Chapter 54 udah dipublish semalam ya... coba dicek, takutnya kelewatan bacanya
***
6 bulan kemudian....
Kicau burung saling beradu seiring dengan munculnya cahaya fajar. Mereka berlomba-lomba membuat suara yang paling indah seperti alunan musik di pagi hari.
Tampak seorang wanita berwajah lesu terduduk di atas ranjang. Dia tak tidur barang sedikit pun semalam. Diliriknya pria yang masih tertidur bergelung di bawah selimut dengan nyaman.
Sejujurnya Arunika ingin membangunkan Gasendra, tapi dia tak tega karena pria itu baru saja kembali saat tengah malam setelah meninjau wilayah selatan selama dua minggu lebih.
Arunika lagi-lagi menghela napas panjang. Dia mengelus perutnya yang telah membesar dan hanya tinggal menunggu meletus saja.
Ini yang menyebabkannya tak bisa tidur semalaman. Hadap kanan pegal, hadap kiri tidak nyaman, terlentang malah sesak napas.
"Nak... nak... cepatlah keluar agar ibu bisa tidur dengan nyaman."
Setidaknya itulah satu-satunya penghiburan semu bagi Arunika. Walaupun dia tahu ketika bayi di dalam sini keluar, makin berantakan pula pola tidurnya.
"Hngghh...." Erangan kecil membuatnya menoleh dan mendapatkan Gasendra dalam keadaan setengah sadar tengah mencari-cari dirinya untuk dipeluk.
Arunika tidak mau dipeluk lagi. Jadi, dia menjauhkan diri dan membuat Gasendra membuka mata.
"Kenapa?" tanya Gasendra yang masih setengah sadar dengan suara parau. Dia mengedipkan mata berkali-kali, menyesuaikan sinar matahari yang menembus dari jendela di sisi Arunika. Pria itu langsung terduduk ketika melihat wajah sayu istrinya. "Kau tidak tidur?"
Arunika menggeleng dengan wajah merengut. "Aku mengantuk," racaunya dengan suara menyeramkan.
Gasendra mendekat, lalu menggenggam tangannya.
"Kenapa tidak membangunkan aku?"
"Tidak mau... kau terlihat lelah. Aku tidak mau mengganggumu."
"Mau tidur sekarang?" tanya Gasendra menawarkan. Masih ada sedikit waktu untuk menina bobokan Arunika sebelum dia pergi bekerja.
"Aku mau sarapan saja."
Gasendra terus mengecup tangan istrinya. "Sepagi ini? Baiklah.... Mau makan di kamar atau di ruang makan?"
"Di kamar saja, ya?"
"Iya, apapun yang kau mau. Aku mau menemui Keflo agar sarapan disiapkan di kamar saja," ujar Gasendra melepas genggaman, kemudian menyibakkan selimut dan berjalan meninggalkan Arunika yang tengah cemberut.
Tidak ada angin, tidak ada hujan. Setelah Gasendra menutup pintu, Arunika tiba-tiba menangis.
"Aku ini kenapa, sih...?" gumam Arunika parau. "Setiap hari makin tidak jelas saja," sambungnya sambil menyeka derai air mata.
***
"Masih ada yang sakit?" tanya Gasendra yang hanya memerhatikan Arunika sarapan.
Arunika menggeleng karena mulutnya penuh dengan makanan.
"Yang benar?" tanya Gasendra meyakinkan.
"Iya, tidak ada yang sakit lagi," jawabnya.
Sudah enam bulan berlalu sejak dirinya disucikan di kuil oleh Dewi. Saat dan setelah disucikan, seluruh tubuhnya terasa sangat sakit. Kalau boleh jujur... rasanya seperti dipukuli preman pasar sampai babak belur.
Dan dengan tubuh yang tergolong ramping itu, Arunika harus menahannya seperti tidak terjadi apapun. Belum lagi mual masa kehamilan dan ngidam yang sulit untuk diatasi di beberapa periode semakin membuatnya merasa merana.
Dan mulai saat itulah Gasendra tak pernah lupa melayangkan pertanyaan terkait kondisi tubuhnya.
Arunika menodong Gasendra dengan satu sendok sup. "Kau harus makan juga," ujarnya sambil membuka mulut, merangsang Gasendra agar menerima suapannya.
Hap! Gasendra melahapnya tanpa ragu sehingga membuat istrinya tersenyum puas.
"Gasendra, hari ini aku boleh jalan-jalan ke taman?" tanya Arunika.
"Boleh. Kata tabib, kau juga harus banyak jalan-jalan, kan?"
"Ya, ini sudah masuk jadwal minggu-minggu persalinan!" jawab Arunika semangat.
"Ingat, jangan memaksakan diri!" Gasendra mengambil pisau dan buah apel, kemudian mengupasnya. "Aku tidak mau mendengar laporan kau pingsan karena berpanas-panasan di bawah terik matahari lagi, ya..." sambungnya menyindir kejadian beberapa bulan lalu. Di mana Arunika pingsan karena mencoba untuk bertahan di bawah terik matahari.
"Iya-iya...." Arunika menerima apel yang telah dikupas oleh suaminya. "Oiya, apa tadi kau melihat Gray?"
"Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Gasendra sambil mengunyah apel.
Arunika mengangguk kecil sambil menyeka bibirnya dengan sapu tangan. "Berarti dia sudah pergi ke Urdapalay."
"Oh... hari ini jadwal untuk mengunjungi ayah dan ibu, ya?"
Arunika mengangguk. Dia menugaskan Gray untuk menyampaikan kabar pada orangtuanya karena dia tidak dibolehkan tabib untuk mengunjungi kampung halaman dengan alasan kesehatan.
Mereka menyelesaikan sarapan dengan cepat. Gasendra membantu Arunika untuk berdiri karena wanita itu cukup kesulitan dengan perutnya yang sudah membesar.
"Ke ranjang," pinta Arunika untuk dituntun ke sana. Namun, pemikiran Gasendra dengannya sudah pasti berbeda.
Pria itu mengangkat tubuh Arunika yang tengah berbadan dua tanpa kesulitan sedikit pun. Sontak istrinya itu langsung memekik kaget bercampur ketakutan dan segera mengalungkan lengan di lehernya.
"Aku kan berat!" sentak Arunika, tapi ditanggapi suaminya dengan senyuman kecil.
Curangnya... Gasendra memakai sihir agar tidak merasakan berat badan Arunika. Usaha romantis yang cukup bisa diapresiasi untuk pria gagah satu itu.
Dia meletakkan Arunika di atas ranjang bagai mempertahankan telur di ujung tanduk. Bibirnya mengarah otomatis ke dahi sang istri.
"Jaga kesehatanmu. Aku pergi dulu," pamitnya.
"Tidak mandi dulu?" Arunika menahan lengan Gasendra.
"Nanti," Gasendra tersenyum tipis, "Aku mau latihan dulu dengan Balges."
"Baiklah. Hati-hati, Gasendra!"
***
Jalan santai termasuk olahraga ringan yang harus dilakukan oleh ibu hamil ketika mendekati jadwal persalinan. Selain karena alasan itu, Arunika merasa senang ketika tubuhnya berkeringat, di tambah jalan santai ini dilakukan di taman Istana Alba yang dipenuhi bunga-bunga. Ini mengingatkan pada taman di rumahnya, tempat di mana dia biasa memainkan sitar setelah pulang menjaga toko.
"Eni, tiba-tiba aku ingin memainkan sitar," ujarnya tanpa melepas pandangan dari kupu-kupu yang berpindah dari bunga satu ke bunga lainnya.
"Saya akan mengambil sitarnya, Yang Mulia." Eni menunduk, kemudian pergi setelah diizinkan oleh Arunika.
"Apa Yang Mulia ingin memainkan sitar di pendopo?" tawar Yera. Di tengah-tengah taman, ada bangunan kecil yang terbuat dari marmer putih untuk beristirahat.
"Boleh. Ayo kita ke sana!"
Arunika dan Yera melewati jalan setapak untuk sampai ke pendopo itu. Setelah sampai, Arunika duduk dibantu oleh Yera, lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding marmer yang dingin.
"Huh... aku jadi gampang lelah nih," lontar Arunika sambil mengusap pelan perutnya.
"Itu hal yang biasa, Yang Mulia."
Arunika tersenyum sambil mengangguk kecil. Yera yang belum pernah hamil, jadi ikut belajar juga tentang kehamilan untuk menjaga tuannya.
"Apa Yang Mulia butuh sesuatu?" tanya Yera setelah terdiam cukup lama.
"Tidak. Aku hanya ingin memainkan sitar," jawabnya memandang lurus. "Aku merepotkan Eni, ya? Padahal aku kan tidak membawa sitar ke istana. Pasti dia sedang mencarinya sekarang," curhat Arunika yang kini merasa bersalah.
"Tidak, Yang Mulia. Istana punya apapun untuk hal yang anda inginkan," ujar Yera menenangkan. Di dalam hati dia setuju dengan perkataan Arunika tentang Eni yang pasti sedang mencarikan sitar. Mungkin Eni akan mencari sitar dengan berkeliling dari istana satu ke istana lainnya.
Namun, dugaan itu sepenuhnya salah. Eni kembali dengan cepat sambil memeluk sitar di tangannya.
"Cepat sekali?" ujar Arunika keheranan saat menerima sitarnya.
Dayang muda itu tersenyum malu. "Sebenarnya saat festival, saya membeli itu untuk dihadiahkan karena saya ingat kebiasaan Yang Mulia dahulu. Saya mohon maaf apabila Yang Mulia tidak berkenan dengan hadiah saya... Yang Mulia bisa membua--"
"Bicara apa kau...!" sela Arunika cepat. Wajahnya terlihat senang sembari memandangi sitar di tangannya. "Terima kasih banyak, Eni. Aku sangat menyukainya."
Namun, saat sitar itu hendak dia letakkan di atas paha, perut Arunika yang besar mengganjalnya.
"Ternyata tidak bisa kumainkan sekarang," celetuknya sambil terkekeh kecil.
