Suara dengkingan peluru terdengar di segala penjuru ruangan bawah tanah ini. Dua nyawa telah lenyap yang menembak pun tertawa senang. Sudah hal yang lumrah bila keadaan semacam ini terjadi setiap harinya. Ruangan khusus menghukum orang ini selalu dipenuhi dengan bau amis, dengkingan peluru, dan tawa-tawa sadis.
"Tuan," panggil seorang lelaki berbadan kekar yang berjaga di depan pintu.
Yang dipanggil Tuan itu langsung menghentikan aksinya. Dia letakkan senjata api di meja yang memang sengaja dibuat sebagai tempat penyimpanan senjata. Pria berbaju serba hitam itu lantas keluar dari ruangan bawah tanah tersebut.
"Ada apa? Apa ada berita yang menyenangkan sampai-sampai kau mengganggu kegiatanku?"
Pria berbadan kekar itu tertunduk. "Maaf, Tuan, kalau saya mengganggu kegiatan Tuan. Namun, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan," ucapnya.
"Apa itu?"
"Rugos bilang bahwa Mr. Russel sudah tidak ada di Tiongkok. Semua daerah di Tiongkok sudah dijelajahi. Semua rekaman CCTV juga sudah diretas habis oleh Rugos, tapi ia tidak menemukan keberadaan Mr. Russel, Tuan," terangnya.
Brak...! Pria berbadan kekar itu berjengkit kaget saat Tuannya menendang drum kosong.
"Ke mana lagi bocah kencur itu kabur?!" geram si Tuan.
"Ka-kami akan berusaha lebih keras lagi untuk mencarinya, Tuan."
Brak...! Dua drum kosong ditendang hingga menggelinding dan menghantam dinding. Suara hantaman tersebut terdengar nyaring.
"Siapa aku?" tanya si pria berbaju serba hitam itu.
"Tu-tuan Darmawan Ramos," jawab pria bertubuh kekar ini.
"Ya, aku adalah Darmawan Ramos yang tidak akan pernah membiarkan musuhnya lolos," ujar pria berbaju serba hitam yang tak lain adalah Darmawan.
"Kerahkan semua keahlian kalian! Aku tak mau tahu, dalam waktu sebulan ini, dia sudah harus tertangkap. Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi untuk melenyapkannya," imbuh Darmawan.
"Siap, Tuan."
Sementara di tempat lain, Zhang Yu dan teman-temannya sedang duduk di raung tamu, termasuk Nara. Mereka berbincang-bincang setelah tadi saling memperkenalkan diri pada orang asing yang akan tinggal di sini sebentar lagi.
"Jadi, aku dan Gerald itu kembar. Wajah kami sama, bukan? Meskipun kami sama, kau akan mudah mengenali kami," ucap Geri sambil terkekeh kecil.
Pluk.... Zhang Yu melempar wajah Geri menggunakan bantal sofa. Lalu, ia berkata, "Semua orang juga tahu itu. Kau kurus dan Gerald gendut."
"Kau mengataiku?" tanya Gerald tak terima.
"Siapa yang mengataimu? Aku hanya membicarakan perbedaan kalian saja," bantah Zhang Yu.
Semuanya tertawa melihat wajah Gerald yang marah. Nara pikir, semuanya akan menakutkan setelah ia terjebak dalam bahaya. Namun, ia ingin mengakui bahwa duagaan itu tidaklah sepenuhnya benar. Dia merasa bahwa semua pria yang ada di sini adalah orang-orang baik. Mereka menyambut kedatangannya dengan hangat dan tidak canggung sekali pun.
"Kalian ini lucu sekali. Senang rasanya bisa bertemu dengan kalian," ucap Nara.
"Aku lebih senang karena kau tinggal di sini. Kita bisa berdua setiap hari," timpal Bara.
"Cih, omong kosong macam apa itu?" sindir Zhang Yu.
Bara mendelik kesal, "Kenapa, hah? Kau tak suka atau karena kau cemburu?" tanyanya.
"Cemburu? Buat apa? Enggak guna dan buang-buang waktu saja," sahut pria tampan ini.
"Hei, sudah diam! Aku ingin mendengar kisah Nara juga," lerai Gerald. Ya, di sini Gerald selalu saja menjadi penengah ketika ketiga temannya mulai cekcok.
"Nara, sekarang giliran kau bercerita. Ayolah, aku ingin dengar kisah hidupmu juga," pinta Gerald.
Nara tersenyum, "Aku lahir dan besar di Indoensia, lebih tepatnya di Jawa. Aku tinggal bersama ibuku karena ayahku sudah meninggal. Sekarang aku sedang belajar di Tiongkok untuk mengejar S2," jelasnya.
"Wah, kau hebat merantau di negeri orang. Omong-omong, kenapa harus ke Tiongkok? Aku rasa kau ini gadis yang pandai. Kau mungkin bisa tembus masuk ke Harvard University," ujar Bara yang disanggupi oleh Geri.
