Dia tersenyum ramah, "Tidak usah bayar, anggap saja ini ... sebagai jamuan dari pertemuanku denganmu setelah sekian lama."
Tak kusangka, selain benar-benar ramah, dia juga baik. Apa semua orang yang sudah sukses, seperti ini ya?
Aku hanya bisa memandangnya kagum di jarak sedekat ini, selama ini ... teman-temanku memang baik-baik, teman-teman di dekatku memang baik-baik tapi, sedikit dari mereka yang bisa sukses namun sebaik ini.
Aku tergagap saat ingin meresponsnya.
Aku sedikit membuka mulutku karena terkagum itu.
"Beneran ini, fidz?" aku malah tanya kembali.
"Iya bener." Jawab Hafidz dengan senyum ramahnya.
"Kamu bisa mampir kapan-kapan lagi sambil ajak teman-temanmu di sini, mungkin ...." Kata Hafidz yang memasang senyum ramahnya lagi dengan rasa penuh harap padaku, semoga bisa mengajak teman-temanku kemari.
"Ya, akan kuusahakan." Jawabku dengan senyum ramah juga, "Terima kasih banyak ya, fidz." Tak lupa untuk berterima kasih untuk kesekian kalinya karena sudah di suguhkan dengan makanan gratis seenak itu dan dijamu dengan baik.
Aku mencoba melucu, "Eh, fidz ...." Sapaku lagi sebelum pulang.
"Iya?" jawab Hafidz denngan cepat.
"Khusus buat aku kalau aku ke sini lagi gak usah bayar, ya?" ucapku dengan genitnya sambil tertawa kecil.
Hafidz tersenyum tipis, kemudian tertawa dengan polosnya sambil tertunduk malu.
Aku segera memasang muka datar, yang tadinya mungkin terdengar konyol.
"Iya, boleh kok, hehehe." Jawab Hafidz dengan sungguh-sungguh dengan senyum tipisnya.
Lah, aku jadi tidak enak sendiri ... "Loh, fidz," aku agak sedikit mengerutkan dahiku karena khawatir, "Yang tadi itu aku hanya bercanda ...." Aku khawatir kalau dia anggap serius, padahal aku ingin melontarkan candaan konyol, takutnya bangkrut kalau tiap kali aku ke sini benar-benar di gratiskan kasihan dia, deh.
"Tidak kok," Hafidz masih memasang senyum tipisnya, "Kalau kamu mau gratisan aku akan menyiapkannya khusus untukmu ... hanya kalau kita, bisa ngobrol berdua lagi."
Eh~ jawabnya kok kayak ada kesan romantis-romantis gitu ('-' )
"Boleh ya?" dalam hatiku yang masih memikirkannya.
*Sebenarnya dalam hati Hafidz, saat memandang Zaskia sekarang jauh lebih cantik, dia punya sedikit rasa cinta padanya. Dia tidak pernah mengungkapkan cintanya pada orang lain dan dia jarang menyentuh wanita lain (kalau tidak dalam kondisi dibutuhkan).
Apakah Hafidz kali ini mencoba merayu Zaskia untuk datang ke kebab-nya lagi?
....
"Ya sudah, fidz aku akan datang lagi lain waktu ... makasih ya, soal tadi itu aku bercanda kok, beneran." Aku tidak bisa menyembunyikan rasa sungkanku, terutama mbak-mbak yang sudah membuat kebab di sana tampaknya diam saja saat aku dan Hafidz berbincang-bincang di sana ....
"Iya, sas tidak apa-apa kok. Aku beneran serius soal itu." Kata Hafidz yang masih tersenyum riangnya.
"Duh, jadi gak enak sendiri aku fidz kalau gitu, ah~ aku gak mampir lagi wes."
"Oh~ jangan gitu dong, sas." Seketika dia memasang ekspresi sedikit sedihnya.
Aku jadi gak enak sendiri dia langsung semurung itu.
Aku melambaikan tangan dan segera pulang ....
****
Saat aku datang di rumah, di waktu bersantai, aku menceritakan kisahku pada ibuku ..., sementara ayah tidur duluan.
Ibu bilang teman-temanku luar biasa, aku pun mengakuinya.
Tapi, ibu bilang ... aku lebih luar biasa daripada teman-temanku.
Aku meresponsnya, "Kok bisa?" sebenarnya apa yang bisa dibanggakan dengan aku yang hanya orang biasa ini?
Aku menyadari, hanya saja aku pintar dalam hal pelajaran namun, aku masih belum bisa sehebat mereka.
Aku ingin suatu saat aku dapat pekerjaan yang berguna yang bisa membanggakan kedua orang tuaku. Kuliah di kampus swasta bukan berarti aku tidak bisa maju, bukan? Dan harusnya aku lebih bersyukur sudah dikuliahkan.
Mereka yang di sana mencari uang sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, aku harus lebih banyak bersyukur kalau orang tuaku dapat menyekolahkanku sampai ke perguruan tinggi.
Itu tandanya, kami ini orang mampu!
