Chereads / SILVER TIME / Chapter 17 - Kepercayaan

Chapter 17 - Kepercayaan

Pagi itu, ibuku mengajakku ke kota sebelah (ke Jember), ke rumah om-ku atau adiknya ibuku yang sudah jadi guru.

Keluarga ibuku memang ada di Jember semua ... kami ke sana di akhir pekan. Jadwal kuliahku hanya Senin-Jumat saja jadi aku di weekend bisa bersantai.

Kami bertiga (aku, ayah, dan ibu) berangkat ketika ibu sudah selesai membuat kue dan aku mengantarkannya ke SMA Negeri 2 Lumajang.

Kami ke Jember juga menengok nenek yang ada di rumah om-ku yang ke-dua.

Perjalanan dari Lumajang ke Jember kurang lebih memakan waktu satu jam, kami naik mobil ... yang disupiri oleh ayah sendiri. Memang, ini bukan mobil ayah ... melainkan mobil kakak perempuanannya, atau bisa dipanggil budhe. Rumah budhe ada di Jalan Ghozali dan saat itu kami izin meminjamnya, dengan alasan untuk liburan di hari Weekend.

....

Ayah bisa menyetir mobil namun, sayangnya ayah tidak memiliki mobil. Dulu pernah ada kejadian ... ketika ayah hendak beli mobil merek Avanza ....

Seseorang meminjam uang pada ayah, aku masih kecil ... aku masih polos dan tidak tahu apa-apa dunia orang dewasa.

Ada 2 orang ditahun yang sama, meminjam uang hasil jual sawah ayahku yang kurang lebih mencapai 100 juta dan ayah berniat beli mobil seperti budhe. Waktu itu budhe belum punya mobil, dan ayahku menyombongkan diri kalau dia akan beli mobil dari kerja kerasnya memanen sawah lalu menjualnya.

Hari itu seorang perempuan dulu datang dengan ekspresi memelas ke rumahku, mungkin usiaku waktu itu masih 6 tahun. Aku baru pulang dari TK (besar), dengan usiaku saat itu harusnya aku tidak lama lagi masuk SD. Aku anak tunggal tapi yang namanya biaya pendidikan pasti juga mahal. Ayah sebenarnya bisa saja beli mobil tapi, aku keburu masuk SD jadi, ayah menyimpan uangnya untuk kebutuhan biaya masuk SD dan pendidikanku di sana terlebih dahulu.

Dulu sekolah negeri masih membayar SPP entah berapa rupiah di zaman itu ....

Ayahku memutuskan beli mobil setelah aku masuk SD.

Lalu, orang yang meminjam uang itu datang ....

Ayah dan ibu tidak ingin aku melihatnya, ibu dengan ucapan lembutnya menyuruhku untuk ke belakang main sendiri sedangkan mereka berdua bicara serius di sana.

Karena orang yang meminjam uang itu bertamu cukup lama, aku penasaran ....

Apa ayah dan ibu kenal dengan mereka berdua? Aku ingin memastikannya, aku mengintip dari belakang dinding yang menjadi pembatas ruangan itu.

Aku agak bisa menyimak perkataan mereka ....

Mungki tidak baik menguping pembicaraan orang tua tapi, karena aku merasa ada yang ganjil pada orang itu.

Ayah mengambil sejumlah uang yang disimpannya di lemari dan dia memberikannya di hari itu juga ....

Padahal jauh sebelumnya ayah membanggakan diri di depan putrinya ini, bahwa dengan memiliki mobil ... kita bertiga bisa berpergian ke mana pun (imajinasiku saat itu layaknya berkeliling dunia).

'Eh kok ayah memberika uangnya?'

'Apa dia orang yang menjual mobil?'

Aku bertanya-tanya tapi, melihat jumlah uangnya kurasa sangat kurang ....

"...."

Aku agak bosan karena pembicaraan orang dewasa terdengar sulit (wajar masih kecil dan volume otaknya belum sepenuh orang dewasa). Akhirnya aku bermain sendirian ke belakang lagi.

Pertemuan itu sudah usai, setelah seorang perempuan yang bertamu tadi menghabiskan segelas teh yang ibu suguhkan dengan terburu-buru begitu sudah mendapatkan uangnya.

Dan, aku mendengar ayah dan ibu saling menggerutu dibalik pintu kamar, aku mendengarnya sekilas dengan kata 'meminjam, pinjam, dipinjami,' berarti memang orang pinjam uang.

Lalu, saat aku sudah masuk SD, aku mengenakan seragam sekolah lengkap dengan topi dan rok mini warna merah. Aku masuk SD Rogotrunan 3 yang sekarang berubah menjadi SD Kepuharjo 01.

Alasan namanya berganti ini karena waktu itu kelurahan Rogotrunan mengalami perluasan wilayah dan paling luas wilayahnya dari kelurahan-kelurahan lain. Akhirnya di pecah, beberapa orang sering menyebut daerah di sekitar toga dan paling terkenal adalah kuburan kepuh, akhirnya diubah nama daerah ini menjadi Kepuharjo. Baru aku menginjak kelas 2 SD, nama SD itu berubah.

