedikit lama, tapi kita akan membujuk Tuan Daniel untuk bernegosiasi. Kita tak akan menyentuh perusahaanmu sama sekali, Ge."
"Kau bahkan tak berniat untuk menuntutku atas kasus pencemaran nama baik?" Ge kembali menyela. Menatap Aleta penuh pengharapan.
"Dampaknya hanya divisi perusahaanmu itu akan ditutup sementara. Aku tak akan memperpanjang lagi, Ge."
"Mengapa?" Percakapan sejenak terhenti. Kalimat tanya dari Ge yang amat singkat itu seakan memberi pukulan tersendiri untuk Aleta. Ia tak ingin berurusan dengan Ge lagi.
Andai saja ia tak bertemu dengan Elsa saat itu, masalah ini tak akan pernah ada. Elsa terlalu bodoh dengan pemikiran naif itu. Terlalu tinggi dalam ketidakpercayaannya pada sang suami. Aleta tak berucap banyak memang kala itu, ia hanya berkata beberapa kalimat saja namun sudah sukses mencuri segala amarah yang ada di dalam diri Elsa Valencia.
"Karena aku tak ingin berurusan denganmu lagi, Ge."
Tuan Ge menganggukkan kepalanya mengerti. Tersenyum aneh kemudian menyerahkan selembar kertas yang baru saja ia ambil dari dalam map di sisinya. Sebuah perjanjian. Ya, begitulah kiranya judul yang menghias di atasnya.
"Aku akan tetap dalam pendirianku. Kita beritahu publik apa yang sebenarnya terjadi, ah tidak! Maksudku apa yang harusnya terjadi. Ovra juga harus mengetahui yang sejujurnya."
Diam seribu bahasa. Aleta menatap dokumen itu dengan penuh ketegasan. Tatapannya fokus. Terhenti dalam satu titik dengan raut wajah yang tak biasa. Seakan Tuhan sedang mengirimkan ujian terbesar di dalam hidupnya. Bertemu dengan Ge saja sudah membuat hatinya berat, apalagi harus melakukan hal yang amat beresiko seperti sekarang ini.
"Ovra satu usia dengan Amanda bukan?"
Aleta menganggukkan kepalanya ringan. "Satu tahun lebih tua."
"Kalau begitu dia sudah siap dengan ini semua. Setidaknya sebelum dihukum mati, ia harus melihat ayah kandungnya, Aleta." Ge menyahut. Kembali berbicara dengan nada ringan nan lembut. Senyum manis mengembang kala netra itu berpapasan dengan sepasang lensa cokelat milik Aleta. Ge paham benar rasa macam apa yang sedang mendiami hati mantan kekasihnya itu. Sebab jikalau sudah menyangkut seorang putri kandung, Ge paham benar rasanya.
"Proses pendewasaan terbaik adalah dengan memahami bagaimana fakta menyakitimu," ucap Ge menyakinkan. Aleta kini menghela napasnya. Sejenak melirik pria berbadan kekar yang ada di depannya sekarang ini. Kepalanya mengangguk samar. Menarik pena hitam yang ada di sisi kertas untuk mulai membubuhkan tanda tangan di atasnya.
"Setelah ini aku janji kita tak akan pernah bertemu dan terlibat dalam masalah lagi, Aleta." Ge mengimbuhkan. Mengiringi setiap gerak pena yang dilakukan oleh Aleta untuk mulai menciptakan goresan di ujung kertas.
"Sudah, ada lagi?" tanya Aleta mulai mengambil tas kecil yang ada di sisinya.
Ge menggelengkan kepalanya. Mulai bangkit dari posisi duduk rapi yang ia ciptakan sebelumnya, kemudian mengulurkan tangan untuk memberi apresiasi atas kebaikan hati milik Aleta Britt.
"Lain kali jika ingin mengajakku bertemu jangan di tempat seperti ini, Ge. Bagi sebagian orang hotel adalah tempat yang gelap untuk pertemuan dua orang penting." Aleta menyambut uluran tangan pria berjas mahal di depannya itu. Tersenyum manis sembari tegas menggoyangkan tangannya.
"Tentu. Aku meminta maaf untuk itu, Nona Britt."
... To be Continued ...