Jika aku sukses nanti, aku berharap ... aku masih bisa menjadi sebaik Hafidz, harus ramah pada orang lain. Aku ingin bisa seperti itu.
Jalan sukses orang lain mungkin berbeda-beda, tinggal diri sendiri saja menekuninya kita mau sukses di jalan seperti apa? –aku belajar dari apa yang dikatakan Hafidz.
....
Tiba-tiba ibu bertanya, "Nduk, kamu tidak ingin jadi guru ta?" tanyanya serius dengan santai.
Jujur saja aku tidak punya pengalaman kerja sama sekali.
"Ya, pengen sih, bu." Jawabku terpaksa, aku tidak ingin mengecewakannya dengan melontarkan kata tidak.
Tapi, melihat ekspresiku ....
"Loh kok, jawabannya kayak gak meyakinkan gitu?" tanya ibu heran padaku.
"Lulusan STKIP kan gak selalu jadi guru, bu." Jawabku keberatan.
Aku sendiri belum pernah tahu bagaimana caranya menjadi guru dan susahnya menjadi guru terutama berhadapan dengan banyak anak-anak di depan.
Dibutuhkan mental kuat, pandai bicara, dan berani di depan umum. Sementara aku, keseharianku tidak lebih dari berdiam diri di rumah membantu pekerjaan ibu dan mengerjakan tugas kuliah saja.
"Kamu benar, tidak semua lulusan STKIP pasti jadi guru. Tapi, orang-orang pasti menanyakan demikian. Bagi ibu sendiri, guru adalah pekerjaan terhormat ... paling mulia karena guru tanpa pamrih mengajar dan menyalurkan ilmunya."
"Terhormat?" tanyaku heran.
"Ibu dulu ... sebenarnya punya pengalaman kuliah, ibu ingin menjadi guru." Jelas ibuku.
"Eeeh! Aku baru tahu!" seruku yang selama ini memang masih belum tahu kisah ibuku yang seperti ini.
"Terus, kenapa ibu tidak jadi guru?" tanyaku heran.
"Tidak bisa ... sebenarnya, ibu bukan sarjana keguruan ... melainkan sarjana pertanian." Jelas ibu dengan ekspresi sedikit sedih.
"Untuk masuk keguruan, nilai mata pelajaran dasarnya ibu cukup rendah. Ibu menjadi tidak yakin, akhirnya ... karena ibu dari generasi ke generasi keluarga ibu adalah petani, maka ibu ambil sarjana pertanian." Jelasnya optimis.
"Namun, adiknya ibu ... berhasil jadi guru."
"Paman, bu?" tanyaku sedikit penasaran.
"Ya, dia hanya guru SD. Dia mengajar seni budaya karena sejak kecil dia suka menggambar, dia juga teliti tentang proporsi dan nilai seni-nya bisa terbilang cukup sempurna. Selain menggambar, dia bisa membuat berbagai kerajinan. Dengan menjadi guru, ilmunya dapat tersampaikan dengan baik."
"O-oooh~" aku merespons dengan sedikit kagum.
"Aku rasa, ilmu yang kamu miliki lebih banyak, nak. Kamu lebih hebat dari ibu atau paman atau orang-orang yang lain. Kupikir dengan dirimu menjadi guru, ilmu yang kamu dapatkan selama ini dapat kamu salurkan pada orang-orang yang membutuhkan." Sepertinya ibu sangat berharap aku bisa jadi guru.
"Menjadi guru sepertinya sulit juga, bu." Aku berpendapat berdasarkan bagaimana pengalaman dari beberapa kakak kelas yang menceritakannya padaku.
"Ya, memang sulit tapi, itu adalah pekerjaan yang mulia ... mereka yang jadi guru, mengajarkan apa yang selama ini tidak kita ketahui ... mengapa tidak dicoba lebih dulu?"
*Jika dicoba, dan sudah merasakannya, apa iya menjadi guru sebenarnya tidak sulit?
Sama seperti halnya kita saat berkunjung lalu mencicipi kebab tadi, dari jauh terlihat sepi tak ada pengunjung namun kita mengenal orang yang jualan kebab itu adalah teman kita. Takut akan rasanya, dan sedikit berpikir berlebihan bahkan lebih buruk. Ketika kita menyalurkan perasaan saat membuat kebab itu dan menyajikannya dengan seramah mungkin, rasa kebab akan tersampaikan dengan baik. Seseorang yang menikmatinya menjadi lupa, kalau dia sudah mencicipi sedikit jasa profesionalitasnya. Karena saking enaknya, dan perlahan kebab itu diisi oleh banyak orang yang berkunjung untuk membelinya.
Kita harus meluaskan pandangan!
Mungkin, menjadi guru juga seperti itu ....
Hal yang kita pandang sulit tapi, kalau kita berani mencobanya, melakukannya secara perlahan dan kita berpegang teguh dengan pasti, maka tidak akan sulit lagi.
Itu sudah menjadi kebiasaan yang haqiqi.
________
*Sama seperti seorang Author, yang setiap hari harus berjuang dengan tulisan-tulisannya.