Tapi, kejadian ini terjadi 2 tahun sebelum itu, di saat aku berhasil masuk SD dan baru satu semester di sana ... di saat rapotan, ayahku bertemu dengan temannya yag sudah lama tidak ditemui. Mereka berjabat tangan, teman ayah menyekolahkan anaknya di sana juga dan anaknya teman ayah kelas 3 SD, selisih 2 tahun.

Lalu semenjak pertemuan itu ... dia sering ke rumah, saat hampir akhir tahun seingatku ... dia memohon dengan sangat di depan ayah dan ibu.

Dia ingin meminjam sejumlah uangnya untuk membayar sekolah anak-anaknya. Sebenarnya, orang itu memiliki 3 anak yang semuanya sekolah di tempat yang berbeda, paling tinggi pendidikan anaknya yang nomor 1 adalah SMP.

Dia beralasan ingin meminjam uang karena administrasi keuangan sekolah anaknya sudah menumpuk dan yang orang itu masih pertahankan adalah anaknya yang SD kelas 3 ini.

Ayah dan ibu memang orang baik dan mereka tidak tega apabila ada seseorang kesulitan di depannya.

Akhirnya dengan berat hati ayah meminjamkan sejumlah uangnya pada temannya itu. Dia mengurungkan niatnya untuk membeli mobil. Lalu keperluan lainnya nanti buat membeli buku dan persiapan naik kelasku.

Aku memang anak semata wayang dan dirawat dengan baik-baik aku tidak populer meski cantik hanya beberapa teman aja yang dekat denganku, aku juga memiliki sahabat semenjak TK hingga masuk SD.

Tapi, yang namanya kepercayaan pada orang lain itu bagiku tidak bisa di dapat dengan mudah, kita harus mengetahui seluk beluk orang itu.

Dulu teknologi informasi dan komunikasi tak secanggih sekarang, ponsel pun masih hp kodok istilah populernya dan masih sering ada namanya telepon umum.

Ada kabar kalau anaknya dari teman ayah yang kelas 3 itu pindah.

Aku menjelaskannya pada ayah ....

"Ayah tahu gak?" tanyaku waktu itu dengan nada imutnya (maklum masih anaj kecil).

"Apa sayang?" ayah merespons pertanyaanku dengan tersenyum lembut, waktu itu ayah menjemputku di sekolah.

"Itu loh, tahu kan, temen ayah yang ketemu waktu itu ...."

"Oh iya iya, kenapa?" tanya ayah yang merespons ceritaku dengan sabarnya sambil menganggukkan kepalanya tanda ayah mengerti siapa yang aku maksud.

"Iya itu, anaknya itu pindah sekolah ...."

Deg! Saat ayah mendengar ceritaku ini, dia langsung memasang muka kaku.

Ayah bertanya padaku untuk memastikan, "Kamu tahu darimana?" tanyanya heran.

"Itu, tadi siang guru-guru bilang kan ruang kelasku dekat kantor." jelasku dengan sungguh-sungguh, lalu aku kembali bertanya saat melihat muka ayah dengan ekspresi tidak yakin.

'Kenapa ayah tidak berkomentar,' pikirku?

"Ayah tidak memiliki urusan dengan orang itu lagi kan? Orang itu pergi ke mana ya?" aku memancingnya, setidaknya aku ingin dengar ayah bilang 'Orang itu mengabari ayah,' tapi ayah hanya menjawab entah.

Ayah menelpon nomornya lewat telepon umum, dia setiap seminggu sekali rutin menelepon tapi tidak ada balasan, yang ditelepon adalah tempat kerjanya. Lalu, ayah mendapatkan informasi dari tempat kerjanya kalau orang itu sudah tidak bekerja lagi di sana, dan mengunjungi rumahnya.

Rumahnya ternyata sudah di huni orang lain dan dia baru pindahan beberapa hari yang lalu, rumah itu sudah berganti pemilik.

Sedangkan seorang perempuan yang dulunya berjanji mengembalikan uang ayah, meninggal dunia ... kabar yang di dapatkan tidak mengenakkan, dia sengaja bunuh diri di rel kereta. Rumah orang itu memang di daerah utara, jadi dekat saat akan ke stasiun kereta Klakah, dan sudah meninggal sejak lama ... mungkin 2 bulanan.

Keluarganya setelah wanita itu meninggal, pergi dari rumah entah ke mana dan wanita itu kabarnya bunuh diri karena cekcok dengan suaminya.

Alhasil uang itu tidak kembali, keduanya raib begitu saja ... ayah tidak bisa membeli mobil.

....

Sejak saat itu, aku memiliki sifat kurang bisa percaya dan menaruh kepercayaan penuh pada orang lain, meski itu sahabatku sendiri.

Karena, suatu saat takutnya kepercayaan bisa lenyap begitu saja seperti uang itu ....

Kejadian itu, membentuk pribadiku yang sekarang ini.

****