Chandelier indah menggantung di tengah langit-langit ruangan. Semua tempat bergaya modern nan minimalis di bangun di lantai ke 43 sebuah hotel megah tengah kota. VIP room menjadi sandang status yang menandakan bahwa orang-orang penting ber-uang banyaklah yang bisa menyewa tempat mirip dengan ruang tamu ketimbang sebuah ruang pertemuan pribadi. Desain yang memukau. Minimalis nan rapi dengan warna putih dan hijau muda yang mendominasi. Cahaya putih menerangi. Penghangat ruangan dinyalakan tepat di setiap sudut ruangan dengan wall sconces bercahaya kuning di atasnya. Nyaman sebab semuanya tertata rapi. Luas membuat semua orang yang ada di dalam ruangan mampu bergerak dengan bebas.
Satu sofa besar tengah ruangan. Berwarna cokelat keemasan dengan ukir motif bunga indah di atasnya. Satu meja kaca bulat nan besar dengan penyangga kayu kuno berukir menjadi tempat beradu tatap dua tamu yang menyewa tempat ini untuk dua jam lamanya. Satu jam sudah berlalu. Menunggu kedatangan seseorang tanpa ada aktivitas berarti memang hal yang membosankan, akan tetapi mau bagaimana lagi? Aleta Britt adalah wanita yang super sibuk dengan karier yang sedang naik daun sekarang ini.
Kulacino sekilas menyita perhatian Tuan Ge kala wanita bergaun merah muda dengan pita besar di tengahnya itu menarik secangkir kopi ber-aroma Arabika yang nikmat kalau dihirup dengan kedua lubang hidung. Tuan Ge masih mengingat semuanya, bagiamana kecintaan Aleta Britt pada seduhan hangat secangkir Arabika dengan kadar gula yang tak banyak. Wanita itu suka pahit, tak suka manis. Lebih mentoleransi rasa pahit yang lebihan ketimbang harus menyeruput juga memakan sesuatu yang memiliki kadar gula tinggi. Sebagian dari Aleta sudah sedikit banyak berubah. Mulai dari parasnya yang tak se-gemuk dulu lagi hingga caranya bersolek dan berdandan yang kini terlihat lebih modern dan modis.
Tuan Ge pernah mencintai wanita satu itu. Parasnya yang cantik dengan rasa sosial yang tinggi. Berbeda dengan Elsa memang. Jika Elsa adalah si ambisius yang gila akan harta dan kedudukan, Aleta adalah si rendah hati yang lebih mementingkan lingkungan. Keduanya berpisah selepas perjodohan yang dilayangkan pada Tuan Ge dengan mengirim Elsa kembali ke Amsterdam. Katanya, Ge akan bahagia dengan wanita yang bisa mendorong karirnya lebih tinggi lagi. Tebakan kedua orang tua Ge memang benar adanya, Elsa membantu banyak perkembangan perusaahan sang suami kala itu. Mau tak mau, Ge harus melepaskan Aleta. Meninggalkan wanita yang menjadi cinta pertamanya kala duduk di sekolah menengah atas.
"Aku sudah mendengar semuanya, Ge." Aleta memulai percakapan. Sembari menyeruput kopi yang ada di dalam cangkir, lirikan itu seakan memberi pertanda bahwa Ge tak banyak berubah. Hanya saja, ia lebih cocok dengan stelan jas yang mahal begini.
"Aku datang sebab merasa tak enak denganmu, Aleta." Tuan Ge menyahut. Tersenyum ringan sembari menyilangkan kakinya rapi. Pria itu tak banyak berekspresi sekarang ini. Wajah tampan dan memukau yang bisa disebut awet muda itu hanya sesekali mengerutkan keningnya sebab Aleta terlihat dan terkesan amat sangat biasa. Namanya diambang kehancuran. Jika masyarakat benar-benar sudah tak menaruh peduli padanya lagi, maka nama aktris dan model papan atas dengan bayaran termahal ini akan tumbang lalu hilang ditelan masa.
"Jadi?" tanya Aleta meletakkan secangkir kopi tepat di sisi meja. Menutup bekas dasar gelas yang melingkar samar memberi noda pada kaca tebal di bawahnya.
"Aku ingin bernegosiasi denganmu sekarang."
"Aku harus tidur denganmu?" Aleta menyahut. Senyum seringai tipis merekah di atas bibir merah maroon berbentuk hati itu.
