Chereads / Pewaris Tunggal / Chapter 4 - Kekacauan di Pagi Hari

Chapter 4 - Kekacauan di Pagi Hari

"Telah kusuruh kalian untuk mencari si bocah ingusan itu, tapi kalian tak berhasil menemukannya. Kalian banyak jumlahnya, tapi mengapa kalian tidak becus menangkap satu orang manusia, hah?! Memalukan!" bentak Darmawan di ruangan megahnya ini.

"Memang lebih sulit mencari mansuia, Tuan, daripada mencari barang di ujung dunia. Sebab, manusia bisa berpindah-pindah tempat," jawab Matthew.

Akan tetapi, ternyata ucapan Matthew malah makin menyulut api kemarahan sosok Darmawan Ramos. Tangannya yang terkepal erat, menunjuk wajah Matthew. Matanya melotot tajam.

"Kau!" bentaknya jeda sejenak. Lalu, ia kembali membentak, "aku ini tuanmu! Berani-beraninya kau membantah ucapanku!"

Matthew tertunduk lesu, "Maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud demikian. Kami berjanji akan lebih bekerja keras lagi untuk mencari Mr. Russel," jawabnya.

"Harus! Aku tak mau tahu. Seminggu lagi kalian harus dapatkan bocah itu untuk aku habisi. Sudah muak aku. Aku merasa terhina karena telah ditipu olehnya. Celaka!" geram Darmawan.

"Bagaimana dengan kabar di Indonesia? Apakah mereka sudah menemukan antek-antek si bocah kencur itu?" tanyanya lagi.

Matthew menggeleng, "Belum, Tuan," sahutnya dengan suara pelan.

Bugh! Meja di hadapan Darmawan Ramos menjadi pelampiasan kemarahannya. Beruntung sekali meja tersebut terbuat dari marmer. Kalau terbuat dari kayu, mungkin sudah patah.

"Bodoh! Mereka semua tak becus!" maki Darmawan.

"Saya akan mengerahkan semuanya, Tuan. Mohon bersabar, kami pasti akan menangkap mereka," kata Matthew dengan sungguh-sungguh.

Darmawan berdiri sambil berkacak pinggang. Kacak pula tingkahnya. Sudah tua pun tak tahu ajal.

"Bagus! Aku tunggu kabar baiknya," ucapnya. Lantas ia pergi entah ke mana, meninggalkan Matthew yang masih berdiam diri di tempat.

"Dia enak cuma nyuruh-nyuruh. Kalau belum dapat saja bilangnya enggak becus. Cih, memangnya dia bisa seperti kita apa?!" maki Matthew dalam hati.

***

Teriakan yang melengking keluar dari bibir Nara. Seperti di duganya, Zhang Yu adalah lelaki pembawa celaka dalam hidupnya. Lihatlah sepagi ini kontrakan kecil ini sudah berantakan hanya karena ulah tangan pria tampan itu.

"Hei! Apa-apaan kau ini? Mau kau apakan isi kontrakan ini?" tanya Nara marah.

Ya, Nara baru bangun setengah jam yang lalu, tapi ia sudah dibuat pusing. Zhang Yu ke sana kemari mengacak-acak seisi kontrakan hingga berantakan seperti ini. Enrah sedang mencari apa pria itu. Bahkan, teriakannya pun tak pernah diindahkan Zhang Yu.

Ketika Nara mau bangkit untuk meloncat, ia dengar pria itu memanggilnya. "Hei, Gadis Aneh!" panggilnya setengah berteriak.

"Apa, hah?! Bereskan semuanya!" teriak Nara.

Zhang Yu bergumam, "Kopormu mana? Aku sejak tadi mencarinya. Ah, kenapa aku bodoh sekali? Kenapa aku tak tanya kau saja, ya?"

"Buat apa, hah?"

Zhang Yu tak menghiraukan pertanyaan gadis ini. Lantas ia masuk ke dalam kamar tanpa permisi. Matanya bergerak liar menyusuri setiap jengkal ruangan sempit tersebut. Dapat. Di atas lemari ada dua kopor.

"Bagus!" ujarnya senang.

Nara ikut menyusul pria setengah sinting itu ke dalam kamarnya. "Hei, kau mau apa?" tanyanya sambil berteriak.

Tanpa perlu berjinjit, pria tampan ini langsung menyambar kopor tersebut. Kopornya sedikit berdebu, tapi tak apa-apa. Lantas ia membuka lemari dan memasukkan semua baju milik Nara.

"Hei, mau kau apakan semua bajuku?" tanya Nara lagi, tapi pria itu seolah tuli.

Gadis berambut hitam ini melotot saat pria jangkung itu mengambil semua pakaian dalamnya. Oh, sungguh memalukan sekali. Cepat-cepat ia menyambarnya. Ada beberapa pakaian dalam yang jatuh.