Dua dayang itu tersenyum mengerti. Eni meminta sitar itu lagi untuk dibawanya ke ruang musik karena permaisuri tak bisa memainkannya dengan perut yang besar seperti itu.
Dengan malu-malu, Arunika mengembalikannya dengan tak enak hati.
Tiba-tiba dia memegangi perutnya. Arunika merasakan getaran hebat di dalam sana.
"A--ah...!" rintihnya.
"Ada apa, Yang Mulia?" Yera langsung mendekat dan membantu permaisuri itu agar bersandar padanya.
"Perutku sakit...."
"Jangan-jangan bayinya akan lahir sekarang?"
Arunika mengangguk. Dia bisa merasakan hal itu.
"Kurasa ini harinya...."
"Apa Yang Mulia bisa berjalan?" tanya Yera di sela-sela rasa paniknya.
"Aku... masih bisa." Arunika meminta dirinya agar dipapah. Yang kemudian, dua dayang itu membawanya berjalan pelan-pelan menuju kamar utama di Istana Alba.
***
Gasendra terus mondar-mandir penuh rasa khawatir di depan kamar. Ini sudah berjam-jam sejak dia dipersilakan bidan dan dayang untuk keluar karena tanda-tanda pembukaan telah tiba.
Awalnya dia sudah berada di Istana Alba sejak pagi menjelang siang tadi. Namun, ternyata Arunika baru merasakan sakit perut ringan saja.
Dia mulai merasakan kontraksi hebat saat siang menuju sore dan tanda-tanda pembukaan pada sore hari. Namun, sampai matahari sudah terbenam dan digantikan bulan yang terang benderang, Arunika belum melahirkan juga.
Bidan yang masuk keluar kamar satu persatu ditanyakan olehnya. Syukurlah jawaban mereka mengalami perkembangan, seperti:
'Yang Mulia harap tetap menunggu di luar.'
'Pembukaannya lebih lama daripada yang diperkirakan.'
'Sudah mau melahirkan, tapi kepalanya belum terlihat.'
'Permaisuri sudah kelelahan.'
Kalimat terakhirlah yang membuatnya langsung menerobos masuk ke kamar, tapi berhasil dihentikan oleh Keflo. Jantungnya semakin berdegup kencang, takut dua orang yang dicintainya berada dalam situasi membahayakan.
Pikiran negatif mulai merasuki dirinya tatkala dia berdiam diri. Makanya, dia berusaha untuk menyibukkan diri dengan mondar-mandir seperti kuda.
Jahankara yang melihat hal itu hanya terdiam dengan raut sendu. Dia juga pernah merasakan kekhawatiran luar biasa itu saat Anindya melahirkan. Dalam hati, dia berharap agar keduanya selamat. Dia sangat tidak ingin putranya jatuh ke dalam jurang keputusasaan, sama sepertinya.
'Anindya istriku... tolong katakan pada Dewi agar menjaga mereka tetap hidup,' pinta Jahankara sambil memejamkan mata. 'Sudah cukup penderitaan putra kita. Aku tidak mau melihatnya putus asa lagi... kumohon....'
***
"AAANNNHHHHH!" teriak Arunika sambil mencengkram bantal erat-erat.
"Sedikit lagi, Yang Mulia!"
Satu, dua, satu, dua! Arunika menarik napasnya, kemudian berteriak untuk menambah tenaga yang sudah terkuras habis.
Suara tangisan terdengar lantang bersamaan dengan perutnya yang terasa kosong.
Napasnya menderu. "Apa dia seorang putra?" tanya Arunika sambil menangis haru.
"Ya, Yang Mulia, Ya! Seorang putra!" seru bidan yang membantu persalinan. Dia membawa bayi yang masih merah itu untuk dibersihkan.
Arunika menangis sampai tersedak melihat samar-samar putranya yang terlihat merah seperti jambu.
'Inilah rasanya menjadi ibu....' batinnya.
Gasendra dan Jahankara memasuki kamar dengan langkah seribu. Suaminya itu langsung mendekat pada Arunika dan mencium dahinya sambil menangis haru.
"Terima kasih, Arunika... terima kasih sudah bertahan," ujar Gasendra menciumi tangan dan dahi istrinya.
Seorang bidan membawa putra mereka untuk diserahkan. Gasendra menerima dan menimang-nimangnya sambil tersenyum bangga. Membuat dada Arunika dipenuhi oleh kehangatan dari sorot ayah dan anak itu.
"Siapa namanya?"
"Chandra, namanya Chandra. Malam ini cahaya bulan terlihat lebih terang daripada biasanya. Saya berharap dia dapat membawa nasib baik dan cahaya bagi Kerajaan Mahaphraya."
Setelah mendengar nama putranya, Arunika merasa sampai pada batasan. Napasnya mulai naik turun, tubuhnya terasa ditusuk beribu-ribu tombak, dan dia merasakan kantuk yang teramat hebat.
"Gasendrahh... hhh... hhh...!"
Dalam sekejap, Arunika merasakan jiwanya terlepas dari tubuh tanpa bisa melihat atau mendengar apa yang terjadi sesudahnya.
Jiwanya pergi meninggalkan raga dan mulai memasuki ruang putih yang tak memiliki ujung.
———