Lagi, Nara tersenyum sebelum menjawab. "Sebenarnya, aku tidak begitu ingin kuliah mengejar S2. Tujuan utamanya adalah mencari seseorang di sana," jawabnya pelan.
"Oh, kau sedang mencari seseorang. Siapa? Pacarmu? Oh, jangan bilang kau sudah punya pacar! Aku tak bisa terima," ujar Geri.
"Kenapa kau harus tak terima?" tanya Zhang Yu keheranan.
"Memangnya kenapa? Aku lihat kau lebih sewot," geram Geri.
Nara terkekeh kecil. Ternyata berbicara dengan mereka tidak seburuk itu. Dia merasa senang bisa berbicara bebas dan terbuka seperti ini. Padahal, sudah lama sekali ia tidak pernah bercerita tentang hidupnya kepada orang yang belum ia kenal.
"Pacar? Bukan. Dia bukan pacarku, tapi dia sangat berharga bagiku," sahut gadis manis ini.
"Syukurlah kalau bukan pacarmu," ucap Geri dan Bara dengan kompak. Lantas kedua pria itu saling menoleh.
"Kalian ini kenapa? Memangnya kenapa kalau dia punya pacar?" tanya Zhang Yu keheranan.
"Kepo kau!" sergah Geri.
Gerald bergumam, "Wah, ada persaingan bunga cinta sepertinya."
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Mereka sudah makan malam. Tadi Nara membuat makanan yang bahannya tersedia di kulkas saja. Sekarang mereka sudah akan pergi ke kamar masing-masing. Katanya, mereka akan membereskan pekerjaan mereka.
"Jadi, Nara, kau akan tidur di mana? Geri dan Gerald tidur sekamar. Bagaimana kalau kau tidur sekamar denganku?" tawar Bara sambil mengedipkan mata.
Dari arah dapur, Zhang Yu melempar botol aqua ke hadpaan Bara. "Memangnya kau siapa, hah? Ini rumahku. Semuanya harus mengikuti perintahku. Dengar kalian semua, sekarang aku punya peraturan di rumah ini," ucapnya.
"Ralat, Bro. Ini rumah kita," bantah Gerald.
"Enak saja. Uang siapa yang dipakai buat bangun rumah ini?"
Semuanya terdiam menunduk. Memang benar, rumah ini dibuat dari uang milik Lee Zhang Yu. Mereka bertiga hanya menumpang selama tujuh tahun ini karena mereka tak punya tempat tinggal yang tetap. Saking lamanya mereka tinggal di sini, mereka semua sudah menganggap rumah ini adalah rumah milik bersama.
"Zhang Yu, kau bilang rumah ini milik bersama. Kenapa kau harus ungkit-ungkit itu lagi?" ujar Geri tak terima.
"Iya, ya, kenapa aku harus mengangkutnya?" gumam Zhang Yu bingung sendiri.
"Ah, pokoknya kalian harus ikuti aturan dariku. Di rumah ini hanya ada tiga kamar. Jadi, aku dan Bara akan tidur di kamarku. Kau, Nara, tidur di kamar Bara," imbuh pria bermata sipit ini.
"Baik. Terima kasih," sahut Nara.
Zhang Yu duduk di sofa. Tangannya menungkat dagu. Kepalanya tunduk tengadah seolah sedang berpikir keras.
"Tunggu, kalau Nara tidur di kamar Bara, berarti semuanya bersangkutan dengan Bara akan dia lihat. Termasuk bau kasur Bara yang mirip bau ompol gajah," batinnya.
Lantas Zhang Yu kembali berdiri seraya berkacak pinggang. "Tunggu kalian semua! Peraturan diubah. Aku dan Bara akan tidur di kamar Bara. Kau, Nara, tidur di kamarku," ucapnya.
Semua orang yang hendak pergi pun mendadak berbalik menghadap Zhang Yu. Bara langsung berlari ke arah si empunya rumah dan memberikan tinju ringan. Kesal. Ya, Bara sungguh kesal.
"Kenapa harus diubah lagi? Aku sudah lama sekali ingin tidur di kamar mewahmu itu," protes Bara.
"Aku sudah menyeret gadis aneh itu ke dalam masalah kita. Aku merasa bersalah karena sekarang dia juga sedang dalam bahaya. Sekarang, aku ingin memberi dia kenyamanan dengan memberikan kamarku untuk ia tinggali sementara waktu," jelas Zhang Yu.
Geri dan Gerald berpandangan. Pria kembar itu mengerutkan dahi mereka. Gerald bertanya, "Kau yakin, Zhang Yu? Itu 'kan kamar kesayangan kau. Aku saja tak pernah kau bolehkan masuk ke sana."
"Tentu saja aku yakin. Jadi, ayo sekarang kita bergegas," jawab Zhang Yu sungguh-sungguh tanpa ragu.
***
Follow me on IG PenaDifa_sastra. Jangan lupa untuk subs dan review, ya, Sahabat PenaDifa. Cinta kalian. Terima kasih.