Tuan Ge diam sesaat. Wajahnya memaku. Tak banyak bicara untuk memberi respon hingga Aleta tertawa lepas. Selera humornya masih sama, dengan Ge Hansen Joost yang masih sama pula. Pria itu tak pandai mengimbangi humor rendahan milik Aleta Britt. Hanya diam dengan ekspresi seperti itu sama seperti kala mereka pertama kali bertemu. Waktu benar-benar mengubah segalanya. Tak hanya fisik, namun juga bisa cara berpikir seseorang.
"Just kidding!" Aleta menimpali. Tegas mengetuk sisi meja untuk kembali mencarikan suasana. Gaun pendeknya itu tersingkap ke atas. Sedikit membuat sisi pahanya ter-ekspos oleh sepasang netra milik Tuan Ge. Pria itu kini menoleh. Memalingkan wajahnya sebab tak ingin melihat apapun yang ada di depannya sekarang.
Ge memang mencintai Aleta pada masanya. Tidur bersamanya? Tidak! Bahkan mencium bibir Aleta saja ia tak berani. Waktu berjalan sangat berbeda. Masa lampau caranya menjalin hubungan tak sama seperti sekarang. Kemesraan yang terjadi di muka umum antara pemuda jaman sekarang dengan dulu benar-benar berbeda. Ge tak tahu, apakah yang ia temui sekarang ini adalah Aleta di masa lalu atau Aleta yang sudah berubah mengikuti perkembangan jaman?
"Kenapa berpaling?" tanya Aleta melirih. Tempat ini tak banyak dikunjungi orang. Katakan saja hanya ada mereka berdua yang mengakses lantai ini.
"Bisa kau tutupi pahamu?" Ge memohon. Mengerti dengan apa yang dimaksud, Aleta segera menarik bantal kecil yang ada di sisinya. Meletakkan tepat di atas pangkuannya untuk mengindahkan apa yang dikatakan oleh Ge.
"Jadi?" tanya Aleta lagi.
"Apa negosiasinya?" Wanita mengimbuhkan. Menarik perhatian Ge Hansen Joost yang kembali menoleh untuk menatapnya.
"Aku ingin membuat pernyataan di muka umum. Membersihkan nama kita berdua."
Aleta diam. Tak ada ekspresi yang berarti sekarang ini. Namun hatinya sedikit bergejolak. Ada satu yang Aleta benci dari Tuan Ge semenjak pertama kali mereka bertemu. Pria itu terlalu baik dan polos.
"Aku akan melimpahkannya pada satu pihak anonim dengan mengatakan bahwa itu hanya dendam pribadi. Menggunakan nama Ge Sketchbook Company adalah sebuah kesalahan besar." Ge menerangkan singkat. Tersenyum miring menutup kalimatnya.
"Kau akan mengambinghitamkan orang lain?"
Ge menggelengkan kepalanya. "Anonim. Masyakarat hanya tau seseorang memanfaatkan keadaan kita. Karena kita adalah sepasang mantan kekasih." Ge meneruskan. Tatapannya masuk ke dalam netra indah milik Aleta. Wanita berusia sama dengannya itu kini tertawa ringan nan singkat. Ini ... bukan Ge Hansen Joost. Elsa banyak mengubah pria di depannya itu.
"Aku punya anak gadis, Ge. Kau tau itu."
"Itu sebabnya aku melakukan ini." Ge menyahut. Mencoba memberi pengertian pada Aleta Britt.
"Jika dia tahu kau adalah mantan kekasihku, maka semuanya akan hancur." Aleta menolak. Matanya tajam menyapu setiap bagian ruangan yang ada di sekitarnya sekarang ini.
"Kenapa begitu?"
"Dia sangat mengidolakanmu, Ge. Setiap hari dia berpikir untuk menjadi anak kandungmu atau setidaknya bisa masuk ke dalam Ge Sketchbook Company. Mengikuti jejak langkahmu dan—"
"Kau mengatakan sesuatu tentang masa lalu kita padanya?" tanya Ge menyela. Seakan sudah mampu menebak apa kiranya yang ada di dalam pikiran seorang Aleta Britt.
"Aku membohongi dia." Aleta menoleh. Sejenak menjeda kalimatnya untuk menatap Ge dengan benar.
"Aku mengatakan kau adalah ayah kandung dari Ovra."
... To be Continued ...