"Kau ini apa-apan?! Dasar kurang ajar!" marahnya.

"Cepat masukkan itu! Kau harus ikut denganku," ujar Zhang Yu.

"Buat apa aku ikut denganmu? Memangnya kau ini siapa, hah?! Bisa seenak jidat. Aku punya kehidupan sendiri di sini. Kalau kau mau pergi, pergi saja sendiri!" sergah gadis ini.

"Heh, Gadis Aneh. Kau tak akan tahu seberapa kejamnya dunia bisa berbuat jahat padamu. Mereka, samseng Darmawan yang kemarin mengejar kita, punya jaringan yang luas. Mereka sudah melihat wajahmu. Tak butuh waktu lama untuk mereka mengangkap kucing kecil seperti kau!" ujar Zhang Yu.

"Apa? Kucing kecil? Kau samakan aku dengan hewan?" protes Nara tak terima.

Helaan napas Zhang Yu makin memberat. Dia sungguh pusing sekali karena gadis di depannya ini sulit untuk diajak bekerja sama. Padahal, apa yang ia lakukan ini adalah untuk kebaikan mereka berdua. Andai saja tidak dalam situasi seperti ini, ia pun mana mau mengajak Nara pergi bersamanya.

"Terserah kalau kau tak mau ikut denganku. Jangan salahkan aku kalau besok-besok kau akan menemui ajalmu," ujar pria itu sambil berlalu pergi dari kamar.

Nara Diyana terdiam membisu sambil duduk di tepi kasur. Pandangannya berpaling perlahan-lahan pada pintu kamar yang terbuka. Dapat dilihatnya sosok Zhang Yu yang duduk di atas kursi sambil bersedekap. Masih terdengar ucapan pria itu yang terus saja melintas di telinganya.

Dia dalam bahaya, memang itulah kebenarannya. Dia hanyalah sebuah kucing yang lemah dan diburu manusia serakah. Hatinya mendadak cabah dan termenung pada Zhang Yu.

"Apa aku harus ikut?" tanyanya dalam hati.

Dengan perasaan terpaksa, Nara memungut beberapa pakaian dalamnya yang tadi jatuh ke lantai. Dimasukkannya ke dalam kopor tersebut. Dalam hati, ia berkata, "Ibu, maafkan aku yang tidak bisa belajar dengan baik di sini. Maafkan aku juga karena aku belum bisa menemukanmu, Panda."

Nara keluar dari dalam kamar sambil menyeret kopor hitam tersebut. Dia berdiri di hadapan Zhang Yu dengan wajah lesu. Tampak pria itu menoleh padanya.

"Aku akan ikut denganmu," ucap Nara.

Zhang Yu berdiri dengan gagah, "Bagus. Ayo, kita pergi ke bandara!" katanya.

"Memangnya kita akan ke mana?" tanya Nara.

"Ke Indonesia," jawab Zhang Yu dengan santai.

"Apa? Ke Indonesia? Kenapa harus ke tanah kelahiranku? Tahu begitu aku akan kuliah di sana saja kalau ternyata aku harus kembali ke Indonesia," gerutu gadis ini dengan kesal.

"Memangnya kau pikir aku akan mengajakmu keliling Eropa? Mimpi! Lagi pula, hanya rumahku satu-satunya yang paling aman dari kejaran para samseng itu," ujarnya.

Nara memegang kepala dan mengacak-acak rambutnya. "Oh, aku bisa gila!" cakapnya.

Tujuh jam kemudian, di sinilah mereka berada, di dalam pesawat yang akan menuju ke bandara Soekarno Hatta. Mereka duduk bersebelahan. Nara menatap ke arah jendela, sedangkan Zhang Yu hanya memejamkan mata.

"Aku merasa penasaran," gumam pria itu.

"Penasaran tentang apa?" tanya Nara tampak acuh tak acuh.

"Kemarin kau membaca pesan. Pesan dari siapa?"

Nara menoleh, "Memangnya kenapa? Kau tidak membacanya, 'kan? Lagi pula, kau pasti tidak bisa membacanya," ejek gadis ini.

Pria jangkung di sampingnya malah tertawa hambar. "Lima belas tahun aku hidup di Tiongkok, mana bisa semudah itu lupa dengan bahasa ibu," ucapnya.

"Ja-jadi, kau membaca surat itu?" tanya Nara sambil melotot tak percaya.

"Ya begitulah," dusta Zhang Yu.

"Dasar lancang!"

***

Halo, Sahabat PenaDifa. Cinta kalian. Jangan lupa untuk subs dan review, ya, Sahabat. Aku sedih, loh, enggak ada yang review. Terima kasih.